8 November ditetapkan sebagai Hari Tata Ruang Nasional dalam Keputusan Presiden No. 28 tahun 2013. Hari ini seharusnya menjadi refleksi atas penataan ruang selama ini. Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, dengan: a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Namun, nampaknya cita-cita tersebut masih jauh dari panggang. Pasalnya RTRW sebagai safeguard lingkungan hidup pertama masih sering dilangkahi bahkan diakali untuk melancarkan eksploitasi sumber daya alam. Contohnya saja Perda Riau No. 10 tahun 2018 tentang RTRW Provinsi Riau yang cacat baik secara formal dan juga materiil. Secara formal, Gubernur Riau melangkahi sebuah syarat dalam menerbitkan perda ini, yaitu validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Seharusnya validasi KLHS dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetapi karena KLHS Perda RTRW Provinsi Riau masih memerlukan perbaikan maka Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak dapat memvalidasinya.

Sedangkan secara materiil, Perda RTRW Provinsi Riau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di 3 aspek: 1) outline, 2) perhutanan sosial, dan 3) perlindungan ekosistem gambut. Pertama, pengaturan mengenai outline dalam Perda RTRW Provinsi Riau tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan pengaturannya juga menyalahi tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Pengaturan outline ini berpotensi mempercepat. Kedua, Perda RTRW Provinsi Riau menambah syarat pengajuan perhutanan sosial dengan mensyaratkan rekomendasi gubernur dan pembahasan di DPRD yang sebetulnya tidak diperlukan. Penambahan syarat ini telah nyata menghambat akses wilayah kelola masyarakat di Provinsi Riau. Ketiga, Perda RTRW Provinsi Riau mengurangi kawasan lindung ekosistem gambut menjadi seluas 21.615 ha dari 4.972.482 ha kawasan lindung ekosistem gambut yang ditetapkan dalam 130/MENLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional. Pengurangan kawasan lindung ekosistem gambut ini tentunya berpotensi melanggengkan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

Masyarakat Riau, melalui Jikalahari dan Walhi, tentunya tidak diam saja mengetahui ketidakadilan ruang ini, mereka melakukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung pada Agustus lalu. Selang 2 bulan setelahnya, Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan permohonan uji materiil Perda Riau No. 10 tahun 2018 tentang RTRW Provinsi Riau dengan nomor perkara 63P/HUM/2019. Walaupun sampai tulisan ini dibuat putusan tersebut belum dipublikasikan, putusan tersebut memberikan harapan bagi penataan ruang ke depannya. Putusan tersebut mewajibkan Gubernur Riau menyusun kembali RTRW Provinsi Riau karena kecacatan formal mengakibatkan suatu peraturan batal demi hukum. Penataan kembali RTRW Riau ini hendaknya mengindahkan asas a) keterpaduan, b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, c) keberlanjutan, d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, d) keterbukaan, e) kebersamaan dan kemitraan, f) pelindungan kepentingan umum, g) kepastian hukum dan keadilan; dan h) akuntabilitas.

(Marsya)