Riuh penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, sebelumnya beredar dengan judul RUU Cipta Lapangan Kerja saat ini masih bergema. Pasca informasi penyerahan draf resmi dari pihak eksekutif ke legislatif (DPR) pada 13 Februari lalu, beredar draf UU yang segera dikritisi oleh berbagai elemen masyarakat sipil sesuai pengalaman dan keahlian masing-masing. Agaknya masyarakat sipil tak mau kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya dalam memberikan pendapat.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) misalnya langsung menganalisa berbagai perubahan yang berdampak pada lingkungan hidup dan sumber daya alam. Beberapa isu yang menjadi catatan penting antara lain terkait perizinan berbasis risiko, isu kewenangan dalam perizinan pertambangan dan pertanian (perkebunan), mekanisme penyelesaian timpang tindih kawasan hutan, kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyediaan ketenagalistrikan, dan kewenangan PP untuk mengubah ketentuan undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini. (lebih lanjut dapat dilihat di: Catatan Atas RUU Cipta Kerja)

Tak hanya terkait dengan persoalan lingkungan, kritik juga datang dari berbagai pihak seperti persoalan regulasi yang dinilai bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan serta konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam rilis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), persoalan paten yang dinilai merugikan pemilik paten non investor sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Kesowo Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas[1], juga oleh kalangan buruh yang mempersoalkan perihal upah.

Tentu lazim dalam suatu kebijakan banyak pro dan kontra. Namun demikian, apabila suatu kebijakan mengatur berbagai aspek kehidupan dan mempengaruhi berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda, tentunya Pemerintah layak mendengar aspirasi dari berbagai kelompok tersebut, bukan hanya sekelompok mayoritas saja. Pertanyaannya, sudahkah Pemerintah mendengar? Sudahkah ada ruang untuk bersuara dalam diskusi-diskusi perumusan RUU Cipta Kerja (dan mungkin Omnibus Law lain yang akan berdampak pada berbagai sektor)?

Masih hangat dalam ingatan saat protes terhadap Omnibus Law direspons oleh Ibu Puan Maharani yang menyatakan bahwa RUU yang tengah beredar tidak valid karena bukan merupakan draf resmi[2]. Lalu, di mana draf resminya? Pemerintah pada waktu itu menyatakan draf akan dibuka kepada publik saat sudah resmi disampaikan ke DPR. Namun demikian, draf resmi yang dirilis oleh Pemerintah si pemberi naskah ataupun oleh DPR si penerima naskah tak kunjung muncul. Lantas, dari mana kritikus bisa mengkritik apabila draf resminya belum ada? Ya, sama dengan kejadian seperti akhir tahun 2019 silam, tentunya draf-draf yang diklaim sebagai draf resmi bermunculan di media sosial dan whatsapp group. Entah siapa yang mengedarkan pertama kalinya. Pejuang anonim yang berusaha memberikan akses kepada publik atau bisa jadi pula pihak yang memiliki niat terselubung lainnya.

Semua yang merasa kepentingannya terusik bergegas memberikan catatan, meskipun belum ada sinyal apakah RUU yang beredar sudah merupakan draf final atau tidak. Tidakkah masyarakat trauma dengan respons dari pembuat kebijakan beberapa waktu yang lalu? Satu-satunya alasan yang dapat dipahami adalah masyarakat takut terlambat. Masyarakat khawatir haknya untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 96 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apalagi, ada wacana RUU ini ditargetkan harus selesai dalam 100 hari kerja. Pasal 96 ayat (4) UU 12 Tahun 2011 ini jelas-jelas mengatur bahwa demi kemudahan masyarakat untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Adapun istilah “masyarakat” di sini meliputi perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, termasuk kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Harus diakui, pemerintah belakangan ini tampak semakin tertutup terutama ketika berbicara soal Omnibus Law. Omnibus Law seperti RUU Cipta Kerja diklaim demi kesejahteraan masyarakat. Regulasi yang dipangkas diharapkan mampu mempermudah investasi yang akhirnya akan menguntungkan masyarakat. Namun, jika dilihat dari proses yang sangat tertutup dan hanya melibatkan segelintir pihak tentunya menjadi tanda tanya kembali, masyarakat mana yang akan mendapatkan keuntungan dari Omnibus Law ini? Masyarakat yang pro terhadap lingkungan jelas memberikan banyak catatan. Masyarakat yang mengawal isu hukum dan kebijakan juga memiliki catatan mayor atas ke”salah kaprah”an yang muncul dari RUU yang disusun oleh tim terpilih. Kelompok buruh, sudah jelas menentang dengan berbagai aksi demo yang dilakukan. Masyarakat adat pun melayangkan protes. Demikian juga dengan kelompok yang peduli dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jadi, sekali lagi dapatkah pemerintah menyatakan masyarakat mana yang akan diuntungkan oleh pembahasan ini?

Naskah RUU yang ditargetkan selesai dalam waktu 100 hari kerja tersebut pun kemudian baru muncul pasca protes dari masyarakat sipil. Itu pun baru tersedia di laman website Kemenko Perekonomian tertanggal 15 Februari 2019. Sementara itu, hingga tulisan ini dimuat, Penulis belum menemukan naskah tersebut di laman website DPR yang menerima naskah pada tanggal 13 Februari. Padahal, UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengatur bahwa yang dimaksud dengan informasi publik bukan hanya informasi yang dihasilkan oleh Badan Publik, melainkan juga informasi yang diterima oleh Badan Publik. (Pasal 1 angka 2 UU KIP)

Tak berlebihan jika muncul anggapan jaminan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang diamanatkan oleh Pasal 28 huruf f UUD 1945 yang kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan di dalam UU KIP masih jauh panggang dari api. Komisi Informasi Pusat tampaknya lebih memilih menyelesaikan sengketa informasi yang ada dibandingkan repot mengurus permasalahan minimnya informasi terkait Omnibus Law. Inisiatif keterbukaan seperti Open Government Partnership pun tampaknya belum memberikan dampak yang cukup positif bagi perkembangan keterbukaan sehingga Pemerintah dan DPR memilih pasif dalam merespons tuntutan-tuntutan masyarakat. Terbukti, DPR yang belum lama meresmikan inisiatif Open Parliament (Keterbukaan Parlemen) pun belum cukup pro aktif membuka informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Apakah Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) juga untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat? Jika ya, maka izinkanlah masyarakat bersuara di ruang-ruang terbuka. Meski lelah, tentunya masyarakat masih menaruh harap tinggi kepada DPR untuk mau mendengar dan memberi ruang yang lebih untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat, karena masyarakat bukan hanya pengusaha. (Astrid)

[1]Bambang Kesowo, “Pembonceng “Omnibus”, Kompas, https://bebas.kompas.id/baca/opini/2020/02/13/pembonceng-omnibus/, diakses pada 13 Februari 2020.

[2] Rolando F. Sihombing, “Ketua DPR: Omnibus Law yang Beredar Abal-abal, Jangan Terpengaruh”. Detik News, https://news.detik.com/berita/d-4868098/ketua-dpr-omnibus-law-yang-beredar-abal-abal-jangan-terpengaruh, diakses pada 13 Februari 2020.