Ancaman represi terhadap partisipasi publik di alam demokrasi
Esensi dasar dari gagasan demokrasi adalah pemahaman jika kekuasaan itu berasal dari rakyat. Oleh sebab itu, penentuan arah dari penyelenggaraan negara harus memperhatikan kehendak rakyat.[1] Maka dari itu, dalam negara demokrasi partisipasi publik menjadi esensial. Bukan hanya sebagai bentuk kontrol publik agar pengambilan kebijakan tidak sewenang-wenang tetapi partisipasi publik yang dilakukan oleh warga negara dapat menjadi jalan yang membantu melindungi kebebasan, memastikan keadilan dan kesetaraan dan juga meningkatkan kualitas hidup warga negara.[2]
Namun fakta yang terjadi bertolak belakang dari obyektif tersebut. Partisipasi publik dalam bentuk kritik atau penyampaian pendapat kerap dibayangi oleh ancaman represi. Tren ini terlihat oleh laporan Freedom House (2021), yang menyoroti perkembangan indeks demokrasi di Indonesia yang saat ini masih tergolong sebagai negara demokrasi setengah bebas (partly free).[3] Salah satu indikator yang digunakan dalam laporan tersebut adalah mengenai kebebasan individu untuk mengekspresikan pandangan pribadi mengenai politik atau topik sensitif lainnya tanpa takut akan pengawasan atau pembalasan. Dalam sektor ini terlihat jika Indonesia justru mengalami kemunduran.[4]
Represi yang terjadi terhadap partisipasi publik terjadi dalam banyak konteks. Di dalam ruang digital misalnya, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat ancaman represi di ruang digital kerap menggunakan jeratan UU ITE terkait pasal tentang pencemaran nama baik, konten asusila hingga ujaran kebencian. Ancaman secara mayoritas kerap menyasar pada kalangan aktivis, jurnalis, dan masyarakat yang kritis,[5] yang merupakan komponen masyarakat yang secara aktif melakukan partisipasi publik.
Salah satu hal yang juga sangat mengkhawatirkan adalah represi terhadap pejuang lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dimana mereka dibayangi ancaman Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP sendiri merupakan bentuk penggunaan instrumen hukum untuk mengkriminalisasi pejuang lingkungan. Preseden kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan diantaranya adalah vonis 5 —6 bulan terhadap petani di Indramayu yang dituduh melakukan pemasangan bendera nasional Indonesia secara terbalik ketika melakukan selebrasi kemenangan warga pasca dicabutnya izin PLTU Indramayu .[6] Selanjutnya Vonis 4 tahun penjara terhadap Budi Pego atas tuduhan membentangkan spanduk palu arit saat melakukan unjuk rasa penolakan terhadap tambang emas, sehingga ia didakwa dengan pasal penyebaran ajaran komunisme.[7] Kriminalisasi ini bukan hanya menimpa pejuang lingkungan yang vokal dan mengorganisir gerakan penolakan terhadap perusakan lingkungan, tetapi juga menyasar ahli yang menjadi saksi di dalam persidangan kasus menyangkut lingkungan. Terdapat pula sederet akademisi yang bertindak sebagai saksi ahli digugat atas kesaksian keahlian yang mereka berikan di pengadilan. Diantaranya adalah gugatan perdata terhadap Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo, dan juga gugatan perdata terhadap dosen IPB Basuki Wasis.[8]
Hal ini menunjukkan partisipasi publik masih dibayangi oleh ancaman. Padahal perlindungan terhadap hak untuk berpartisipasi dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang sudah semestinya dijamin perlindungannya oleh negara. Tidak adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak tersebut sama saja menutup kanal partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan.
