Pada tanggal 30 Maret 2020, DPR RI memutuskan menggelar rapat paripurna pembukaan masa persidangan III, meskipun virus corona (Covid-19) sedang mewabah di Indonesia. Perlu diketahui bahwa, virus Covid-19 ini telah menyerang hampir seluruh negara tak terkecuali di Indonesia dengan korban kematian yang cukup besar. Kompas.com pada tanggal 03 April 2020 mencatat, ada 170 pasien meninggal setelah dinyatakan positif Covid-19. Untuk mengatasi bertambahnya korban, pemerintah menghimbau masyarakat membatasi aktivitas diluar rumah dan tidak melakukan kegiatan yang melibatkan khalayak ramai.
DPR RI, yang merupakan perwakilan rakyat Indonesia, harus memperhatikan seruan dan masukan masyarakat demi terciptanya kondisi aman dan nyaman dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya, tugas utama sebagai penampung aspirasi rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ketika tuntutan buruh dan berbagai elemen organisasi masyarakat, yang menyerukan tunda pembahasan Omnibus Law di tengah pandemik Covid-19 ini dan DPR RI fokus menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan dalam penanganan Covid-19, tuntutan tersebut tidak didengarkan oleh anggota dewan yang terhormat.
Ketua DPR RIPuan Maharani menegaskan bahwa pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di parlemen tetap akan tetap dilakukan sesuai mekanisme[1] walaupun ditengah pandemi Covid-19 ini. DPR RI sungguh tak memiliki hati nurani memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja ditengah pandemi ini.
Pernyataan Puan Maharani membuat masyarakat sipil kecewa. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras sikap DPR RI yang telah menyepakati Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk dibahas di Badan Legislasi (Baleg) di tengah pandemi Covid-19. KSPI berencana akan menggelar aksi di depan DPR RI pada pertengahan April 2020 yang akan melibatkan 50.000 buruh se-Jabodetabek[2].
“ICEL mencatat di dalam Omnibus Law terdapat banyak sekali kelemahan dan catat prosedur dan cacat substansi. Jika memang DPR RI akan membahas ini sesuai dengan mekanisme yang berlaku, dari awal mekanismenya saja sudah salah karena tidak melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan di tingkat eksekutif dan kini bisa terulang lagi saat dibahas di tingkat DPR”, ujar Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring saat melakukan konferensi pers secara daring pada tanggal 2 Maret 2020 bersama dengan Walhi dan Greenpeace.
“Selain itu, banyak sekali pasal yang bermasalah didalam RUU Cipta Kerja ini. RUU ini juga tidak hanya merugikan satu atau dua orang kelompok saja, tetapi seluruh masyarakat akan berdampak, karena RUU seluruh sektor semuanya masuk. Sesuai dengan namanya sebagai RUU sapu jagad”, ujar Raynaldo kembali.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WalhiWahyu Pradana menyatakan bahwa DPR RI telah melanggar seruan Presiden untuk bekerja dari rumah dan tidak mengadakan pertemuan dengan melibatkan banyak orang. DPR RI juga telah banyak melukai hati masyarakat karena tidak mengindahkan permintaan masyarakat untuk menunda membahas RUU Cipta Kerja di tengah Covid-19 ini. Di mana hati DPR yang memaksakan pembahasan regulasi yang banyak ditolak oleh masyarakat, saat negara sedang berjuang menghadapi wabah corona?
Kembali ke RUU Cipta Kerja. Mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja ini harus ditolak? Berikut tambahan kritikPenulis pada bidang perkebunan.
Melongok RUU Cipta Kerja Pada Bidang Perkebunan
Untuk mempermudah dan mempercepat laju pertumbuhan investasi di Indonesia, pemerintah merancang sebuah kebijakan/regulasi, yang dibentuk untuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang telah berlaku (Omnibus Law). Pemerintah mengklaim bahwa, regulasi yang telah ada selama ini menjadi penyebab terhambatnya kemudahan berusaha di Indonesia.
Untuk menyusun Naskah Akademik (NA), penyusun mewawancarai tiga narasumber yakni para pakar, akademisi maupun pelaku usaha. Sayangnya, penyusun tidak melibatkan narasumber dari organisasi masyarakat sipil. Mengapa perwakilan dari organisasi masyarakat tidak dilibatkan? Apakah para pelaku pekerja, dan masyarakat ini tidak ahlinya? Tidak pakar? Sehingga mereka tidak berhak untuk dilibatkan sebagai pelengkap hasil analisis p penyusun NA ini.
Analogi kelas pekerja, memang telah lama terbangun sebagai kelas pekerja bawah sejak terjadinya revolusi industri, sehingga kelas pekerja dinilai tidak layak untuk membahas sebuah mahakarya penarik investor ini di Indonesia. Apa lagi “katanya” kelas pekerja di Indonesia banyak maunya.
