“Bapak, Ibu dan Saudara yang terkasih, saat ini bumi kita sedang sakit karena bumi kita ini telah berubah,”
Romo Marselus Hasan
Begitu sekelumit penyampaian khotbah keagamaan dari Romo Marselus Hasan dalam film Semes7a yang disutradarai oleh Chairun Nissa dan diproduseri oleh aktor terkenal Indonesia Nicholas Saputra. Romo Marselus adalah seorang tokoh agama Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ketika Romo Marselus menapaki kakinya di Desa Bea Muring, desa tersebut belum teraliri listrik, sehingga masyarakat terpaksa menggunakan generator sebagai sumbernya. Namun permasalahan generator genset menimbulkan polusi udara dan polusi suara (berisik) serta membutuhkan bahan bakar fosil yang harganya lumayan mahal di desa tersebut. Bersama warga, Romo Marselus secara mandiri membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk mengurangi emisi berbahaya yang keluar dari generator.
Dari Sabang, cerita yang sama juga mengalir syahdu. Bagaimana tidak, biasanya pada surat kabar kita selalu disuguhi terhadap konflik antar manusia dengan gajah. Dan para mamalia besar itu selalu diusir secara paksa, karena digolongkan hama dalam dunia perkebunan. Namun seorang imam di Desa Pameu, Aceh mengingatkan penduduk setempat bahwa penebangan hutan merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pemanasan global dan berdampak pada kerusakan habitat alami gajah liar. Tidak ada solusi lain selain meminta pertolongan oleh Tuhan. Menakut-nakuti ataupun diracun bukan merupakan jalan keluar yang baik yang harus dilakukan oleh manusia, sebab sejatinya gajah merupakan makhluk tuhan yang harus tetap dijaga dan dilindungi.
Bali, perayaan nyepi mampu mengurangi emisi gas buang sebesar 20.183 juta ton. Tjokorda Raka Kerthyasa tokoh budaya di Ubud, Bali dan bersama segenap umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1 tahun saka (tahun baru Saka). Pada saat Nyepi tidak boleh melakukan aktivitas seperti pada umumnya, seperti keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya. Dan tujuannya adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (manusia).
Film Semes7a ini merefleksikan kembali bahwa di dalam kehidupan manusia harus ada keseimbangan kehidupan. Dalam sebuah buku filsafat, keseimbangan kehidupan dituangkan dalam narasi Segitiga Keseimbangan: Tuhan, Alam dan Manusia. Dimana Tuhan sebagai sisi yang terletak paling atas, manusia dan lingkungan terletak pada bagian sisi paling bawah sebagai penjaga keseimbangan antara tuhan dan makhluk ciptaannya.
Keraf dalam bukunya yang berjudul “Etika Lingkungan Hidup” menuliskan bahwa masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya (manusia), alam dan relasi diantara keduanya dalam perspektif religius dan perspektif spiritual, maka alam dipahami sebagai bagian yang sakral atau kudus. Agama dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Dan ini sangat berpengaruh besar terhadap perilaku manusia. Bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya harus ditempatkan dalam konteks yang sakral dalam spiritualitas.
Namun sejak kapan manusia mulai terdegradasi dari keharmonisan tersebut? Keraf menulisnya secara gamblang dalam bukunya, bahwa krisis lingkungan hidup global yang kita alami saat ini bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia di dalam keseluruhan ekosistem. Manusia keliru memandang alam, dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.
Keraf juga menyatakan bahwa kesalahan pandang manusia ini bersumber dari etika antroposentrisme, dimana manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta. Dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Film Semes7a ini sangat layak sekali untuk ditonton, dan direnungkan untuk lebih menghormati alam semesta dan lingkungannya. (Dona)