‘Selamat Hari Air Sedunia’ bak kata-kata sakti, kalimat itu mampu menyedot perhatian publik pada tanggal tertentu. Teptatnya pada tanggal 22 Maret 2019 ini, banyak sekali berseliweran infografis atau hanya sekedar kata-kata maupun ucapan yang mengingatkan mengenai kondisi air, terutama air sungai yang ada dibelahan dunia.

Ketika kita berbicara mengenai kualitas air sungai di Indonesia, hal yang pertama kita ingat pastilah mengenai pencemaran yang terjadi oleh limbah industri maupun limbah rumah tangga. Ironi, itulah kata yang pertama terucap. Sebab Indonesia yang mendapatkan peringkat ke lima (5) di Dunia sebagai pemilik sumber daya air tawar yang melimpah[1].

Limbah industri maupun limbah rumah tangga kerap kali dibuang langsung ke sungai. Dan parahnya air sungai yang telah tercemar ini, menjadi sebuah ancaman bagi kesehatan masyarakat. Dalam perkiraan Global Burden of Diseases, secara global sekitar 1,8 juta kematian dini disebabkan faktor resiko yang terkait pencemaran air, utamanya terkait sanitasi yang tidak aman dan sumber air yang tidak aman. Sekalipun demikian, di negara maju permasalahan ini telah dapat tertangani dengan baik. Namun, belum demikian di Indonesia.

Data LHK yang dikutip dari Tirto.id menunjukkan bahwa dari pengujian yang dilakukan pada 100 aliran sungai, 52% sungai mengalami cemar berat, 20% tercemar sedang, 7% tercemar ringan dan 21% berada dalam keadaan baik. Pada 2016 berdasarkan pemantauan di 918 titik sampel pada 122 sungai di Indonesia oleh KLHK, 68% kondisi air sungai di Indonesia dalam kategori cemar berat. Sedangkan data yang dikeluarkan oleh BAPPENAS, air sungai di Jakarta dapat mengancam kesehatan apabila dikonsumsi, mengingat 96% dari air sungai di Jakarta tercemar berat (Jakarta Post, 2018).

Selain mengancam kesehatan masyarakat, ada biaya kesehatan yang juga harus ditanggung oleh masyarakat dari buruknya kualitas air ini. Di Makasar, etimasi  biaya kesehatan dan biaya ekonomi untuk mendapatkan sumber air bersih, yang harus dikeluarkan oleh masyarakat Makassar mencapai  Rp 30,1 Triliun (Antara Sulsel, 2011). Laporan valuasi ekonomi terhadap pencemaran air dan kontaminasi tanah akibat limbah industri di Rancaekek, dekat salah satu anak sungai Citarum, menemukan bahwa kerugian mencapai Rp 11 Triliun (Greenpeace, 2017).

Mengendalikan pencemaran air dengan lebih cerdas

Pencegahan harus menjadi tumpuan utama dalam pengendalian pencemaran air. Sekalipun dalam kegiatan penanggulangan dan pemulihan, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencegah masuknya tambahan pencemar baru ke sumber air yang telah kelebihan beban pencemaran.  Sepanjang 2015–2019, Kementerian Lingkungan Hidup telah meningkatkan skala upaya mengendalian pencemaran air dengan lebih cerdas, yaitu berdasarkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air yang menerima limbah. Berdasarkan Rencana Strategis KLHK, daya tampung beban pencemaran air dan alokasi bebannya ditetapkan untuk 15 sungai prioritas nasional pada periode 2015 – 2019. Dari 15 sungai prioritas ini, tujuh telah ditetapkan daya tampung beban pencemaran air nya (DTBPA), yaitu: Sungai Ciliwung, Sungai Citarum, Sungai Cisadane, Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, Sungai Siak dan Sungai Kapuas. Sementara, 4 sungai telah selesai dihitung dan menunggu penetapan dalam bentuk SK menteri, yaitu Sungai Serayu.

Sisanya, 4 sungai masih baru akan dihitung atau sedang dalam tahap penghitungan adalah Sungai Moyo, Sungai Limboto*, Sungai Jeneberang. SK penetapan DTBPA dan alokasi beban merupakan langkah awal yang baik untuk merumuskan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran yang berbasiskan data ilmiah.

Untuk sungai-sungai yang telah kelebihan daya tampung, opsi kebijakan yang dapat diambil antara lain;

  1. Reduksi beban pencemar dari sumber-sumber pencemar yang telah ada melalui alokasi beban pada dokumen lingkungan hidup (AMDAL atau UKL-UPL) dan izin lingkungan. Implikasi pengetatan alokasi beban; Penggunaan teknologi yang lebih efektif dalam mengurangi konsentrasi ataupun volume air limbah;
  2. Harus dilakukannya daur ulang air;
  • Relokasi industri ke wilayah lain yang sumber airnya masih memiliki daya tampung;
  • Moratorium izin pembuangan air limbah;
  • Reduksi beban pencemar dari sumber-sumber pencemar nirtitik melalui praktik pengelolaan terbaik dan/atau menjadikan sumber nirtitik sumber titik (ketika memungkinkan).

Belum Disahkannya RPP Air, Dukung Sebagai Instrumen Kebijakan yang Penting

Belum disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait pengelolaan air limbah menjadi dilema tersendiri. Penyelesaian dan pengesahan RPP ini perlu kita dukung agar dapat dilakukan segera, mengingat beberapa instrumen kebijakan yang penting dalam RPP ini:

  1. Perluasan sumber air yang diatur, meliputi semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan dan air tanah, kecuali air laut. Dengan kata lain, tidak hanya sungai dan danau; rawa-rawa, mata air, sungai bawah tanah, maupun air tanah akan termasuk dalam pengaturan ini.
  2. Adanya ketentuan pemeliharaan dan larangan mencemari termasuk larangan membuang air limbah sama sekali ke beberapa jenis sumber air, misalnya mata air dan air tanah.
  3. Sekalipun tidak eksplisit, terdapat pengaturan sumber pencemar nirtitik (non-point sources), baik melalui kewajiban pembuatan sarana prasarana maupun dengan mengaitkan dengan kewajiban usaha dan/atau kegiatan dalam izin lingkungan.
  4. Dikaitkannya alokasi beban pencemar dan praktik pengelolaan terbaik dengan izin lingkungan.
  5. Pengaturan perencanaan pengendalian pencemaran air agar lebih tepat sasaran, lebih mempertimbangkan informasi ilmiah, serta tidak terjebak dalam perumusan program yang business as usual tanpa menyasar akar masalah.
  6. Pengaturan instrumen ekonomi, termasuk perdagangan alokasi beban pencemaran (dalam kondisi tertentu, belum dilampauinya daya tampung) dan internalisasi biaya pengendalian pencemaran air.
  7. Dikaitkannya penanggulangan dan pemulihan dengan dana penanggulangan dan dana pemulihan lingkungan hidup berdasarkan PP Instrumen Ekonomi.
  8. Didorongnya pelibatan masyarakat dalam pengendalian pencemaran air.
  9. Dikaitkannya informasi mengenai pengendalian pencemaran air dengan sistem informasi lingkungan hidup yang dimandatkan UU No. 32 Tahun 2009;
  10. Ditegaskannya pengaturan mengenai pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah sesuai dengan UU No. 23 Tahun 201 (Quina, Dona)

Artikel ini di tulis untuk memperingati hari air sedunia.

[1] https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/10/15/indonesia-peringkat-5-negara-dengan-cadangan-air-tawar-terbesar-dunia