Pada tanggal 6 Mei 2019 yang lalu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, menerbitkan Surat bernomor TAN.03.01/265/D.II.M.EKON.05/2019. Surat tersebut ditujukan kepada tiga pihak, yaitu Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan Pimpinan Perusahaan-Perusahaan di Sektor Kelapa Sawit.
Terdapat empat hal yang dibahas dalam surat tersebut, yang pada intinya adalah: (1) kebijakan pemerintah terkait perkebunan sawit berkelanjutan, (2) perlindungan data dan informasi kelapa sawit yang bersifat strategis bagi ketahanan ekonomi nasional, (3) mengklasifikasikan HGU kelapa sawit sebagai informasi yang dikecualikan, dan (4) harapan bagi pihak yang dituju untuk dapat turut serta mendukung kebijakan ini dengan tidak memberikan informasi HGU kepada pihak lain, termasuk konsultan, NGO, multilateral agency, dan pihak asing. Point no 3 dan 4 inilah yang mendapat kecaman dari masyarakat sipil.
“Surat yang menginstruksikan untuk menutup informasi mengenai HGU kelapa sawit tersebut menambah daftar panjang perlawanan pemerintah terhadap putusan Komisi Informasi dan Pengadilan” Jelas Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL. Sebelumnya, Menteri ATR/BPN bersikukuh untuk tidak menjalankan Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 yang memerintahkan Kementerian ATR/BPN membuka nama pemegang HGU, lokasi, luas lahan, peta area, hingga jenis komoditas yang ditanam.
“Terbitnya surat ini merupakan langkah mundur pemerintah dalam mendorong transparansi dan perbaikan tata kelola perkebunan di Indonesia” tambah Rika Fajrini, Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan ICEL. Data HGU penting untuk dibuka selain dalam rangka penyelesaian konflik, juga dibutuhkan masyarakat sipil untuk turut serta dalam mengawasi kepatuhan pemegang izin.
Secara prosedural pengecualian informasi harus dilakukan melalui uji konsekuensi dan dilakukan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan surat salah satu Deputi Kementerian saja. Lebih kentara lagi, substansi surat yang menyatakan informasi HGU sawit sebagai informasi yang tertutup bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Alasan kepentingan strategis terkait perlindungan kekayaan alam Indonesia sudah tidak relevan untuk digunakan. Alasan ini juga digunakan oleh Kementerian ATR/BPN. Namun pengadilan selain telah menyatakan informasi HGU terbuka, juga menyatakan uji konsekuensi yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan alasan tersebut dibatalkan.
“Melihat perkembangan terakhir bahwa pemerintah saat ini enggan menjalankan berbagai putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut, saya berharap Komisi Informasi dan Pengadilan yang sedang menangani perkara serupa untuk tetap independen dan tidak terintimidasi dengan pola-pola yang dilakukan pemerintah” tutup Henri.