Melakukan penataan regulasi Anti-SLAPP di tingkat substansi dan struktur hukum
Merujuk pada pemikiran Lawrence M. Friedman, terdapat tiga komponen utama sebagai prasyarat efektif dari berjalannya hukum. Pertama adalah Struktur Hukum (Legal Structure) yang merujuk pada institusi dan seperangkat penegak hukum; Kedua Substansi Hukum (Legal Substance) yang merujuk pada aturan dan norma-norma yang dibuat oleh pembentuk hukum; dan ketiga adalah Budaya Hukum (Legal Culture) yang merujuk pada kepercayaan, aspirasi dan harapan masyarakat terhadap hukum.[9] Ketiga elemen tersebut memiliki kaitan antara satu sama lain. Secara metaforis, struktur hukum dapat diibaratkan sebagai sebuah mesin, substansi hukum sebagai produk yang dihasilkan dari mesin, dan budaya hukum adalah orang yang akan memanfaatkan produk yang telah dihasilkan oleh mesin tersebut. Oleh sebab itu, harmonisasi dari ketiga elemen sistem hukum tersebut menjadi prasyarat efektifnya penegakkan hukum.[10]
Regulasi mengenai Anti-SLAPP sendiri secara yuridis normatif telah terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni pada Pasal 66. Lebih lanjut secara teknis diruang pengadilan, Anti SLAPP diatur lebih lanjut pula dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Namun nyatanya ancaman dan represi terhadap aktivis lingkungan berbentuk kriminalisasi menggunakan instrumen hukum masih masif. Sebagaimana dilansir oleh CNN Indonesia, dalam catatan WALHI sepanjang tahun 2014 hingga 2018 setidaknya terdapat 723 kasus kriminalisasi menimpa masyarakat yang tengah memperjuangkan hidupnya.[11] Herlambang P Wiratman sebagaimana dilansir Kompas juga menyampaikan kritiknya terhadap ketentuan regulasi eksisting mengenai perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Menurutnya ketentuan yang ada masih belum memadai dalam melindungi pejuang lingkungan, utamanya di tengah semakin masifnya serangan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap mereka.[12]
Beberapa problematika terhadap regulasi Anti-SLAPP yang sudah eksis terdapat di dalam struktur dan substansi hukum. Pertama, dalam kaitannya dengan struktur hukum, perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dimulai dari Polisi, Jaksa, hingga Hakim berkaitan dengan penegakkan hukum tentang Anti-SLAPP.[13] Peningkatan kapasitas ini dilakukan secara paralel dengan penerbitan aturan internal kelembagaan dari Aparat Penegak Hukum guna operasionalisasi Anti SLAPP. Misalnya Kejaksaan Agung menerbitkan instrumen agar tidak memproses hukum apabila tuntutan tersebut memiliki kaitan dengan upaya penjegalan advokasi lingkungan.[14] Kedua, pada aspek substansi hukum perlu didorong adanya penataan regulasi Anti-SLAPP. Idealnya regulasi Anti-SLAPP dimuat di dalam Hukum Acara Perdata maupun Pidana. Pengintegrasian Anti-SLAPP ke dalam hukum acara Pidana misalnya, bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi penegak hukum di tiap tingkatan perkara untuk dapat mengidentifikasi dan menggugurkan perkara apabila dikategorikan sebagai perkara SLAPP agar perkara tidak dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Secara konkrit, gagasan pengintegrasian Anti-SLAPP ke dalam hukum acara harus dapat memungkinkan digugurkannya perkara SLAPP, bahkan sejak tahap penyidikan. Artinya perlu ada dasar hukum secara konkrit bagi aparat kepolisian dan kejaksaan untuk dapat menggugurkan perkara apabila suatu kasus teridentifikasi sebagai perkara SLAPP.
Apabila kasus telah masuk pada tahap persidangan, sebagaimana telah dijamin oleh Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013,[15] maka terdakwa dapat menggunakan argumentasi SLAPP dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (dalam perkara perdata) dan pembelaan (dalam perkara pidana) dan hakim harus memutusnya dalam putusan sela. Pengaturan ini perlu dikuatkan dalam level Peraturan Mahkmah Agung (Perma) untuk memberikan daya dorong yang kuat bagi hakim untuk mengoperasionalisasikannya.
Lebih lanjut, optimalisasi peran Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat juga penting untuk didorong. Peraturan Menteri ini dapat difungsikan untuk dapat langsung menghentikan perkara yang teridentifikasi SLAPP bagi penyidik KLHK, maupun untuk dapat memberikan rekomendasi bagi institusi aparat penegak hukum lainnya bahwa menurut kacamata KLHK perkara tersebut tergolong sebagai perkara SLAPP. Selain itu, dapat pula diatur bahwa untuk kasus-kasus berkarakter SLAPP dapat memanfaatkan mekanisme ORES. (Fatimah dan Chenny)
Daftar Pustaka
Aktivisual, “Memperkuat Aturan Perlindungan Pejuang Lingkungan”, https://aktivisual.org/infografis/penguatan-aturan-anti-slapp/#_ftn2., diakses pada 13 Agustus 2021.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Diedit oleh Zainal A.M. Husein. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
CNN Indonesia, “Walhi Demo Jokowi Soal Kriminalisasi Pejuang Lingkungan”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181211132215-20-352736/walhi-demo-jokowi-soal-kriminalisasi-pejuang-lingkungan., diakses pada 13 Agustus 2021.
Fitra Moerat Ramadhan, “Daftar Aktivis Hingga Jurnalis yang Terseret UU ITE”, Tempo, https://grafis.tempo.co/read/2549/daftar-aktivis-hingga-jurnalis-yang-terseret-uu-ite., diakses pada 13 Agustus 2021.
Freedom House, https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2020., diakses pada 13 Agustus 2021.
