Perjanjian Paris mewajibkan negara pihaknya untuk menetapkan kontribusi nasional/ Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai respons global perubahan iklim[1] untuk menahan laju pemanasan global di bawah 2oC derajat bahkan menekannya sampai 1,5oC di bawah tingkat pra-industrialisasi.[2] Dengan kata lain, NDC merupakan janji negara-negara pihak Perjanjian Paris untuk memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim secara ambisius. Lebih rinci, NDC berisi perkiraan puncak emisi gas rumah kaca dalam waktu dekat dan target penurunannya dengan bantuan pengetahuan dan teknologi terbaik yang ada, serta strategi pembangunan rendah emisi jangka panjang.[3] Selain itu, negara pihak juga harus mempromosikan integritas, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, dan konsistensi lingkungan dalam bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca dan pengurangannya dalam NDC.[4]
Lebih lanjut, Komitmen dalam NDC bukan hanya mengandung tanggung jawab negara terhadap warga negaranya tetapi juga terhadap masyarakat global, pasalnya NDC harus dikomunikasikan kepada sekretariat UNFCCC setiap lima tahun sekali.[5] Ambisi tertinggi suatu negara harus terlihat setiap kali negara mengomunikasikan NDC-nya kepada sekretariat UNFCCC.[6] Artinya, komunikasi NDC harus mencerminkan sebuah perkembangan atau peningkatan ambisi dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, negara pihak dibolehkan untuk menyesuaikan NDC-nya untuk meningkatkan ambisinya sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh konferensi para pihak.[7]
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada 22 April 2016 melalui undang-undang No. 16 tahun 2016 dan mengomunikasikan NDC pertamanya pada November 2016 dengan target penurunan emisi sebesar 29% dengan bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional. Target ini terbilang ambisius karena merupakan sebuah peningkatan dari target sebelumnya 26% dengan bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional pada rezim Protocol Kyoto, padahal saat itu Indonesia tidak wajib menurunkan emisinya karena termasuk negara non-Annex. Dengan kata lain, pemerintah saat itu dapat dibilang memiliki keseriusan dalam menghadapi perubahan iklim.
Sayangnya, nampaknya keseriusan itu memudar pada pemerintahan sekarang yang diindikasikan oleh beberapa hal. Pertama, NDC pertama Indonesia tidak mengandung perkiraan puncak emisi gas rumah kaca dalam waktu dekat. Kedua, pemerintah Indonesia tidak melakukan perubahan target NDC[8] dalam pembaruan NDC kepada sekretariat UNFCCC yang seharusnya terjadi pada kuartal pertama tahun 2020. Namun, karena adanya pandemic COVID-19, jadwal pengajuan pembaruan NDC tersebut tertunda. Berdasarkan kabar terakhir pembaruan NDC ini masih berproses di kementerian untuk selanjutnya disetujui presiden.[9] Selain itu, proses pembaruan NDC tidak banyak melibatkan masyarakat maupun organisasi non-pemerintah walaupun dalam rancangan dokumen pembaruan NDC yang beredar disebutkan telah melakukan konsultasi.[10] Kemudian, konsultasi ini dilakukan dengan tidak transparan dan tidak partisipatif sebagaimana diharapkan. Tidak ada publikasi yang dapat diakses oleh masyarakat dan organisasi non-pemerintahan mengenai pembaruan NDC ini. Terlebih, pemerintah Indonesia justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak konsisten dengan komitmen NDC, seperti merancang RUU Cipta Kerja yang bertujuan menyederhanakan perizinan untuk memudahkan investasi-investasi berkarbon tinggi dan mengesahkan perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal seharusnya, jika Pemerintah serius terhadap komitmen NDC, kebijakan yang perlu dikeluarkan adalah yang berfokus untuk menurunkan emisi, menuju pembangunan rendah karbon, dan menyediakan transisi yang adil untuk itu.
Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengingat pada tahun 2018, IPCC[11] dan PBB[12] telah memperingatkan bahwa kita hanya punya waktu 12 tahun lagi untuk mencegah dampak negative perubahan iklim permanen yang disebabkan oleh kenaikan temperature global sebesar 1,5oC. Seharusnya, NDC Indonesia dapat ditingkatkan dengan:
- Sektor kehutanan: a) melaksanakan putusan pemulihan lingkungan hidup bagi hutan dan lahan yang terbakar dan mereklamasi lubang tambang yang ditinggalkan sehingga target pemulihan hutan dan lahan yang terdegradasi bertambah; b) memberikan delegasi ke pemerintah daerah untuk menetapkan perhutanan sosial. Saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang memenuhi syarat untuk mendapatkan delegasi dan mengajukannya ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun Menteri belum memproses hal tersebut, sehingga target perhutanan sosial dapat dipenuhi dengan lebih cepat; c) perhutanan sosial yang sudah ditetapkan perlu diselenggarakan dengan baik tidak hanya didiamkan saja, sehingga pengelolaan hutan dan lahan oleh masyarakat secara berkelanjutan dapat berlangsung; serta d) melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di sektor kehutanan.
- Sektor pertanian: evaluasi perizinan perlu dilakukan secara optimal, salah satunya di sektor perkebunan sawit sesuai dengan amanat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018. Sayangnya, hingga saat ini evaluasi tersebut belum dilakukan secara maksimal. Oleh karena itu, moratorium izin perlu terus dilanjutkan. Terlebih, Perjanjian Paris juga mengamanatkan adanya inventarisasi sumber pencemar (emitor). Seharusnya Instruksi Presiden ini dapat digunakan sebagai momentum untuk melaksanakan hal tersebut dan mengintegrasikan dengan komitmen NDC Indonesia. Selain itu, penegakan hukum juga terhadap kejahatan dan pelanggaran di sektor ini juga perlu ditegaskan.
- Sektor energi: pengurangan penggunaan energi fosil perlu lebih ambisius, termasuk menghentikan pembangunan PLTU batubara baru. Pemerintah juga perlu melakukan transisi kepada energi terbarukan secara adil dengan serius Selain itu, penerapan konservasi energi juga perlu menjadi fokus.
- Sektor industri dan sampah/limbah: kedua sektor ini perlu dilihat dengan kacamata ekonomi sirkular dan pembangunan berkelanjutan.
(marsya)
[1] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Paris Agreement, UN MTDSG C.N.92.2016.TREATIES-XXVII.7.d.
(2015), ps. 3.
[2] Ibid., ps 2.
[3] Ibid., ps 4.
[4] Ibid., ps 4 ayat (13).
[5] Ibid., ps 4 ayat (9).
[6] Ibid., ps 4 ayat (3).
[7] Ibid., ps 4 ayat (12).
[8] Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, “Update Komitmen Target Penurunan Emisi Indonesia,” http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2324, diakses pada 26 Juni 2020.
[9] Muhammad Zulfikar, “KLHK: Updated NDC tunggu proses di kementerian,” https://kalbar.antaranews.com/nasional/berita/1417891/klhk-updated-ndc-tunggu-proses-di-kementerian?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antaranews, , diakses pada 26 Juni 2020.
[10] Update NDC Indonesia, paragraf 54, hlm. 13
[11] IPCC, “Summary for Policymakers of IPCC Special Report on Global Warming of 1.5°C approved by governments” https://www.ipcc.ch/2018/10/08/summary-for-policymakers-of-ipcc-special-report-on-global-warming-of-1-5c-approved-by-governments/, diakses pada 26 Juni 2020.
[12] United Nations, “Only 11 Years Left to Prevent Irreversible Damage from Climate Change, Speakers Warn during General Assembly High-Level Meeting,” https://www.un.org/press/en/2019/ga12131.doc.htm, diakses pada 26 Juni 2020.