Mewabahnya Covid-19, berpengaruh besar terhadap tingkat polusi udara di dunia. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh beberapa negara di dunia untuk membatasi aktivitas diluar rumah, aktivitas produksi hingga melakukan isolasi wilayah, demi menanggulangi wabah Covid-19. Tiongkok misalnya, mengisolasi Kota Wuhan di Provinsi Hubei yang menjadi pusat munculnya virus Covid-19. Filipina melakukan lockdown di Metro Manila. Italia melakukan lockdown dalam skala besar. Kemudian, disusul oleh Belgia, Malaysia, Belanda, Irlandia, Denmark, Prancis dan Spanyol[1]. Kebijakan mengisolasikan diri di berbagai negara tersebut memiliki efek yang begitu signifikan terhadap lingkungan.
Berikut beberapa negara yang menunjukkan berkurangnya polusi akibat serangan Covid-19:
1. China
Berdasarkan citra satelit NASA, jumlah polusi udara di langit China berkurang drastis. Data yang dikumpulkan dari satelit Sentinel-5 ESA, misalnya, menunjukkan penurunan nitrogen dioksida yang signifikan. Gas yang sebagian besar dihasilkan mobil, truk, pembangkit listrik dan sejumlah pabrik itu lenyap saat dilihat pada 20-25 Februari 2020. Padahal satu bulan sebelumnya, 1-20 Januari 2020, citra satelit menangkap kadar polusi di udara masih cukup tinggi[2].
Beda kadar polusi di China sebelum dan sesudah pandemi virus corona.

2. Italia
Venesia merupakan salah satu tempat wisata utama yang berada di Italia. Dimana sepanjang tahun tempat ini dipenuhi oleh wisatawan domestik maupun manca negara. Namun sejak wabah Covid-19 melanda Italia, Pemerintah Italia mengeluarkan kebijakan Lockdown yang juga memberikan dampak yang signifikan bagi lingkungan. Mengutip dari laman berita boredpanda.com para ilmuwan dan peneliti menemukan fakta bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap tingkat kadar NO2 di Italia. Hal ini karena jalanan menjadi sepi, udara menjadi lebih segar serta air yang keruh menjadi jernih dan dapat melihat secara jelas kehidupan di bawah air di kanal-kanal Venesia, dimana sebelumnya tidak dapat dilihat secara jelas.

Satelit data tunjukkan penurunan emisi gas di wilayah Italia bertepatan dengan pemberlakuan lockdown sebagai upaya pencegahan virus corona.* /Twitter Santiago Gasso via Daily Mail. Sumber gambar Via Pikiran Rakyat[3]
3. Indonesia
Kota Jakarta merupakan Ibu Kota di Indonesia dengan penyebaran Covid-19 yang cukup besar, sehingga Jakarta masuk dalam kategori zona merah oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Penetapan status zona merah membuat Pemerintah kota Jakarta mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas. Kebijakan tersebut membuat udara kota Jakarta menjadi bersih, mengutip dari laman berita Mongabay.com per tanggal 26 Maret – 4 April 2020 kualitas udara kota Jakarta masuk dalam kategori baik yaitu nilai PM 2,5 rata-rata sebesar 18,46 µg/m3. Kualitas udara kota Jakarta menjadi baik ini pertama kali terjadi setelah 28 tahun[4]. Kualitas udara Jakarta yang membaik akibat berkurangnya polusi membuat kota Jakarta terlihat asri, bahkan warga net juga dihebohkan dengan terlihatnya Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango dari kota Jakarta.

4. India
Pemerintahan India, juga memberlakukan kebijakan Lockdown. Kebijakan ini juga telah mempengaruhi kualitas udara di India, bahkan gugusan pegunungan Himalaya dapat terlihat sangat jelas dari jarak 200 km setelah tertutup oleh polusi selama 30 tahun[5] Melansir dari Republika pemandangan langka tersebut membuat warga India dari distrik Jalandhar di Punjab, berbondong-bondong mengabadikannya. Mereka beramai-ramai memanjangnya ke sejumlah platform media sosial.
Padahal Jalandhar sendiri berjarak 125 mil atau sekitar 201 kilometer dari Himalaya. Fenomena langka ini merupakan bukti bahwa pencemaran polusi di India sangat buruk. Sementara selama lockdown akibat corona menjadikan bumi lebih bersih, langit tampak lebih hijau dan hamparan pegunungan Himalaya pun bisa dilihat dari kejauhan.
Tahun lalu New Delhi, ibu kota India menduduki peringkat teratas sebagai kota dengan polusi udara terparah menurut World Air Quality Index (AQI) Ranking. Laporan dari India Today Data Intelligence Unit memaparkan sebelum diberlakukan lockdown rata-rata kota di India memiliki AQI 115 antara 16-24 Maret[6].