Untuk lebih memahami terkait Omnibus Law, Penulis mengutip bahasan dari laman hukumonline.com yakni, Omnibus Law merupakan satu regulasi yang dibentuk untuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang telah berlaku. Konsep ini bisa saja hanya menggantikan beberapa pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain. Artinya, Omnibus Law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapu jagat.
RUU Cipta Kerja juga menuai kritik lainnya oleh masyarakat sipil salah satunya terkait dimana UU dapat diganti oleh sebuah PP. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD[3] menyatakan kepada awak media bahwa ada kemungkinan penyusun RUU tersebut salah melakukan pengetikan. Terlepas dari berbagai kecurigaan adanya kesengajaan terkait Pasal ini, Penulis berpendapat sekalipun memang betul teradapat kesalahan dalam pengetikan tentu akan wajar saja mengingat pengerjaannya dikebut dalam waktu 100 hari.
Selain RUU ini menyasar para investor, para pekerja kelas bawah, dan lingkungan, RUU Cipta Kerja ini juga menyasar peraturan terkait perkebunan/pertanian (sebenarnya dari seluruh materi muatan RUU Cipta Kerja, terdapat pendelegasian lebih kurang 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah). Catatan dari peneliti Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) terkait perkebunan/pertanian cukup membuat penulis terkejut dimana RUU Cipta Kerja ini banyak menghilangkan pertimbangan-pertimbangan dari UU Perkebunan sebelumnya.
Salah satunya terhadap Pasal 30 angka 1 mengenai perubahan terhadap Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dimana telah menghilangkan pertimbangan-pertimbangan terkait penetapan batasan luas. Pertimbangan tersebut yakni a. Jenis tanaman; b. Ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat; c. Modal; d. Kapasitas pabrik; e. Tingkat kepadatan penduduk; f. Pola pengembangan usaha; g. Kondisi geografis; h. Perkembangan teknologi; dan i. Pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.
Sehingga pasal ini berpotensi mengambil alih kawasan-kawasan yang bukan diperuntukkan untuk usaha perkebunan.
Sebelum adanya perubahan dan penghilangan pertimbangan-pertimbangan tersebut pada RUU Cipta Kerja, jauh sebelum itu kasus-kasus pengambilan alih kawasan yang bukan diperuntukkan untuk perkebunan telah lama bergema. Mulai dari masa orde baru, hingga revolusi industri 4.0 saat ini. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih penguasaan tanah di Indonesia, karena adanya dua hukum yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat dan pemerintah saling klaim hak atas tanah/hutan. Masing-masing pihak hanya mengakui keberadaan satu hukum demi kepentingannya. Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam dibandingkan hukum adat. Seringkali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut[4]. Sehingga kasus-kasus perampasan lahan oleh pemerintah kerap terjadi.
Pada catatan akhir tahun 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan konflik tanah menyebar di seluruh Indonesia. Konflik ini didominasi oleh Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Jawa Barat sejak tahun 2014. Luas konflik tanah sendiri mencapai 807.177 hektare dengan didominasi sektor perkebunan sawit yakni mencapai 591.640 hektare. Lainnya adalah kehutanan (65 ribu hektare); pesisir (54 ribu hektare); dan pertambangan (49 ribu hektare)[5]. KPA menilai tingginya angka konflik agraria merupakan bentuk upaya perampasan hak rakyat atas tanah, baik oleh negara maupun pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa.
Mau sehebat apapun Omnibus Law ini dibentuk oleh pemerintah, jika ujung-ujungnya perampasan lahan dan konflik agraria belum dapat diatasi apa gunanya Omnibus Law ini dibahas. (Dona)
*Penulis merupakan Staf Media dan Komunikasi ICEL.
[1] Tsarina Maharani, “Puan Pastikan Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja di DPR Jalan Terus”, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/03/30/17090581/puan-pastikan-pembahasan-omnibus-law-cipta-kerja-di-dpr-jalan-terus pada tanggal 31 Maret 2020.
[2] Nur Azizah Rizki Astuti, “KSPI Akan Gelar Aksi di DPR Tolak Pembahasan RUU Cipta Kerja di Tengah Corona” diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4963389/kspi-akan-gelar-aksi-di-dpr-tolak-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-tengah-corona pada tanggal 03 maret 2020.
[3] Kadek Melda Luxiana, “Omnibus Law Sebut Jokowi Bisa Ubah UU Via PP, Mahfud: Mungkin Keliru Ketik” diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4902268/omnibus-law-sebut-jokowi-bisa-ubah-uu-via-pp-mahfud-mungkin-keliru-ketik pada tanggal 31 Maret 2020.
[4] Abdul Mutolib, “Konflik Agraria Dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat) Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12, No. 3 (Desember 2015): Hal. 213-225.
[5]CNN Indonesia, ”Konflik Agraria di Era Jokowi: 41 Orang Tewas, 546 Dianiaya” diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190104084604-20-358395/konflik-agraria-di-era-jokowi-41-orang-tewas-546-dianiaya pada tanggal 25 Maret 2020.