Jakarta, Rabu, 10 Mei 2023 | Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyampaikan pandangannya bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi jumlah kasus Strategic itigation Against Public Participation (SLAPP) di Indonesia. Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Open Government Week 2023: “Kepastian Terhadap Perlindungan Hukum Pembela Lingkungan”.
“SLAPP harus sesegera mungkin dihentikan untuk mencegah banyaknya individu yang menyuarakan pendapatnya tetapi malah dibungkam. Apalagi saat ini isu perubahan iklim sedang ramai diperbincangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun budaya akan mengalami dampak buruk dari perubahan iklim. Tentunya, banyak individu atau masyarakat sipil yang akan menyuarakannya secara kritis dan orang-orang yang bersuara ini harus dilindungi. Kita harus belajar dari negara Filipina, mereka memiliki regulasi pencemaran udara yang di dalamnya juga mengatur perlindungan orang-orang yang menyuarakan pendapatnya mengenai kebenaran dengan data yang ada.” Ujar Raynaldo.
“Implementasi Anti-SLAPP (mekanisme penghentian SLAPP) di Indonesia perlu berpedoman pada Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 dan Pedoman Jaksa No. 8 Tahun 2022 sebagai turunan mandat Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.” Raynaldo juga berpandangan bahwa mekanisme Anti-SLAPP akan lebih baik apabila diatur dalam KUHAP.
Pernyataan Raynaldo didukung oleh Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Atnike Nova Sigiro, yang menyatakan bahwa orang-orang yang menyampaikan pendapatnya harus dilindungi oleh negara, karena posisi mereka dapat disebut sebagai orang-orang yang sedang membela HAM. Pembela HAM itu adalah orang, sekelompok dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang berasal dari korban, baik secara sukarela maupun mendapatkan upah, yang melakukan kerja-kerja pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dengan cara damai.
“Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 (Perkom 5/2015) tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM merupakan tonggak penting dalam memastikan keberlanjutan perjuangan. Peraturan ini mengatur langkah-langkah yang harus diambil untuk mengamankan, menghormati, dan menjaga kebebasan pembela HAM,” kata Atnike kembali.
Tingginya Kasus SLAPP pada Tahun 2022
Selama 10 tahun terakhir, tahun 2022 merupakan tahun yang paling banyak terjadi SLAPP di Indonesia, pungkas AKBP Eko Susanda. Paparannya menunjukan ada 26 kasus SLAPP terjadi sepanjang tahun 2022, jika dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 24 kasus.
Statistik jumlah kasus SLAPP di Indonesia dari rentang waktu 2014 hingga awal tahun 2023

Sumber gambar: Paparan yang disampaikan oleh AKBP Eko Susanda dalam Seminar Nasional Open Government Week 2023: “Kepastian Terhadap Perlindungan Hukum Pembela Lingkungan”.
“Dari tahun ke tahun, jumlah SLAPP kian meningkat seiring dengan peningkatan komunikasi digital. Namun, kasus dengan penggunaan saluran digital belum dapat dipastikan secara rinci apakah kasusnya berhubungan dengan tindakan seseorang atau korporasi secara langsung. Beberapa bentuk SLAPP yang terjadi secara umum adalah adanya tuntutan hukum atas pencemaran nama baik, gugatan hukum dengan klaim kerugian yang berlebihan, serta gangguan berupa menakut-nakuti, hingga pada serangan fisik. Namun, pada kasus-kasus SLAPP ini belum dapat dipastikan apakah ada keterkaitan langsung dengan aktivitas lingkungan” ujar AKBP Eko Susanda.
Statsistik jumlah kasus SLAPP di Indonesia

gambar: Paparan yang disampaikan oleh AKBP Eko Susanda.
Selanjutnya, AKBP Eko Susanda. memberikan saran strategis perlindungan terhadap SLAPP di Indonesia yakni dengan: merancang aturan hukum yang melindungi aktivis, pelatihan aparatur penegak hukum, meningkatkan public awareness, dukungan untuk pegiat lingkungan (funding dan legal assistance), serta akuntabilitas korporasi. Pada akuntabilitas korporasi, Eko menekankan bahwa membangun kultur keterbukaan merupakan jalan untuk mendengarkan pendapat dan keluhan dari masyarakat di sekitar perusahaan untuk lebih peka dan dapat menerima masukkan yang lebih baik, serta memperkuat prosedur pengelolaan lingkungan yang memiliki risiko, hal ini bertujuan untuk menghindari miskomunikasi.
SLAPP Menghambat Demokrasi Di Indonesia
Salah satu efek negatif dari SLAPP adalah menakut-nakuti individu atau kelompok untuk mengekspresikan pandangan mereka secara terbuka. Ancaman gugatan hukum dan biaya yang tinggi dapat mengintimidasi dan menyebabkan orang enggan menyuarakan pendapat mereka atau mengkritik pihak yang berkuasa. Hal ini menghambat demokrasi karena demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dan kebebasan berekspresi dari seluruh warga negara.
“Untuk mengatasi hambatan demokrasi yang disebabkan oleh SLAPP, kita perlu memiliki perlindungan hukum yang kuat. Hal ini penting untuk mengadopsi undang-undang yang memberikan perlindungan yang kuat terhadap kebebasan berbicara dan partisipasi publik, sambil mengidentifikasi dan melarang praktik SLAPP yang menekan suara-suara kritis. Selain itu, reformasi sistem peradilan yang efektif, transparan, dan bebas dari pengaruh politik atau kepentingan ekonomi tertentu diperlukan.” ujar Herlambang P. Wiratraman dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM.
Herlambang juga menambahkan bahwa setiap tindakan negara, harus bisa dipertanggungjawabkan, agar tercapai keadilan sosial dan lingkungan. Realitasnya, proses legislasi kerap kali menimbulkan ketidakadilan sebagai konsekuenasi politik hukum yang didominasi oleh karakter oligarki. Sehingga posisi warga menjadi lemah untuk mempertahankan hak-haknya atas lingkungan yang tereksploitasi. (Dona)