Keseriusan pemerintah Indonesia patut dipertanyakan dalam mengendalikan laju perubahan iklim. Pasalnya komitmen yang diajukan oleh Indonesia pada 2016 lalu belum menunjukan adanya peta jalan yang lebih konkret.
Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang diajukan 2016 lalu Indonesia menjanjikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri yang mempertimbangkan target pembangunan (Skenario Counter Measure 1/CM1) dan 41% jika dibantu dengan bantuan internasional yang mempertimbangkan target pembangunan (Skenario Counter Measure 2/CM2).[1] Komitmen ini akan dilakukan dalam periode 2020 sampai 2030, dengan perhitungan dari baseline bisnis seperti biasa pada tahun 2010.
Pengurangan gas rumah kaca paling signifikan akan dicapai pada sektor kehutanan yang berkontribusi sebesar 17,2% (CM1) dan 23% (CM2).[2] Disusul dengan kontribusi dari sektor energi sebesar 11% (CM1) dan 14% (CM2).[3] Saat ini pemerintah Indonesia mengaku sudah membuat roadmap implementasi NDC, kedua sektor yang berkontribusi terbesar ini dinyatakan sudah siap tetapi dokumennya belum dapat diakses/dipublikasikan dimanapun. Padahal transparansi merupakan hal penting dalam implementasi Paris Agreement. Lebih jauh lagi, komitmen pemerintah ini akan sulit untuk dicapai karena implementasi yang tidak serius.
Sektor Kehutanan
Skenario andalan pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan menekan laju deforestasi dan degradasi hutan yakni menggunakan skema REDD+. Namun skema ini sesungguhnya masih menuai permasalahan atas ketidakadilan distribusi, prosedural, dan pengakuan. Pemerintah terkesan belum serius mengatasi permasalahan ini, perhutanan sosial diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini pun kecil kemungkinannya untuk tercapai di tahun 2019.
Tingkat deforestasi dalam skenario bisnis seperti biasa Indonesia untuk periode 2013-2020 sesuai dengan Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+, yaitu 920 ribu hektar per tahun dari deforestasi yang terencana (dengan skenario pembangunan) maupun yang tidak terencana. Sedangkan untuk melaksanakan pengendalian perubahan iklim sebesar 17,2% dan 23% tersebut, Indonesia berencana menekan tingkat deforestasi pada tahun 2013-2020 tidak lebih dari 450 ribu hektar per tahun. Sementara perkiraan tingkat deforestasi untuk tahun 2021-2030 diasumsikan mencapai 820 ribu hektar per tahun dengan skema bisnis seperti biasa. Namun pemerintah Indonesia berjanji akan menekan tingkat deforestasi sebesar 325 ribu hektar per tahun pada periode 2021-2030 dalam pengendalian perubahan iklim.[4]
Namun, FWI mencatat bahwa pada tahun 2013 saja Indonesia telah kehilangan ±1,1 juta hektar hutan alam[5] dengan laju sebesar 1,1jt hektar per tahun dalam periode 2009-2013.[6] Sementara kajian terbaru FWI menunjukan bahwa pada tahun 2013-2016, 718 ribu hektar hutan telah hilang, walaupun hanya dipotret pada 3 provinsi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.[7] Kehilangan hutan di tiga provinsi ini saja sudah jauh melebihi target deforestasi 450 ribu per tahun untuk se-Indonesia. Jika melihat dari data tersebut kecil kemungkinannya Indonesia dapat mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan tanpa meningkatkan penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan.
Lebih jauh lagi, dalam NDC, pemerintah Indonesia juga merencanakan bahwa setelah tahun 2030 deforestasi tidak terencana sudah tidak akan terjadi lagi, artinya penebangan liar sudah hampir tidak ada. Dengan kata lain penegakan hukum menjadi penting dalam implementasi NDC. Namun nyatanya pembalakan liar masih terjadi sampai sekarang.[8] Pemerintah Indonesia harus lebih serius lagi dalam menegakan hukum di sektor kehutanan agar hutan Indonesia benar-benar menjadi lestari.