Friedman, Lawrence. American Law: An Introduction. New York, London: W.W. Norton & Company, 1984.
ICEL, “Saksi Ahli Digugat, Kebebasan Akademik Terancam”, https://icel.or.id/berita/saksi-ahli-digugat-kebebasan-akademik-terancam/., diakses pada 13 Agustus 2021.
____. “Pemasangan Bendera Merah Putih Terbalik Divonis 5 – 6 Bulan”, https://icel.or.id/berita/pemasang-bendera-merah-putih-terbalik-divonis-5-6-bulan/., diakses pada 13 Agustus 2021.
____. “Penegak Hukum Agar Cegah Kriminalisasi Pembela Lingkungan”, https://icel.or.id/berita/penegak-hukum-agar-cegah-kriminalisasi-pembela-lingkungan/., diakses pada 13 Agustus 2021.
Kompas, “Pembela Lingkungan Belum Terlindungi”, https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/01/11/pembela-lingkungan-belum-terlindungi., diakses pada 13 Agustus 2021.
Nabatchi, Tina, dan Leighninger, Matt. Public Participation for 21st Century Democracy. Hoboken: John Wiley & Sons, Incorporated, 2015. Diakses pada 13, 2021. ProQuest Ebook Central.
Pradipta Pandu, “Indonesia Perlu Mencontoh Aturan Anti-SLAPP dari Negara Lain”, Kompas, https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/23/indonesia-perlu-mencontoh-aturan-anti-slapp-dari-negara-lain., diakses pada 13 Agustus 2021.
Tirto.id, “Kejanggalan Kasus ‘Palu Arit’ Terhadap Budi Pego”, https://tirto.id/kejanggalan-kasus-palu-arit-terhadap-budi-pego-dbLM., diakses pada 13 Agustus 2021.
—
[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, ed. Zainal A.M. Husein (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)., hlm. 241.
[2] Tina Nabatchi, dan Matt Leighninger, M, Public Participation for 21st Century Democracy (Hoboken: John Wiley & Sons, Incorporated, 2015), diakses pada 13, 2021. ProQuest Ebook Central., hlm.4.
[3] Lihat laporan Freedom House, https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2020., diakses pada 13 Agustus 2021.
[4] Ibid.
[5] Fitra Moerat Ramadhan, “Daftar Aktivis Hingga Jurnalis yang Terseret UU ITE”, Tempo, https://grafis.tempo.co/read/2549/daftar-aktivis-hingga-jurnalis-yang-terseret-uu-ite., diakses pada 13 Agustus 2021.
[6] ICEL, “Pemasangan Bendera Merah Putih Terbalik Divonis 5 – 6 Bulan”, https://icel.or.id/berita/pemasang-bendera-merah-putih-terbalik-divonis-5-6-bulan/., diakses pada 13 Agustus 2021.
[7] Tirto.id, “Kejanggalan Kasus ‘Palu Arit’ Terhadap Budi Pego”, https://tirto.id/kejanggalan-kasus-palu-arit-terhadap-budi-pego-dbLM., diakses pada 13 Agustus 2021.
[8] ICEL, “Saksi Ahli Digugat, Kebebasan Akademik Terancam”, https://icel.or.id/berita/saksi-ahli-digugat-kebebasan-akademik-terancam/., diakses pada 13 Agustus 2021.
[9] Lawrence Friedman, American Law: An Introduction (New York, London: W.W. Norton & Company, 1984)., hlm. 5-7.
[10] Ibid., hlm 7.
[11] CNN Indonesia, “Walhi Demo Jokowi Soal Kriminalisasi Pejuang Lingkungan”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181211132215-20-352736/walhi-demo-jokowi-soal-kriminalisasi-pejuang-lingkungan., diakses pada 13 Agustus 2021.
[12] Kompas, “Pembela Lingkungan Belum Terlindungi”, https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/01/11/pembela-lingkungan-belum-terlindungi., diakses pada 13 Agustus 2021.
[13] Pradipta Pandu, “Indonesia Perlu Mencontoh Aturan Anti-SLAPP dari Negara Lain”, Kompas, https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/23/indonesia-perlu-mencontoh-aturan-anti-slapp-dari-negara-lain., diakses pada 13 Agustus 2021.
[14] ICEL, “Penegak Hukum Agar Cegah Kriminalisasi Pembela Lingkungan”, https://icel.or.id/berita/penegak-hukum-agar-cegah-kriminalisasi-pembela-lingkungan/., diakses pada 13 Agustus 2021.
[15] Dikutip dari Aktivisual, “Memperkuat Aturan Perlindungan Pejuang Lingkungan”, https://aktivisual.org/infografis/penguatan-aturan-anti-slapp/#_ftn2., diakses pada 13 Agustus 2021.