Artikel 4 Perjanjian Paris memberikan mandat kepada negara-negara dunia untuk menyusun rencana penurunan emisi yang mencerminkan ambisi tertinggi untuk menjaga peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius. Komitmen ini dicerminkan melalui penyusunan nationally determined contribution atau yang familiar dikenal sebagai NDC. [1] Di samping NDC, Artikel 4 Perjanjian Paris juga mendorong dibuatnya rencana jangka panjang pembangunan rendah emisi atau long term strategy.[2] Jika didefinisikan, long term strategy atau strategi jangka panjang ini merupakan dokumen yang menggambarkan strategi dan rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam rentang waktu yang lebih lama dibandingkan dengan NDC mayoritas mematok rentang waktu ini pada tahun 2050. Berdasarkan Keputusan Conference of the Parties (COP) 1/CP.21, strategi jangka panjang ini ditargetkan untuk diserahkan ke UNFCCC pada tahun 2020. 

Sebagai salah satu negara pihak dalam Perjanjian Paris, Indonesia pun telah menyusun strategi jangka panjangnya. Strategi jangka panjang ini sekaligus merupakan pengembangan lebih lanjut dari NDC Indonesia yang pada periode kedua submisi tidak merubah target penurunan emisi dari 29% untuk unconditional dan 41% untuk conditional.[3] Sebagai pengembangan rencana mitigasi Indonesia, strategi jangka panjang Indonesia menyediakan tiga trayektori mitigasi hingga tahun 2050 yang dibagi menjadi current policy scenario (CPOS), transition scenario (TRNS), dan low carbon scenario compatible with Paris Agreement (LCCP). CPOS merupakan versi pengembangan dari komitmen unconditional dalam NDC. TRNS merupakan skenario yang mengacu pada skenario transisi, dan LCCP merupakan skenario rendah karbon yang dianggap kompatibel dengan target Perjanjian Paris.[4] Dari ketiga skenario emisi tersebut, skenario LCCP merupakan skenario yang paling ambisius sebab skenario ini diklaim paling kompatibel dengan target Perjanjian Paris. Skenario LCCP juga telah menargetkan net zero pada tahun 2060 atau lebih cepat, juga peak emission atau puncak emisi tertinggi pada 2030.[5] Sayangnya, bahkan rencana mitigasi dalam skenario paling “ambisius” pun menyisakan berbagai catatan. Setidaknya, catatan tersebut muncul dalam sektor energi dan sektor hutan dan lahan yang jika dijumlah berkontribusi sebesar 86% dari total emisi nasional Indonesia.[6] 

Untuk sektor energi, strategi jangka panjang Indonesia memproyeksikan komposisi energi terbarukan pada suplai energi primer akan menjadi yang terbesar pada tahun 2050. Akan tetapi, jumlah ini pada dasarnya masih kurang jika dibandingkan dengan total komposisi energi fosil dalam suplai energi primer. Di samping itu, penggunaan batubara yang merupakan pemicu utama perubahan iklim sebagai sumber energi juga masih terlihat secara signifikan, meskipun dalam proyeksi ini seluruh PLTU diasumsikan telah menggunakan teknologi carbon capture and storage (CCS) yang diklaim mampu menurunkan emisi PLTU hingga 90%.[7] Penggunaan teknologi CCS sebagai rencana untuk memitigasi emisi dari sektor energi dalam jangka panjang sendiri menimbulkan masalah sebab teknologi CCS belum teruji dampak dari operasinya[8] dan saat ini berada pada tingkat biaya yang kompetitif dengan energi surya. Di Amerika, biaya operasional PLTU dengan teknologi CCS mencapai $151.34/MwH (dengan asumsi mencakup biaya pengangkutan), cukup jauh dibandingkan dengan penggunaan energi terbarukan seperti Solar PV dengan biaya $71.12/MwH.[9]  Penggunaan teknologi CCS yang menelan biaya dan belum teruji efisiensinya ini dikhawatirkan akan ‘melanggengkan’ penggunaan batubara dalam sektor energi Indonesia meskipun catatan terhadap dampak kesehatan dan dampak yang ditimbulkannya terhadap iklim sudah banyak dikaji. 

