Media global banyak meliput dampak penanganan dan pencegahan pandemi COVID-19 bagi lingkungan hidup. Karena berkurangnya aktivitas manusia di luar ruangan mengakibatkan turunnya emisi gas rumah kaca di udara yang dapat memperlambat terjadinya perubahan iklim. Opini bahwa pandemik ini adalah cara bumi untuk beristirahat dan memulihkan diri, juga beredar di masyarakat. Namun, hal ini tidak etis untuk dirayakan, karena COVID-19 telah memakan korban paling tidak 119.044 jiwa.[1]
Di sisi lain, perubahan iklim merupakan ketidakadilan global terbesar di dunia. Negara-negara yang mengeluarkan emisi paling banyak di masa lampau atau dikenal sebagai negara maju menjadi lebih tahan dan mudah beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Sedangkan, negara-negara yang mengeluarkan emisi lebih sedikit atau dikenal sebagai negara berkembang merupakan negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam berita kita bisa melihat bahwa di negara-negara maju pemerintah lebih cepat tanggap menghadapi COVID-19 ini, beberapa negara melakukan penjagaan jarak fisik/physical distancing, pengujian COVID-19 gratis, pelarangan perjalanan udara, pemberlakukan lockdown/karantina wilayah, pemberian kupon/diskon bahan pangan, hingga memberikan penginapan gratis bagi tuna wisma. Berbeda dengan negara-negara berkembang yang perlu berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal tersebut, karena banyak masyarakatnya yang menggantungkan penghidupannya pada pendapatan harian dan tak jarang juga tindakan pemutusan hubungan kerja diambil oleh pelaku usaha karena menjadi tidak produktif saat pandemik ini.
Walaupun demikian, perubahan iklim dan COVID-19 memiliki kesamaan. Keduanya membutuhkan tingkat kerja sama global yang tidak biasa, membutuhkan perubahan perilaku sekarang untuk mengurangi penderitaan di esok hari, keduanya dapat diprediksi oleh ilmuwan dan diabaikan oleh ketidakbisaan pemerintah untuk melihat melampaui statistik pertumbuhan ekonomi, serta memerlukan pemerintah untuk bertindak secara drastis dan meninggalkan logika pasar. Dengan kata lain, penanganan perubahan iklim dan COVID-19 memerlukan intervensi negara pada tingkat yang baru sebagai prasyarat untuk memastikan kita tidak terperosok dalam bencana yang lebih besar.
Yang terlupakan adalah bahwa harapan bagi kemanusiaan untuk dunia yang lebih sehat dan bersih adalah sementara atau bahkan semu. Ketika pandemik ini berlalu kita akan berusaha kembali kepada bisnis seperti biasa atau memulihkan ekonomi yang lumpuh akibat pandemi. Hal ini berbahaya karena akan menciptakan situasi bencana yang lebih besar seperti dalam skenario Doktrin Kejut/Shock Doctrine [2]yang diperkenalkan oleh Naomi Klein. Ia memperkenalkan dua skenario dalam doktrin kejut, pertama-tama diawali oleh bencana 1yang merupakan bencana murni, biasanya berupa bencana alam, perang, krisis ekonomi. Kemudian diikuti oleh Bencana 2 yang merupakan hal-hal tidak baik yang diputuskan/dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa, seperti perubahan struktur ekonomi secara ekstrem, pemanfaatan peluang untuk memperkaya diri sendiri atau orang-orang tertentu dalam keadaan pasca-krisis, sementara masyarakat lain masih dalam proses pemulihan diri sehingga tidak menyadarinya. Ketika masyarakat menyadarinya mungkin harapan untuk dunia yang lebih baik itu sudah pudar.
Kondisi ini sudah terjadi di China dan Amerika Serikat, dimana Bencana 1 adalah COVID-19 dan Bencana 2 adalah pembongkaran peraturan-peraturan perlindungan lingkungan yang ada. Pemerintah China memutuskan untuk mengesampingkan pengawasan dampak lingkungan hidup pada fasilitas-fasilitas industri.[3] Sementara, pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk tidak menghukum pelanggaran peraturan pencemaran selama perusahaan dapat menghubungkan sebab pelanggaran tersebut akibat pandemik.[4] Saat ini memang emisi sedang turun akibat penanganan dan pencegahan pandemik COVID-19, tetapi nanti ketika pandemi telah usai, mungkin akan terjadi lonjakan emisi drastis jika keputusan pemerintah seperti itu.
Seharusnya, penanganan dan pencegahan pandemik COVID-19 dapat menjadi pelajaran dalam merespons perubahan iklim yang kian hari menjadi realitas baru, untuk menerima normal yang baru, untuk beradaptasi dengan kenyataan yang baru. Pandemik ini mengajarkan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya menjadi terpikirkan, yang tidak bisa dilakukan sebelumnya. Jika kita ingin selamat maka kita harus melakukan segala hal yang kita bisa. Penanganan pandemik COVID-19 secara global telah membuktikan bahwa pemerintah mampu melakukan respons cepat terhadap kepentingan publik. Jika kita serius menangani perubahan iklim, kita akan melihat negara-negara berkompetisi melindungi warga negaranya dengan membuat kebijakan penurunan emisi dan adaptasi perubahan iklim yang memperhitungkan keadilan sosial dan negara-negara maju berkompetisi membantu negara-negara berkembang melakukan hal yang sama, dalam berita sehari-hari. Oleh karena itu, kita tidak dapat kembali pada bisnis seperti biasa, melainkan kita harus menerima kenyataan baru ini dan beradaptasi untuk bertahan hidup. (Marsya)
—
[1] World Health Organization, Overview Coronavirus (COVID-19) https://who.sprinklr.com/, diakses pada 15 April 2020.
[2] Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, (New York: Henry Holt, 2007)
[3] Michael Standaert, “China Relaxes Environmental Rules to Curb Virus’s Economic Hit” https://news.bloombergenvironment.com/environment-and-energy/china-relaxes-environmental-rules-to-curb-viruss-economic-hit, diakses pada 13 April 2020.
[4] Oliver Milman dan Emily Holden, “Trump administration allows companies to break pollution laws during coronavirus pandemic”, https://www.theguardian.com/environment/2020/mar/27/trump-pollution-laws-epa-allows-companies-pollute-without-penalty-during-coronavirus, diakses pada 13 April 2020.