Jakarta – Prof Emeritus Paul Connett seorang aktivis sekaligus ahli kimia lingkungan dan toksikologi menyatakan bahwa penanganan sampah dengan mendirikan insinerator di duabelas (12) kota di Indonesia merupakan ide yang sangat buruk. Sabtu (13/07/2019).

“Mengapa ide ini sangat buruk? Sebab sampah di Indonesia bercampur dan jumlahnya sangat banyak sekali. Faktanya 60 % sampah di Indonesia merupakan sampah organic, dan itu tercampur dengan sampah non organic. sehingga kita tidak akan mendapatkan nilai ekonomi yang efisien, bahkan dengan argumentasi bahwa ide ini akan menghasilkan listrik. Faktanya produksi energi net yang dihasilkan pada akhirnya akan berjumlah kecil,” ujar Prof Emeritus Paul Connett.

Prof  Paul Connett juga menyatakan bahwa rencana mendirikan insinerator memerlukan biaya yang tinggi dan ini merupakan solusi yang salah untuk mengelola sampah. Tiga sumber pendanaan dari insinerator berasal dari tipping fee dan pajak penduduk yang akirnya akan digunakan sebagai biaya yang harus dikeluarkan untuk membakar tiap satuan sampah yang ada, mulai dari capital cost, operating cost, dan profit margin.

Solusi yang mestinya dilakukan oleh pemerintah seharusnya bukan high-temperature energy solution, tetapi adalah low-temperature energy solution, yakni anaerobic digestion dari pengelolaan sampah organik. Composting merupakan langkah yang baik untuk mengefisiensikan pengelolaan sampah di hilir yang terlalu terbebani.

Sebagai seorang ahli kimia lingkungan dan toksikologi, Prof Paul menjelaskan secara gamblang mengapa insinerator ini harus ditolak. Ia merinci resiko dari penerapan insinerator dapat menyebabkan berbagai dampak yang negatif seperti kerugian energi dan dampak bagi kesehatan, ekonomi dan lainnya. Khusus untuk dampak kesehatan hasil penelitian beliau telah menjadi rujukan bagi berbagai pihak bahwa Prof Paul telah membuktikan satu ekor sapi dapat menghirup racun dioksin (buangan insinerator) jauh lebih banyak dari pada manusia. Satu hari hirupan dioksin oleh sapi setara dengan 14 tahun hirupan dioksin oleh manusia.

Masih dalam paparan Prof Paul, yang menjadi persoalan berikutnya adalah manusia mengkonsumsi daging dan susu sapi tersebut. Satu liter susu sapi mengandung dosis dioksin setara dengan hirupan dioksin oleh manusia selama delapan bulan. Dioksin tersebut akan melekat pada lapisan lemak didalam badan manusia dan akan menumpuk.

Hasil penelitian Prof Paul teradap manusia, wanita dapat mengeluarkan dioksin didalam tubuhnya dengan cara melahirkan, namun dioksin tersebut telah terpapar ke tubuh sang bayi, dan bagi pria dioksin tidak dapat dikeluarkan dengan cara apapun.

Untuk diketahui Prof. Paul datang ke Indonesia dalam rangkaian tur dunianya yang bertajuk Zero Waste Campaign Tour 2019. Kedatangannya tahun 2019 ini merupakan kali kedua di Indonesia, setelah pada 2016 lalu ia hadir dalam rangkaian kegiatan yang senada untuk berbicara di berbagai kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. (Dona)