Setiap tanggal 27 Juli Indonesia memperingati Hari Sungai Nasional, momen ini menjadi tepat untuk mengevaluasi kondisi sungai-sungai dan memberikan gambaran kompleksitas permasalahan sungai dari hulu hingga hilir.
Indonesia sebagai hamparan negara kepulauan memiliki luas perairan yang lebih besar dibandingkan dengan luas daratan yang ada. Sungai merupakan salah satu aliran perairan yang menjadi tempat bergantung bahkan merupakan sumber kehidupan utama dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan RPJMN 2015-2019, yang terangkum capaian nawacita maka beban Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mewujudkan tujuan prioritas percepatan pembangunan diantaranya ialah menjaga kualitas Lingkungan Hidup yang memberikan daya dukung, pengendalian pencemaran, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), sebagai salah satu tujuan memastikan kondisi lingkungan berada pada toleransi yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia,[1]
Setiap tanggal 27 Juli Indonesia memperingati Hari Sungai Nasional, momen ini menjadi tepat untuk mengevaluasi kondisi sungai-sungai dan memberikan gambaran kompleksitas permasalahan sungai dari hulu hingga hilir, baik sungai prioritas maupun sungai non prioritas. Berdasarkan data KLHK 2014 mengenai beban pencemaran air, maka selanjutnya jumlah sungai pada 15 DAS prioritas ditargetkan untuk meningkat kualitas airnya pada setiap tahun.[2] Akan tetapi, hal tersebut semakin sulit karena semakin banyak penyebab permasalahan sungai-sungai tercemar di Indonesia, diantaranya ialah pembuangan sampah yang sembarang ke dataran sungai yang menyebabkan banjir, pembuangan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) berupa limbah rumah tangga hingga limbah cair industri, pemberian izin pembuangan limbah yang diperbolehkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pembuat regulasi dan Pemerintah Daerah sebagai pemberi izin. Penyebab lain yang juga disadari Pemerintah hingga menyebabkan penurunan kualitas air adalah terkendalanya hak dan status lahan kritis yang akan direhabilitasi, serta belum optimalnya pengendalian pemanfaatan ruang di sekitar DAS[3].
Capaian dalam langkah mengurangi pencemaran air kemudian berusaha dituangkan melalui penilaian Indeks Kualitas Air (IKA) dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Dalam IKLH 2017 disebutkan beberapa Provinsi yang mengalami penurunan IKA terbesar dari tahun sebelumnya, yaitu Banten, Kalimantan Tengah dan Jawa Barat. Nilai persentase yang diberikan tiga Provinsi tersebut bahkan mempengaruhi penurunan IKA Nasional[4]. Hal tersebut semakin diperkuat dengan keadaan sungai-sungai tercemar yang dapat mematikan mata pencaharian hingga aktivitas masyarakat sekitar sungai tercemar. Dari dua diantara tiga Provinsi tersebut yaitu sungai Ciujung di Provinsi Banten yang tercemar mempengaruhi aktivitas nelayan dan petani di daerah tersebut. Kemudian, sungai Citarum yang berada di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat dipenuhi oleh sampah dan limbah industri yang diizinkan dibuang ke sungai.
Lebih lanjut, pemahaman yang berusaha dibuat melalui regulasi pencemaran air hingga pemulihan sungai, sebenarnya telah termaktub dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP No.82 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air hingga PP No.38 Tahun 2011 tentang Sungai dengan berupaya memberikan gambaran mengenai pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, konservasi sungai dan pengendalian daya rusak air sungai tampak efektif secara teori dengan mengukur instrumen-instrumen yang mampu menjawab dalam mengatasi masalah pengelolaan kualitas air melalui status mutu air, baku mutu air, kualitas mutu air, baku mutu air dan kriteria mutu air[5]. Lebih lanjut instrument lainnya yang dapat membantu strategi pengendalian pencemaran air dengan melihat cara pencegahan, penanggulangan dan pengendalian.[6]
Setelah mengetahui kompleksitas penyebab sungai-sungai tercemar di Indonesia hingga berujung menjadi pencemaran air dan penurunan kualitas air. Maka, Pemerintah dalam Rencana Teknokratik RPJMN 2020-2024 menyampaikan komitmennya di bidang Lingkungan Hidup yang diharapkan tercapai pada tahun 2025 dapat tercapai, khususnya dibidang pengelolaan dan pengendalian pencemaran air adalah meningkatnya pemulihan terhadap B3, lahan kritis, dan daerah aliran sungai (DAS), ) kinerja penegakan hukum untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup semakin meningkat dalam aspek penanganan pengaduan, pengawasan izin; pemberian izin, serta Meningkatnya ketahanan terhadap dampak perubahan iklim pada empat sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kehutanan.
Kesimpulan
Sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi kompleksitas penyebab permasalahan pencemaran sungai-sungai di Indonesia, maka dapat menitikberatkan pada hubungan kausalitas, dimana melalui inventarisasi penyebab yang terjadi pada sungai yang tercemar dan sejauh mana dampak yang dirasakan. Lebih dari itu, kesesuaian isi regulasi dengan penerapannya seringkali tidak sesuai hingga seringkali menyebabkan aturan tersebut hilang marwah untuk dapat diimplementasikan. Sehingga, perwujudan kedua hal tersebut dapat menjadi langkah efektif untuk menjaga lingkungan dengan berusaha menanggulangi pencemaran dan mengendalikannya yang merupakan jalan keluar guna pemberian hak lingkungan hidup yang sehat dan baik sesuai dengan amanat Konstitusi[7] dan UUPPLH.[8] (Tasya)
———————
[1]Rencana Strategi 2015-2019, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, diakses pada http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/renstra/renstra_for_web.pdf , hlm.38
[2] Margaretha Quina, et.all, Memulihkan Sungai: Sebuah Panduan Umpan Balik dan Partisipasi Komunitas, Jakarta, Indonesian Cneter for Enviromental Law, 2017, hlm.5
[3] Capaian di bidang Lingkungan Hidup terkendala yang kemudian termaktub dalam Rencana Teknokratik RPJMN 2020-2024.
[4] Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH 2017), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, diakses pada http://www.menlhk.go.id/site/download, hlm.32-33
[5] Ibid., hlm.11
[6] Ibid., hlm.17
[7] Bahwa dalam Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.”
[8] Konsideran menimbang huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup