Secara garis geografis Indonesia memiliki dua pertiga luas lautan daripada luas daratan. Karena memiliki wilayah laut yang luas, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk memajukan perekonomian Indonesia melalui pemanfaatan sumber daya laut. Sayangnya, sumber daya laut yang memiliki potensi besar belum dapat menjamin kesejahteraan bagi nelayan Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh BPS periode 2000-2016 jumlah rumah tangga nelayan menurun dari tahun 2003 berjumlah 2.144.959 menjadi 965.756 pada tahun 2016. Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fshing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.
Turunnya jumlah rumah tangga nelayan, menjadi pertanyaan yang mendasar apakah kesejahteraan nelayan di Indonesia telah terjamin? Sehingga nelayan-nelayan yang dulunya menjadi profesi yang utama menjadi beralih pada profesi yang lain. Salah satu faktor yang dapat menunjang kesejahteraan nelayan adalah wadah hukum yang bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan nelayan. Pada dasarnya, ada empat payung hukum bagi nelayan di Indonesia yaitu (i) UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam (UU No. 7 Tahun 2016), (ii) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya UU No. 45 Tahun 2009 (UU Perikanan), (iii) UU No. 32 Tahun 2014 tentang kelautan (UU Kelautan), dan (iv) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014 (UU Pengelolaan WP3K).
Dari namanya saja dapat diketahui bahwa UU No. 7 Tahun 2016 berfungsi sebagai payung hukum utama untuk mewujudkan kesejahteran nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 mengatur mengenai perlindungan dan pemberdayaan nelayan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pendanaan dan pembiayaan, dan pengawasan disertai dengan sanksi pidana. Perlindungan bertujuan untuk membantu nelayan menghadapi kesulitan berkaitan dengan usaha perikanan. Sementara pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan nelayan dalam melaksanakan usaha perikanan. Masyarakat juga diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pendanaan dan pembiayaan, serta pengawasan.
Ketika berbicara tentang nelayan, tentunya tidak terlepas dengan isu perikanan. Terwujudnya perikanan yang berkelanjutan tentunya akan meningkatkan taraf hidup nelayan. Perlindungan hukum bagi nelayan dalam konteks perikanan tercermin dalam UU Kelautan dan UU Perikanan. UU Kelautan mengatur tentang perlunya perluasan kesempatan kerja dalam industri perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sebagai kelompok yang paling rentan, nelayan kecil dan nelayan tradisional membutuhkan perhatian khusus dan perlindungan hukum lebih. Hal ini telah diakomodir dalam UU Perikanan dimana nelayan kecil diberikan kebebasan untuk tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tidak dikenakan pungutan perikanan, dan adanya kewajiban pemerintah untuk memberdayakan nelayan kecil dalam bentuk skim kredit, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penumbuhkembangan. Akan tetapi, UU Perikanan tidak mengatur terkait nelayan tradisional sehingga ketiga bentuk perlindungan hukum tersebut tidak berlaku bagi nelayan tradisional.
Perlindungan hukum terhadap nelayan tradisional terdapat di UU No. 1 Tahun 2014. Pasal 60 UU No. 1 Tahun 2014 memberikan hak kepada Masyarakat (termasuk juga nelayan tradisional) untuk mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K. Permen KKP No. 23/PERMEN-KP/2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahujn 2014 juga menekankan pentingnya alokasi ruang 0-2 mil laut untuk ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Implementasi UU No. 7 Tahun 2016 Belum Maksimal
Untuk dapat memberikan upaya perlindungan dan pemberdayaan yang terintegrasi, terkoordinir, dan tepat sasaran, UU No. 7 Tahun 2016 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menyusun rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Rencana ini akan menjadi bagian integral dari rencana pembangunan nasional, rencana pembangunan daerah, rencana APBN, dan rencana APBD. Upaya perlindungan dan pemberdayaan dilaksanakan mengacu kepada rencana perlindungan dan pemberdayaan yang telah disusun. Sayangnya, sampai sekarang rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam belum terbit baik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
UU No. 7 Tahun 2016 juga memerintahkan pembentukan empat peraturan pelaksana, yaitu peraturan pemerintah tentang pengawasan perencanaan dan pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan, peraturan presiden tentang pemberian subsidi, dan dua peraturan menteri tentang mekanisme perlindungan terhadap risiko dan partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pemberdayaan. Peraturan pelaksana yang telah terbentuk hanya pada level peraturan menteri saja, sedangkan peraturan pemerintah dan peraturan presidennya belum terbantuk. Belum terbitnya peraturan-peraturan pelaksana dan rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang merupakan kunci utama dalam pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan menunjukkan bahwa UU No. 7 Tahun 2016 belum diimplementasikan secara maksimal.
Salah satu peraturan menteri yang telah terbit adalah Permen KKP No. 3/PERMEN-KP/2019 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Permen KKP ini mengatur upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk berkontribusi dalam perlindungan dan pemberdayaan baik pada tahap perencanaan, pelaksanan, pendanaan dan pembiayaan, serta pengawasan. Namun, satu hal penting yang luput ditekankan dalam Permen KKP ini adalah pentingnya partisipasi nelayan dalam menyusun rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam baik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pasal 5 Permen KKP No. 3 Tahun 2019 hanya mengatur bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan dengan memberikan saran dan masukan serta turut serta dalam musyawarah. Seharusnya dibebankan kewajiban bagi pemerintah untuk melibatkan nelayan sebagai subjek yang dituju dari rencana perlindungan dan pemberdayaan pada tahap penyusunan.
Penutup
Ditinjau secara normatif, perlindungan hukum terhadap nelayan, khususnya nelayan kecil dan nelayan tradisional sudah diatur di berbagai peraturan perundang-undangan. Tidak hanya peraturan terkait perikanan, tetapi juga peraturan yang bersifat lebih makro yaitu terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terlepas dari pelaksanaan masing-masing peraturannya, hal ini sudah menunjukkan tingginya kesadaran pemerintah atas peran vital nelayan di negara kepulauan kita. Tindakan Pemerintah yang menerbitkan peraturan khusus untuk perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam juga patut diapresiasi. Namun, perlu ditekankan bahwa UU No. 7 Tahun 2016 akan menjadi sekadar formalitas saja apabila tidak diimplementasikan dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah harus segera menerbitkan rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam. Rencana ini penting untuk menciptakan upaya perlindungan dan pemberdayaan yang terukur, terkoordinasi, dan dengan tanggung jawab lembaga serta target berkala yang jelas. Penerbitan peraturan peaksana dari UU No. 7 Tahun 2016 juga akan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan rencana perlindungan dan pemberdayaan ini. (Vania dan Dona)