Rencana tata ruang adalah salah satu dokumen induk dari proses pembangunan. Ia merupakan pengejawantahan visi alokasi ruang untuk pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang. Perencanaan ruang yang diatur menyangkut banyak kepentingan dari pelbagai pihak: tidak hanya sesederhana antara kepentingan masyarakat, swasta dengan pemerintah, tetapi juga kepentingan antar kelompok di dalam masyarakat, kepentingan antar kelompok pengusaha swasta dan juga kepentingan antar lembaga di dalam pemerintahan sendiri. Melihat kompleksitas kepentingan yang harus diakomodasi di dalam rencana tata ruang ini, maka proses pembentukan yang partisipatif merupakan syarat logis dalam merancang rencana tata ruang yang baik. Pendekatan partisipatif pada dasarnya akan menjamin penerimaan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Kesamaan pemahaman, visi, dan rencana pelaksanaan serta sistem pengendalian sebagai hasil keputusan bersama antar pemangku kepentingan akan menjamin kemudahan di dalam pelaksanaan dan pengendalian, karena adanya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dari keputusan-keputusan perencanaan yang disepakati di dalam proses partisipatif.[1]

Prosedur dan penghormatan terhadap kesepakatan dalam proses partisipatif ini dijamin dengan asas kepastian hukum dan keadilan yang diatur di dalam Pasal 2 huruf h dalam UU No. 26 Tahun 2007. Asas ini menyatakan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum ini diturunkan dalam aturan hukum mengenai prosedur pembentukan rencana tata ruang serta prosedur perubahan rencana tata ruang,[2] sehingga kesepakatan awal dalam rencana tata ruang tidak dapat diubah seenaknya tanpa melalui prosedur tersebut. Kepastian hukum ini juga memberikan jaminan pada masyarakat untuk memanfaatkan ruang sesuai peruntukan dan fungsinya, serta perlindungan dari kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan kesepakatan partisipatif yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Para petani mendapat kepastian hukum lahannya tidak akan dikonversi untuk pertambangan, masyarakat yang mendirikan pemukiman di ruang yang sesuai dengan tata ruang pun tidak akan digusur seenaknya, begitu pula dengan pengusaha akan mendapatkan kepastian ruang mana yang boleh dieksploitasi dan mana yang tidak. Guna menjamin kepastian hukum ini, maka pelanggaran  pemanfaatan ruang di luar peruntukan fungsi ruang dapat dikenakan sanksi baik administratif,[3] pidana[4] maupun perdata.[5]

Fleksibilitas yang Tetap Menjunjung Kepastian Hukum dalam Tata Ruang

Dalam pelaksanaannya, tidak dapat dipungkiri bahwa rencana secermat apapun perlu mempunyai ruang fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perubahan dan dinamika yang terjadi di lapangan, begitu pula dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu, hukum pun menjamin adanya ruang fleksibilitas ini, dengan ketentuan peninjauan kembali rencana tata ruang setiap 5 (lima) tahun sekali,[6] serta ketentuan situasi khusus luar biasa di mana peninjauan kembali rencana tata ruang dapat diselenggarakan lebih dari sekali dalam 5 (lima) tahun.[7] Peninjauan kembali ini dapat berujung pada perlu atau tidaknya revisi rencana tata ruang serta arah revisi, jika diperlukan. Prosedur peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan kriteria, mekanisme dan waktu penyelenggaraan yang jelas, sehingga para pihak yang berkepentingan dapat mempersiapkan diri untuk memberikan masukan. Prosedur peninjauan kembali ini juga memberikan jaminan hukum atas prosedur yang partisipatif, transparan dan mempertimbangkan kepentingan pelbagai pihak. Proses revisi ini pun harus disertai dengan kajian lingkungan hidup strategis guna menjamin pembangunan berkelanjutan.[8] Hal paling penting adalah revisi rencana tata ruang tidak boleh dilakukan dalam rangka pemutihan terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang.[9] Penyimpangan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan dalam RTRW dan/atau pemberian izin pemanfaatan ruang yang melebihi dominasi fungsi dalam RTRW.[10] Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam perencanaan tata ruang tetap harus menghormati kepastian hukum. Meskipun akan dilakukan perubahan, pelanggaran terhadap kesepakatan partisipatif di awal yang telah dituangkan dalam RTRW sebelumnya tetap harus dikenai sanksi.

Selain melalui mekanisme peninjauan kembali, fleksibilitas juga diberikan pada kegiatan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata ruang tetapi tidak mengganggu dominasi fungsinya.[11] Berbicara mengenai fungsi ruang sama halnya dengan ketika kita berbicara mengenai fungsi ekosistem, fungsi tersebut tidak dapat dikotak-kotakkan dengan tegas kemudian diberi label bahwa suatu ekosistem hanya berfungsi lindung saja atau berfungsi budidaya saja. Dalam satu ruang terdapat pelbagai macam fungsi, di mana dalam kerangka manajemen lingkungan, satu fungsi dianggap lebih dominan, sementara fungsi-fungsi lain menjadi fungsi pendukung. Sehingga, dalam zona budidaya tetap bisa terdapat zona dengan fungsi lindung, begitu pula sebaliknya, dalam zona lindung tetap bisa ada pemanfaatan dengan batasan tertentu. Sebagai contoh pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukan adalah dalam ruang yang diperuntukkan sebagai pemukiman hunian rendah, dapat dibangun perumahan hunian padat, asalkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas fungsi dominan dari ruang tersebut tetap perumahan hunian rendah.[12]Izin pemanfaatan ruang dapat diberikan setelah ada kajian dan rekomendasi dari dinas tata ruang daerah.[13]

Pemanfaatan yang tidak mengganggu dominasi fungsi ruang diasumsikan tidak melanggar kepentingan dan kesepakatan bersama yang telah dirumuskan secara partisipatif ketika penyusunan rencana tata ruang tersebut, sehingga dapat dilakukan tanpa konsultasi publik. Namun perlu diingat, ketentuan pemanfaatan ruang yang tidak melebihi dominasi fungsi ini tidak boleh hanya dilihat dari segi luasan ruang yang digunakan, tetapi juga dampak dari pemanfaatan tersebut terhadap ruang. Sebagai contoh, pembangunan dermaga bongkar muat batu bara untuk keperluan PLTU di kawasan konservasi pesisir mungkin tidak memerlukan wilayah yang luas, tetapi dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar dan mengganggu fungsi dominasi–yaitu fungsi lindung–dari kawasan itu sendiri.