Selain itu ambisi CM2 direncanakan akan dicapai melalui: restorasi gambut dan rehabilitasi lahan, dengan laju penanaman sekitar 800 ribu hektar per tahun hingga 2030. Namun sampai saat ini yang baru berjalan adalah restorasi gambut yang dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), sedangkan pemulihan lahan terutama akibat kebakaran hutan yang telah melalui proses litigasi belum nampak pelaksanaannya dan masih terkendala masalah eksekusi putusan. Padahal rehabilitasi lahan dan reforestrasi merupakan salah satu cara menangkap karbon dan memperlambat pemanasan.
Sektor Energi
Tingkat keberhasilan pengurangan emisi di sektor energi pun juga kecil karena batubara masih menjadi primadona sumber energi di negeri ini. Hal ini terlihat dari pemanfaatan batubara yang digunakan sebagai pembangkit listrik sebesar 54,4%.[9] Ditambah pula dengan penambahan kapasitas pembangkit yang bertumpu pada batubara dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Persero 2018-2027 yang disahkan dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1567 K/21/MEM/2018. RUPTL tersebut juga belum disusun untuk mendukung NDC, yang mana proyek-proyek pembangkit tenaga listrik yang ditetapkan tidak realistis untuk memenuhi target 23% pengembangan energi baru terbarukan. Dengan demikian pemerintah dapat dikatakan inkonsisten dalam mengimplementasikan NDC di sektor energi.
Indonesia juga harus memperketat baku mutu ambien polusi udara yang telah berumur 20 tahun maupun baku mutu emisi berbagai sumber utama pencemaran udara seperti pembangkit tenaga listrik berbahan bakar yang berumur 10 tahun.[10] Hal ini merupakan upaya menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam pembangunan PLTU yang membuktikan bahwa pembangunan PLTU lebih mahal daripada energi baru terbarukan. Dengan kata lain pembangunan rendah karbon yang menitikberatkan pada transisi ke energi baru terbarukan perlu dipercepat karena tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga perekonomian negara.
Target pengurangan emisi sebanyak 29% dan 41 % dengan bantuan Internasional patut diapresiasi sebagai bentuk ambisi politik tingkat tinggi (high level political will), namun nampaknya target ini akan jauh panggang dari api jika tidak disertai dengan reformasi kebijakan serta mekanisme kerja yang komprehensif dan koordinatif. Penegakan hukum yang tidak hanya mengejar pelaku pelanggaran tapi juga berimplikasi pada pemulihan, restorasi lahan dan hutan yang terencana tidak hanya di wilayah publik tapi juga di wilayah konsesi, mempercepat transisi ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan, pengetatan standar baku mutu emisi dan ambien udara. (marsya)
[1] Pemerintah Indonesia, Indonesia First Nationally Determined Contribution, (Indonesia: Pemerintah Indonesia, 2016), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 9.
[3] Ibid., hlm. 9.
[4] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, The State of Indonesia’s Forest 2018, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2018), hlm. 60.
[5] Forest Watch Indonesia, Deforestasi Tanpa Henti, (Bogor: Forest Watch Indonesia, 2018), hlm. 9.
[6] Ibid., hlm. 14.
[7] Ibid., hlm. 20.
[8] Dewi Tresya, et.al., “5 Wilayah Teratas untuk Dipantau: Indikasi Penebangan Hutan Ilegal di Indonesia” https://wri-indonesia.org/id/blog/5-wilayah-teratas-untuk-dipantau-indikasi-penebangan-hutan-ilegal-di-indonesia, diakses 28 November 2018.
[9] Keputusan Menteri ESDM No. 1567 K/21/MEM/2018.
[10] Ichwan Susanto, “Pengetatan Emisi Mutlak Diperlukan,” https://kompas.id/baca/utama/2018/11/16/pengetatan-emisi-mutlak-diperlukan/, diakses 3 Desember 2018.