***
Pentingnya Etika dan Keseimbangan Alam
Turunnya polusi yang terjadi di berbagai negara akibat serangan Covid-19 ternyata tidak serta-merta dapat mengurangi tekanan perubahan iklim. Seorang ilmuwan iklim dan Direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, Gavin Schmidt yang diberitakan oleh Vice.com menuliskan bahwa masyarakat seharusnya tidak terlalu cepat menarik kesimpulan terkait serangan Covid-19 dan lingkungan yang menjadi lebih asri akibat berkurangnya aktivitas produksi dan aktivitas manusia di luar rumah[7].
Gavin juga menyatakan bahwa ada beberapa emisi gas rumah kaca di sektor tertentu mungkin turun, tapi ada peningkatan di sektor lain karena dunia masih menyesuaikan diri dengan pembatasan terkait COVID-19. Salah satunya adalah penggunaan energi listrik saat di rumah, dan pemakaian internet yang cukup besar. Pembangkit listrik yang ada hampir separuhnya penyumbang sepertiga emisi karbon di udara.
Pernyataan Gavin mungkin benar, merujuk dari laporan Gartner, sebuah badan riset global, yang dilansir Guardian menunjukkan, berselancar di dunia maya dalam setahun membutuhkan listrik sebesar 365 kWh (kilowatt-hours) dan menghasilkan karbon dioksida setara dengan yang dihasilkan mobil tatkala bepergian sejauh 1.400 kilometer. Sementara itu, laporan Guardian lain terkait emisi gas melalui penggunaan internet juga menjelaskan: pencarian tunggal di Google menghasilkan 0,2g karbon dioksida, menonton video di Youtube selama 10 menit menghasilkan 1g karbon dioksida, lalu mengecek newsfeed facebook selama setahun menyebabkan 269g karbon dioksida lepas ke udara[8].
Gavin dan Gartner dalam pernyataannya telah membuka mata kita, bagaimana bersikap di tengah pandemi ini. Inilah saatnya bagaimana kita harus memiliki etika dalam berlaku untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Kesimpulannya adalah bagaimana kemudian kita menghemat energi dalam keseharian kita ditengah pandemi ini. Mematikan listrik yang tidak terpakai, menggunakan ponsel yang hemat energi, atau tidak terlalu berlama-lama “berselancar” di dunia maya.
Setelah pandemi ini berakhir ada baiknya kita mengkaji kembali, apakah aktivitas kita sebelum pandemik, telah ramah terhadap lingkungan. Kita juga harus mengubah kebiasaan kita yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih peduli. Seorang filsuf pernah berkata, “Ketika kita menyembuhkan bumi, sama hal nya kita sedang menyembuhkan diri sendiri”. Sudah saatnya etika lingkungan kita terapkan mulai saat ini.
Etika lingkungan disini tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. (Dona)
—
[1] Teddy Tri Setio Berty, “10 Negara Ini Lockdown Akibat Corona COVID-19, Terbaru Belgia” diakses dari https://www.liputan6.com/global/read/4204969/10-negara-ini-lockdown-akibat-corona-covid-19-terbaru-belgia pada tanggal 25 Maret 2020.
[2] Kumparan.com, “Lockdown karena Virus Corona, Polusi Udara di China dan Italia Berkurang Drastis” diakses dari https://kumparan.com/kumparansains/lockdown-karena-virus-corona-polusi-udara-di-china-dan-italia-berkurang-drastis-1t32bwLvQts pada tanggal 23 Maret 2020.
[3] Julkifli Sinuhaji, “Kabar Baik, di Balik Pandemi Virus Corona, Kualitas Udara di Bumi Jadi Lebih Bersih” diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-01354428/kabar-baik-di-balik-pandemi-virus-corona-kualitas-udara-di-bumi-jadi-lebih-bersih pada tanggal 09 April 2020.
[4] Jay Fajar dan Anton Wisuda, “Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik” diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/04/06/setelah-28-tahun-kualitas-udara-di-jakarta-membaik/ pada tanggal 09 April 2020.
Suryanto, “Efek “Lockdown”, Himalaya terlihat dari jauh pertama sejak 30 tahun” diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1410474/efek-lockdown-himalaya-terlihat-dari-jauh-pertama-sejak-30-tahun pada tanggal 09 April 2020.
[6] Ali Mansur, “Pegunungan Himalaya Kembali Terlihat Setelah 30 Tahun” diakses dari https://republika.co.id/berita/q8ixea328/pegunungan-himalaya-kembali-terlihat-setelah-30-tahun pada tanggal 15 April 2020.
[7] Becky Ferreira, ” Sori Ya, Pandemi Corona Kata Ilmuwan Gak Bikin Polusi Berkurang di Planet Kita”, diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/7kzqja/sori-ya-pandemi-corona-kata-ilmuwan-gak-bikin-polusi-berkurang-di-planet-kita pada tanggal 14 April 2020.
[8] Ahmad Zaenudin, “Dunia IT Menyumbang Emisi Karbon yang Sangat Besar” diakses dari https://tirto.id/dunia-it-menyumbang-emisi-karbon-yang-sangat-besar-elcZ pada tanggal 15 April 2020.