Pasal 114 A Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2017 Memberikan Ketidakpastian Hukum Bagi Masyarakat

Diskursus mengenai kepastian hukum dan fleksibilitas dalam perencanaan ruang makin mencuat ketika Pemerintah mengesahkan PP No. 13 Tahun 2017 mengenai Perubahan Atas PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No.13/2017). Pasal 114 A dalam PP No.13/2017 ini mengatur:

“(1) Dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bernilai strategis nasional dan/atau berdampak besar yang belum dimuat dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan/atau rencana rincinya, izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.

(2) Dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat memberikan rekomendasi pemanfaatan ruang.”

Pasal baru ini memungkinkan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang dilakukan tanpa melalui mekanisme peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang. Dengan demikian, rencana tata ruang yang seharusnya menjadi pegangan masyarakat dalam menaati pemanfaatan ruang tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya, karena Pasal 114a melegitimasi berubahnya pemanfaatan ruang setiap saat, sekalipun berbeda dengan rencana tata ruangnya.

Rencana pemanfaatan ruang yang bernilai strategis nasional dan/atau berdampak besar sangat berpotensi akan mengganggu dominasi fungsi ruang yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rencana tata ruang daerah.[14] Melihat potensi dampak yang besar ini, pemanfaatan ruang untuk kegiatan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 A hendaklah dilakukan melalui mekanisme peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang yang partisipatif dan disertai kajian lingkungan hidup strategis. Perubahan pemanfaatan ruang yang dapat berubah sewaktu-waktu hanya berdasarkan rekomendasi menteri dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, terlebih PP No. 13/2017 tidak mengatur mekanisme jelas bagaimana partisipasi publik dalam pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan ruangnya. Berbeda dengan mekanisme peninjauan kembali yang jelas periode waktu, tata cara serta indikator yang digunakan.

Kesimpulan : Guna Menjamin Fleksibilitas yang Tetap Berkepastian Hukum, Perubahan Pemanfaatan Ruang yang Berdampak Besar Tidak Boleh Hanya Berdasarkan Rekomendasi Menteri Agraria dan Tata Ruang

Pemanfaatan ruang yang diatur pada Pasal 114 A PP No.13/2017 merupakan pemanfaatan ruang yang akan berdampak besar bagi banyak pihak, baik bagi masyarakat sekitar, lingkungan dan pihak pemanfaat ruang sendiri. Jika pemanfaatan ruang berdampak besar ini dimungkinkan untuk dilakukan hanya dengan rekomendasi menteri  maka akan menegasikan pelbagai kepentingan umum yang diterjemahkan dalam alokasi pemanfaatan ruang sudah diakomodasi sesuai proses perencanaan sebelumnya. Terlebih lagi rekomendasi atas pemanfaatan ruang ini dapat dikeluarkan sewaktu-waktu. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dianut oleh UU No. 26 Tahun 2007. Untuk skala pemanfaatan ruang yang disebutkan dalam Pasal 114 A PP No.13/2017 mekanisme yang tepat untuk mengakomodasi dinamika pembangunan tanpa melanggar asas kepastian hukum adalah dengan mekanisme peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang. (Rika)

[1] Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim dan Dyah R Panuju, Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah, (Jakarta: Yayasan obor, 2009), hlm. 348.

[2] Prosedur penyusunan rencana tata ruang ruang serta peninjauan kembali rencana tata ruang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan ruang. Peraturan Pemerintah ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 68  Tahun 2010 tentang Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 6 tahun 2017. Peraturan Pemerintah ini lebih jauh diperinci dalam Peraturan Menteri ATR No. 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta Peraturan Menteri ATR No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah.

[3] Pasal 61-62 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[4] Pasal 69-74 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[5] Pasal 66-67 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[6] Pasal 20 ayat (4) jo. Pasal 23 ayat (4) jo. Pasal 26 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[7] Pasal 20 ayat (5) jo. Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 26 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[8] Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[9] Pasal 91 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

[10] Pasal 22 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang

[11] Ibid, Pasal 22 ayat (2) tidak memasukkan pemberian izin pemanfaatan ruang yang tidak melebihi dominasi fungsi ruang sebagai bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang.

[12] RTR KSN Metropolitan Sebagai Dasar perizinan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota. Diakses pada http://tataruang.bpn.go.id/Berita/Detail/2497

[13] Praktik ini diformalkan dalam beberapa peraturan daerah tentang tata ruang, contohnya Pasal 114  Perda Kota Padang No. 4 Tahun 2012 tentang  Tata Ruang Kota Padang

[14] Hal ini diakui sendiri dalam penjelasan PP No.13/2017 bahwa pemanfaatan ruang yang berdampak besar antara lain kriterianya : a. adanya perubahan bentang alam; b. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak pemanfaatan ruang; c. luas wilayah penyebaran dampak; d. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; e. banyaknya komponen lingkungan hidup dan lingkungan buatan yang akan terkena dampak; f. sifat kumulatif dampak; dan/atau g. sifat reversible dan irreversible dampak.