Di samping itu, kebijakan mitigasi yang hendak mendekarbonisasi ketenagalistrikan dan transporasi juga memiliki catatan tersendiri. Hal ini dikarenakan rencana untuk mengembangkan biofuel yang berasal dari kelapa sawit dan biomassa sebagai bahan baku yang menggantikan bahan bakar fosil.[10] Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dikritisi. Pertama, bertumpu pada sawit sebagai bahan bakar berimplikasi pada peningkatan kebutuhan bahan baku tersebut. Hal ini berarti dibutuhkan jumlah lahan untuk memenuhi suplai bahan baku. Pembukaan lahan demi ekspansi kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan suplai bahan bakar berpotensi meningkatkan emisi dari sektor hutan dan lahan (AFOLU) terkait deforestasi. Kedua, proporsi biomassa dalam pembangkit listrik melalui co-firing hanya sekitar 1-10%[11], sehingga sumber energi listrik masih didominasi batubara. Penggunaan biomassa sebagai bahan co-firing juga menambah kebutuhan lahan untuk suplai biomassa karena diproyeksikan kebutuhan suplai biomassa untuk kegiatan co-firing akan tumbuh hingga 8-16 juta ton per tahun dalam 10 tahun ke depan. IEEFA memproyeksikan pada tahun 2060, kebutuhan biomassa untuk energi Indonesia mencapai 1.4 miliar ton per tahun.[12] Lagi-lagi, hal ini berpotensi meningkatkan emisi dari sektor AFOLU. 

Berikutnya, sektor hutan dan lahan (AFOLU). Dalam skenario LCCP, sektor AFOLU ditarget mencapai negatif emisi pada tahun 2030.[13] Kendati target yang cukup ambisius untuk mencapai negatif emisi dari sektor AFOLU dalam waktu dekat, skenario mitigasi paling ambisius masih membuka ruang deforestasi hingga 6.8 juta hektar.[14] Padahal, catatan KLHK memperlihatkan Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasi hingga 75%.[15] Di samping itu, rencana negatif emisi tersebut bukan tanpa tantangan. Saat ini, sekitar 9.8 juta hektar hutan alam berada dalam kawasan konsesi dan Areal Penggunaan Lain (APL) dan sekitar 50% dari jumlah tersebut dapat digunakan.[16] Hal ini tentunya berpotensi memicu angka deforestasi. Kebijakan-kebijakan eksisting seperti proyek strategis nasional seperti food estate yang diberikan kemudahan untuk membuka kawasan hutan juga berpotensi meningkatkan angka deforestasi. 

Berangkat dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa strategi mitigasi jangka panjang Indonesia masih meninggalkan berbagai catatan kritis untuk dapat merespon kebutuhan aksi yang diperlukan Indonesia untuk menghalau laju emisi dan perubahan iklim. Padahal, Indonesia memiliki banyak potensi untuk meningkatkan aksi iklimnya. Oleh karena itu, perlu adanya tinjauan kembali strategi dan rencana mitigasi ini secara menyeluruh, sehingga mampu berkontribusi secara signifikan dalam menurunkan emisi khususnya kontribusi emisi Indonesia di tingkat global. (Syaharani) 

  

— 

[1] UNFCCC, Paris Agreement, Art. 4, Par. 2 -3. 

[2] Ibid, Art. 4, Par. 19. 

[3] Indonesia, Updated Nationally Determined Contribution (2021), hlm. 12. 

[4] Indonesia, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (2021), hlm. 2-3. 

[5] Ibid, hlm. 3. 

[6] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) 2019, hlm. 41. 

[7] Dennis Y. C. Leung, et. al., “An Overview of Carbon Dioxide Capture and Storage Technologies” Renewable and Sustainable Energy Reviews Vol. 39 (2014), hlm. 427. 

[8] Eva Mahnke, “Carbon Capture and Storage: Problems at Depth”, diakses melalui https://www.boell.de/en/2015/11/10/carbon-capture-and-storage-problems-depth, pada 6 September 2021. 

[9] Forbes, “Carbon Capture and Storage: An Expensive Option for Reducing U.S CO2 Emissions”, diakses melalui https://www.forbes.com/sites/energyinnovation/2017/05/03/carbon-capture-and-storage-an-expensive-option-for-reducing-u-s-co2-emissions/?sh=120259e96482, pada 6 September 2021. 

[10] Indonesia, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, hlm. 66 

[11] Institute for Energy Economics and Financial Analysis, “Indonesia’s Biomass Cofiring Bet”, diakses melalui http://ieefa.org/wp-content/uploads/2021/02/Biomass_Cofiring_Presentation_2021.pdf. 

[12] Elrika Hamdi dan Putra Adhiguna, “Putting PLN’s Net Zero Ambition Into Context”, hlm. 19. 

[13] Indonesia, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, hlm. 3. 

[14] Ibid, hlm. 39. 

[15] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Laju Deforestasi Indonesia Turun 75, 03%”, diakses melalui https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03, pada 6 September 2021. 

[16] Indonesia, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, hlm. 40.