Peraturan perubahan iklim
Secara internasional ada 3 instrumen hukum terkait perubahan iklim, yaitu:
UNFCCC
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) disusun pada Konvensi Rio 1992, mulai berlaku secara hukum pada 21 Maret 1994, diratifikasi oleh 197 negara. Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui UU 6/1994. Konvensi ini bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada level yang dapat mencegah gangguan antropogenik berbahaya pada sistem iklim. Para pihak dalam konvensi ini berkomitmen untuk:
- Mengembangkan, memperbarui secara periodik, memublikasikan, dan menyediakan inventori nasional mengenai emisi antropogenik berdasarkan sumber dan penghilangan berdasarkan penyerap gas rumah kaca yang tidak dikendalikan oleh protokol montreal, menggunakan metodologi yang dapat dibandingkan dan disetujui oleh konferensi para pihak.
- Memformulasikan, mengimplementasikan, memublikasikan dan memperbarui secara berkala program nasional, regional, yang mengandung tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
- Mempromosikan dan bekerja sama dalam pembangunan, penerapan, dan penyebaran termasuk transfer teknologi, praktik, dan proses yang mengendalikan, mengurangi, atau mencegah emisi antropogenik gas rumah kaca yang tidak dikendalikan oleh protokol montreal dalam sektor energi, transportasi, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen sampah.
- Mempromosikan manajemen berkelanjutan dan kerja sama dalam konservasi dan peningkatan seperlunya dari penyerap dan penyimpanan gas rumah kaca yang tidak dikendalikan oleh protokol montreal, termasuk biomassa, hutan, laut, pesisir, dan ekosistem laut lainnya.
- Bekerja sama dalam menyiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, mengembangkan dan mengelaborasi rencana manajemen zonasi pesisir yang sesuai dan terintegrasi, sumber air, dan pertanian, serta perlindungan dan rehabilitasi wilayah yang terkena kekeringan, penggurunan, serta banjir.
- Mempertimbangkan perubahan iklim dalam kebijakan dan aksi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang relevan dan menggunakan metode yang sesuai, contohnya dalam analisis dampak lingkungan.
- Mempromosikan dan bekerja sama dalam riset ilmiah, teknologi, teknikal, sosio-ekonomi, dan riset lainnya, pengamatan sistematis dan pengembangan data terkait perubahan iklim dan meningkatkan pemahaman dan mengurangi ketidakpastian terkait penyebab, efek, besarnya, dan waktu perubahan iklim serta konsekuensi ekonomi dan sosial dari strategi respons.
- Mempromosikan dan bekerja sama secara penuh, terbuka, dan pertukaran yang cepat dari informasi ilmiah, teknologi, teknikal, sosio-ekonomi dan hukum yang relevan terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim, serta konsekuensi ekonomi dan sosial dari strategi respons.
- Mempromosikan dan bekerja sama dalam pendidikan, pelatihan, dan penyadaran publik terkait perubahan iklim dan mendukung partisipasi publik.
- Komunikasi kepada konferensi para pihak terkait implementasi.
Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional turunan dari UNFCCC yang diadopsi pada konferensi para pihak ketiga (1997) dan mulai berlaku secara hukum pada 16 Februari 2005, diratifikasi oleh 191 negara. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU 17/2004. Konvensi ini bertujuan membatasi emisi negara-negara maju, karena negara maju dianggap bertanggung jawab atas tingginya tingkat gas rumah kaca. Tetapi konvensi ini tidak menutup kemungkinan bagi negara berkembang untuk berkontribusi dalam pembatasan emisinya. Walaupun bukan negara maju, Indonesia juga turut berkomitmen membatasi emisinya sebesar 26% dengan skema usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Untuk merealisasikan target ini pemerintah mengundangkan Perpres 61/2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca.
Perjanjian Paris
Perjanjian Paris merupakan perjanjian internasional turunan turunan dari UNFCCC yang diadopsi pada konferensi para pihak keduapuluh satu (2015) dan mulai berlaku pada 4 november 2016, diratifikasi oleh 187 negara. Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU 16/2016. Perjanjian paris bertujuan memperkuat respons global terhadap ancaman perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk memberantas kemiskinan, termasuk dengan: a) menahan meningkatnya temperatur global rata-rata di bawah 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industrialisasi dan berusaha membatasi kenaikan temperatur sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industrialisasi; b) meningkatkan kemampuan beradaptasi akibat dampak negatif perubahan iklim dan mengembangkan ketahanan iklim serta pembangunan rendah emisi gas rumah kaca yang tidak mengancam produksi pangan; c) membuat aliran pendanaan yang konsisten dengan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca dan pembangunan berketahanan iklim. Berbeda dengan dua konvensi sebelumnya, konvensi ini menggunakan pendekatan bottom-up, yaitu dengan mewajibkan setiap negara pihak menyusun nationally determined contribution (NDC) sebagai respons global terhadap perubahan iklim. Selain itu, negara pihak juga berkewajiban untuk, antara lain: mengestimasikan puncak emisi, merencanakan tindakan-tindakan mitigasi yang akan dilakukan secara domestic, mengomunikasikan NDC setiap 5 tahun, meningkatkan ambisi NDC, mempromosikan integritas lingkungan, transparansi, akurasi, dan kelengkapan, keterbandingan dan konsistensi, dan memastikan penghindaran terhadap perhitungan ganda, dan memformulasikan serta mengomunikasikan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang.
Pada rezim Perjanjian Paris ini, Indonesia berkomitmen lebih ambisius dari rezim sebelumnya dengan menargetkan pengurangan 29% emisi dengan bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional. Rincian dari target ini diatur dalam NDC, yaitu:
Sektor | Skema bisnis seperti biasa | Skema bantuan internasional |
Kehutanan | 17,2% | 23% |
Energi | 11% | 14% |
Sampah | 0,38% | 1% |
Pertanian | 0,32% | 0,13% |
industri | 0,10% | 0,11% |
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki peraturan terkait perubahan iklim secara nasional, yaitu:
UU 31/2009
Undang-undang tentang meteorologi, klimatologi, dan geofisika mewajibkan pemerintah melakukan mitigasi dan adaptasi yang didukung dengan: a) perumusan kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b) koordinasi kegiatan pengendalian perubahan iklim; dan c) pemantauan dan evaluasi penerapan kebijakan tentang dampak perubahan iklim. Perumusan kebijakan dilakukan dengan kegiatan: a) inventarisasi emisi gas rumah kaca; b) pemantauan gejala perubahan iklim dan gas rumah kaca; c) pengumpulan data; dan d) analisis data. Undang-undang ini juga memandatkan disusunnya peraturan presiden sebagai peraturan yang lebih rinci.
UU 32/2009
Sedangkan undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mewajibkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi muatan Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Selain itu, UU ini juga mewajibkan menyusun kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim yang didasarkan pada parameter: kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut, badai, dan kekeringan, namun sampai sekarang belum ada.(marsya)