Pada Rabu, 6 Maret 2019 yang lalu, Pojok Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan kegiatan diskusi yang berjudul “Dari Kacamata Milenial: Peduli Sampah, Peduli Perubahan Iklim” di Manggala Wanabakti. Kegiatan ini dimoderasi oleh Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK dan diisi oleh beberapa pembicara yakni: a) Siska Nirmala, pelaku zero waste, yang lebih dikenal dari blog dan akun Instagram-nya @zerowasteadventure; b) Dithi Sofia, dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP); dan c) Afzalia A’yunina (biasa dipanggil Azza), Duta Peduli Sampah Bontang 2019.
Naik Gunung Hanya Pemantik untuk Milenial
Siska Nirmala menggaungkan Zero Waste Adventure sebagai gerakan individual sejak tahun 2013. Pada awalnya ia merasa gelisah karena melihat banyak sekali sampah ketika ia mendaki Gunung Rinjani di tahun 2010. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk melakukan ekspedisi ke lima gunung di tahun 2013 hingga 2015 dan akhirnya bukunya yang terkait dengan pengalamannya tersebut dirilis tahun 2017. Adapun caranya melakukan ekspedisi secara zero waste adalah dengan membawa botol minum pakai ulang, perbekalan tanpa kemasan, kantong/tas pakai ulang, tempat makan sendiri dan sapu tangan sebagai pengganti tisu.
Bagi Siska, naik gunung sebenarnya hanyalah pemantik bagi milenial lainnya agar mereka cukup penasaran dengan zero waste dan mau mempraktikkannya ketika naik gunung. Dalam hal ini, Siska tidak mengatakan, “Hei kamu harus zero waste ya kalau naik gunung!” tapi yang dia sampaikan adalah, “Mau naik gunung bareng? Bisa sih, tapi zero waste ya.” Dengan begitu, milenial lainnya kemudian akan tanya, “Gimana sih caranya naik gunung tapi zero waste? Memangnya bisa ya?”
Siska menyatakan, sampah yang paling banyak ditemukan di gunung biasanya ada dua yaitu botol plastik (karena pada umumnya, para pendaki gunung sudah tahu berapa banyak botol air minum kemasan yang harus mereka bawa – ini sudah menjadi semacam standar) dan tisu (para pendaki biasanya terlalu malas untuk pergi ke sungai dulu untuk ambil air, jadi biasanya mereka akan pakai tisu untuk membersihkan bagian tubuhnya ketika buang air besar – pada akhirnya, tisu tersebut ditinggal di gunung dan tidak dibawa turun). Untuk mengatasi hal ini, dalam ekspedisinya, Siska tidak membawa makanan kemasan sebagai bagian dari perbekalannya. Ia membawa sayur-sayuran, buah-buahan dan makanan tanpa kemasan lainnya. Nantinya, sampah organik yang dihasilkan dari makanan yang ia bawa bisa dikompos olehnya, tidak di jalur pendakian melainkan di semak-semak.
Dalam sesi tanya jawab, Siska menyampaikan bahwa ketika naik gunung, ada dua jenis manajemen yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pendaki yakni manajemen perbekalan dan manajemen pendakian. Ini dilakukan di awal sebelum pendakian berlangsung. Ketika ia mendaki Gunung Argopuro, ia hanya membawa 2 buah botol minum pakai ulang dengan ukuran 1 liter masing-masing. Itu cukup karena sebelum pendakian berlangsung, Siska sudah riset dan sudah mengetahui bahwa di setiap titik akan ada titik mata air. Tentu saja, ini akan berbeda dengan gunung yang tidak punya mata air seperti Gunung Rawung. Namun baginya, akan selalu ada alternatif bagi botol plastik kemasan seperti membawa jeriken atau hydro bag sendiri. Untuk perbekalan tanpa kemasan, ia menyarankan untuk membawa Nasi Timbel, Rendang atau jenis sayur-sayuran yang memang kuat bertahan untuk beberapa hari seperti wortel, labu atau buncis. Jenis sayur-sayuran seperti ini tidak mudah membusuk terutama karena mereka tidak dibungkus oleh plastik sehingga sirkulasi udaranya pun bagus.
Lebih Baik Jadi Teman Milenial
Azza menyampaikan bahwa milenial itu moody, sensitive, emosinya tidak terkontrol, narsis dan sedang dalam proses pencarian jati diri. Oleh karena itu, lebih baik menjadi teman milenial untuk bisa mempengaruhi mereka. Mereka akan lebih mendengarkan ucapan seorang teman daripada ucapan orangtua. Adapun sejauh ini, sebagai duta, Azza sudah melakukan beberapa program seperti: a) Laskar Bersih; b) Sosialisasi; dan c) Stasiun Sampah. Azza juga mengingatkan pentingnya IWAR (Intip Warung), dimana ketika ada penjual yang masih menjual makanannya menggunakan pembungkus plastik, menjual minumannya dengan sedotan plastik dan produk plastik lainnya, penting sekali untuk mengingatkan mereka agar tidak menggunakan plastik lagi. Di samping itu, pesan yang ia coba sampaikan ke milenial lainnya adalah, “Kalau nggak bisa jaga lingkungan nggak apa-apa tapi jangan jadi orang yang berdiri di barisan paling depan untuk merusak lingkungan.”
Envirochallenge: Edukasi Publik untuk Milenial
Sebelum masuk ke bahasan mengenai sampah dan milenial, Dithi dari GIDKP menjelaskan 3 (tiga) pilar GIDKP yakni advokasi, corporate engagement dan edukasi publik. Di tahun 2016 yang lalu, GIDKP pernah membuat uji coba plastik berbayar. Saat ini, di Jakarta sendiri terdapat 300.000.000 lembar plastik yang dihasilkan per tahun. Berkaitan dengan ini, salah satu program yang dibuat GIDKP adalah Envirochallenge. Envirochallenge adalah bagian dari edukasi publik yang dilakukan oleh GIDKP. Dalam program ini, mereka mengedukasi anak-anak di sekolah dan membantu mereka untuk berpikir mengenai permasalahan lingkungan apa yang mereka miliki di sekolah. Pemenang Envirochallenge, SMA 6 Jakarta, menyatakan bahwa saat ini mereka bisa mengurangi timbulan sampah yang mereka hasilkan, dari yang tadinya 5 kilogram menjadi 2 kilogram dengan cara membawa bekal sendiri atau membawa tempat makan sendiri lalu makanannya dibeli di kantin serta dengan penyediaan dispenser air minum di kelas-kelas. Visi-misi GIDKP sendiri sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 14 (Kehidupan Bawah Laut). Dalam Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2018, GIDKP juga berpartisipasi dalam Zero Waste Youth Festival yang mengundang semua pemangku kepentingan (pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat). (Erou)