Jakarta – Senin (05/08/2019). Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Forest Watch Indonesia (FWI), Publish What You Pay (PYWP), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Kode Inisiatif bersama-sama mengadakan Simposium “Menggagas Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup Indonesia”, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta.
Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo mengatakan bahwa pidato yang disampaikan oleh Presiden terpilih Joko Widodo pada bulan lalu di Sentul International Convention Center (SICC), sangat fokus pada pengembangan investasi dan infrastruktur untuk pembangunan. Namun, sangat disayangkan visi tersebut sama sekali tidak menyentuh isu perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
“Ini merupakan salah satu kelemahan Visi Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Pasalnya, kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup selama ini cukup banyak yang bermasalah dan mestinya mendapatkan prioritas untuk dibenahi. Pemerintah semestinya dapat meletakkan pondasi lebih kokoh bagi pembangunan berkelanjutan ke depan,” ujar Henri Subagiyo.
Simposium ini didahului dengan diskusi publik, dengan narasumber Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Kepala Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal, Mas Ahmad Santosa, Ahli Kebijakan Lingkungan Prof. Hariadi Kartodihardjo, dan Aktivis Lingkungan yang juga Pendiri Nexus3 (sebelumnya bernama Bali Fokus) Yuyun Ismawati.
Dalam diskusi ini, Mas Achmad Santosa menekankan tiga isu yang utama yang relevan untuk diperhatikan oleh Presiden terpilih, Joko Widodo dalam pemerintahan 5 tahun mendatang, yakni laut sebagai masa depan dan kekayaan bangsa; pembangunan berkelanjutan/perlindungan daya dukung ekosistem; dan rule of law yang berkeadilan perlu diperkuat dalam pemerintahan kedepan. Investasi maupun pembangunan sumber daya manusia sulit untuk berkembang secara sehat apabila tidak didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan rule of law yang berkeadilan. Jika tidak mendapatkan pressure dari publik, isu ini bisa saja bisa hilang dalam pertimbangan-pertimbangan mendatang.
Senada dengan Mas Achmad Santosa, Yuyun Ismawati juga menekankan hal yang sama bahwa untuk menuju laut sebagai masa depan dan kekayaan bangsa pemerintah Indonesia seharusnya dapat menekan lajunya timbulan sampah. Karena permasalahan sampah telah mengganjar Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik di lautan terbesar ke dua didunia.
Yuyun juga menyayangkan bahwa pemerintah saat ini, mengeluarkan sebuah kebijakan-kebijakan secara cepat demi menarik investor, selain itu pemerintah juga kerap menempuh jalan pintas untuk menanggulangi permasalahan yang ada, salah satunya terkait penanganan sampah. “Pemerintah sangat “gemas” dengan adanya permasalahan sampah yang ada di Indonesia, sehingga untuk menanggulangi hal itu secara cepat pemerintah membuat sebuah trobosan baru dengan cara membuat insinerator diberbagai daerah. Salah satunya di Sunter. Padahal perlu adanya kajian yang dalam terkait insinerator itu sendiri, dan pembangunan insinerator juga sangat berdekatan dengan tempat tinggal penduduk, jelas ini membahayakan kesehatan bagi penduduk yang berdekatan dengan pembakaran sampah ini,” ujar Yuyun.
Di sisi lain, Laode M. Syarif juga menyoroti mengenai relevansi pengembangan investasi dengan penegakan hukum. “Selama ini penegakan hukum selalu dibenturkan dengan investasi. Semestinya investasi jangan dihadapkan dengan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan investor paling suka dengan kepastian hukum. Investor baik mau tidak mau akan taat pada peraturan yang ada. Menurut saya sebaiknya para investor yang nakal dipulangkan langsung ke negaranya,” ujar Laode.
Sementara itu, Prof. Hariadi Kartodihardjo mengatakan bahwa strategi pembangunan nasional harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek lingkungan. “Selama ini banyak sekali ketimpangan yang terjadi terhadap lingkungan ketika pertumbuhan ekonomi meningkat. Hal ini dapat kita lihat dari adanya pergeseran atau peralihan fungsi lahan dari infrastruktur yang naik. Salah satu contoh yang bisa saya gambarkan adalah banyak sekali persawahan-persawahan yang beralih fungsi menjadi homestay-homestay dari naiknya potensi pariwisata. Ini juga menjadi kekawatiran kita,” imbuh Prof. Hariadi.
Setelah diskusi berlangsung, peserta yang hadir mengikuti diskusi untuk merumuskan hasil agenda bersama pada saat itu, dan kemudian hasil rumusan tersebut langsung dideklarasikan bersama oleh sejumlah lembaga dan organisasi masyarakat lingkungan yang hadir diantaranya adalah ICEL, WALHI, PYWP, FWI, HuMA, ICW, Kode Inisiatif, Nexus 3, Koaksi Indonesia, KPA, KPBB, RMI, Jikalahari, WWF, CRPG, Madani, Komunitas Earth Hour, Ecoton, Pili Green Network, GIDKP/AZWI, FKKM, WALHI Jakarta, Kehati, WWF, TI Indonesia, Pattiro, KNTI, Salam Institute. (Dona)