Menteng-Jumat, 16 Mei 2019. Menanggapi berbagai persoalan keterbukaan informasi yang ramai di media massa, ICEL mengundang Komisi Informasi Pusat dan anggota Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) untuk berdiskusi. Diskusi yang santai namun serius ini membahas isu populer seputar keterbukaan informasi HGU mulai dari pengabaian putusan Mahkamah Agung oleh Kementerian ATR/BPN yang kembali mencuat pasca debat Pilpres kedua Februari lalu, disusul oleh beredarnya Surat TAN.03.01/265/D.II.M.EKON.05/2019 dari Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia pada tanggal 6 Mei lalu yang bunyi suratnya terkesan membatasi hak masyarakat atas informasi HGU sawit. Di luar isu keterbukaan informasi HGU, diskusi juga membahas persoalan kebocoran data pribadi yang dalam beberapa hari terakhir diliput oleh KOMPAS.

Komisi Informasi Pusat menyampaikan update pertemuan dengan utusan Kemenko Perekonomian mengenai persoalan keterbukaan informasi HGU. Dalam kesempatan tersebut disampaikan bahwa sebetulnya tidak ada niat Kemenko Perekonomian untuk menutup informasi HGU sawit dari masyarakat. Kebijakan yang ada diarahkan untuk pengelolaan data sawit yang menjadi salah satu poin Instruksi Presiden dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang populer dikenal dengan Inpres Moratorium Sawit. Lebih lanjut, pembatasan pun lebih kepada persoalan teknologi yang belum lengkap jika informasi diberikan dalam bentuk shape file. Karenanya, fokus utama pemerintah saat ini adalah untuk merapikan satu peta sawit. Komisi Informasi Pusat juga menyampaikan akan ada beberapa pertemuan lanjutan untuk menyikapi persoalan keterbukaan informasi HGU ini. Merespons hal ini, ICEL dan FoINI mendesak Komisi Informasi Pusat untuk mendiskusikan lebih lanjut persoalan keterbukaan informasi HGU tidak hanya kepada Kemenko Perekonomian melainkan juga kepada lembaga terkait lainnya seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan jika dibutuhkan juga dengan Badan Informasi Geospasial.
Sementara itu, menanggapi persoalan kebocoran data pribadi, Komisi Informasi Pusat menegaskan telah mendiskusikan hal ini dan meminta untuk terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). “Komisi Informasi Pusat sudah dapat bertindak tanpa menunggu RUU Perlindungan Data Pribadi, mengingat informasi pribadi merupakan salah satu informasi yang dikecualikan dalam UU KIP. Kami berharap Komisi Informasi Pusat dapat berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, maupun lembaga keuangan lainnya untuk memperkuat sistem pengamanan data personal nasabah yang dilindungi Pasal 17 huruf h UU KIP,” jelas Henri Subagiyo, Direktur ICEL.
Lebih lanjut, FoINI mendesak Komisi Informasi Pusat untuk terlibat lebih serius dalam isu perlindungan data pribadi dikarenakan beberapa waktu ke depan, ketika publik semakin peduli dengan persoalan keamanan data pribadi, akan ada kemungkinan laporan-laporan penyalahgunaan data pribadi berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU KIP. Komisi Informasi Pusat harus siap mengawal diskursus yang berkembang pasca implementasi ketentuan pidana ini. (Astrid)