Gugatan warga negara terhadap udara Jakarta yang dilakukan oleh masyarakat kota Jakarta telah memasuki agenda pemeriksaan saksi dari tergugat. Pada sidang pemeriksaan saksi pertama dari Para Tergugat, Tergugat II dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghadirkan saksi atas nama Romi Kurniawan yang bekerja pada Bidang Hukum Dan Kerjasama Teknik, Pengendalian Lingkungan Hidup dan Pencemaran KLHK. Saksi Romi menjelaskan mengenai proses revisi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 terkait Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam persidangan tersebut saksi Roni menyatakan bahwa PP No. 41 Tahun 1999 tersebut masih berlaku dan masih efektif dalam pengaturannya dan dalam seluruh pengaturan di bawahnya.
Akan tetapi berdasarkan keterangan saksi Romi, perubahan terhadap PP No. 41 Tahun 1999 melalui Rancangan Peraturan Pemerintah terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja tengah menunggu tanda tangan Presiden pada saat saksi Romi memberikan keterangannya. Saat ini, Rancangan PP tersebut telah diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021, berbeda dengan keterangan Saksi Romi dalam persidangan.
Saksi Romi juga membuka fakta menarik dalam penyusunan perubahan PP No. 41 Tahun 1999, bahwa pemerintah membutuhkan waktu yang sangat lama dalam menyusun perubahan PP No. 41 Tahun 1999. “Sudah 10 tahun sejak awal penyusunan,” ujar Saksi Romi dalam keterangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (17/02/2021) menjawab pertanyaan dari Kuasa Hukum Penggugat tentang waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk merubah PP No. 41 Tahun 1999.
***
Sidang selanjutnya pada 24 Februari 2021, Tergugat II menghadirkan saksi yang bekerja sebagai Analis Data pada Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Annisa Zahara. Dalam kesaksiannya, saksi Annisa bahwa di Jakarta terdapat 2 unit stasiun pemantauan kualitas udara, yang terletak di Gelora Bung Karno (GBK) dan di Jakarta Timur tepatnya di kantor KLHK.
“Radius alat pemantau otomatis yang dimiliki KLHK adalah 5-10 km,” ujar Annisa dalam keterangannya di hadapan persidangan.
Dalam kaitannya dengan pengukuran PM 2.5, saksi Annisa menyatakan bahwa saksi telah menghitung parameter pencemar PM 2.5 sejak tahun 2017. Akan tetapi, di sisi lain saksi Annisa mengaku tidak mengetahui sejak kapan PM 2.5 masuk ke dalam perhitungan ISPU. Saksi Annisa juga menyatakan bahwa ISPU yang dimiliki oleh KLHK memberikan early warning system kepada masyarakat apabila kualitas udara buruk.
KLHK telah mengundangkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara pada tanggal 15 Juli 2020. Permen LHK P.14/2020 tersebut mengubah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara yang belum memasukkan parameter PM 2.5 ke dalam perhitungan ISPU. Baru dalam Permen LHK P.14/2020, ISPU menyertakan PM 2.5 dalam perhitungannya.
Pada persidangan tanggal 25 November 2020, ahli pengendalian pencemaran udara yang dihadirkan oleh Penggugat, Dollaris Riauty Suhadi menyatakan bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki pada ISPU. Pertama, ISPU menggunakan data rata-rata 24 jam, sehingga datanya tidak real time. Tanpa adanya data yang real time, maka ISPU tidak dapat digunakan sebagai early warning system. Ahli juga menyatakan bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara tidak menyertakan PM 2.5 sebagai parameter kritis.
Sidang sebelumnya penggugat mendatangkan ahli Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sandrayati Moniaga di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada tanggal 20 Januari 2021. Ahli tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan bersih dan sehat dan ini tertuang didalam Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait standar kesehatan yang telah direkomendasikan oleh WHO, seharusnya pemerintah tidak menolak untuk menggunakan standar kesehatan yang sesuai dengan standar WHO dalam penanganan pencemaran udara.
Lanjut ahli, dalam konteks kualitas lingkungan, standar tertinggi untuk mengatur yang bernama baku mutu harus erat kaitannya dengan standar yang digunakan oleh institusi yang berwenang dalam masalah kesehatan “Kalau bukan WHO, lembaga kesehatan mana yang dirujuk oleh Pemerintah? Kalau keselamatan lingkungan itu soal safety. Yang kita bicarakan di sini adalah health. Kesehatan dan keselamatan itu dua ranah yang berbeda. Jadi dalam konteks pemenuhan hak atas lingkungan hidup, itu memang kembali harus sesuai dengan standar-standar kesehatan,” tukas Sandra[1].
***
Sebelum menghadirkan ahli dari Komnas HAM, penggugat menghadirkan ahli dari Ahli Neurologi dari Ohio, Amerika Serikat, Alan H. Lockwood, dalam keterangannya ahli tersebut menyatakan bahwa udara yang kotor akan menimbulkan dampak yang buruk bagi masyarakat yang terpapar. Dampak buruk bagi masyarakat pada saat pandemi adalah ketika pasien atau penyitas Covid-19 terpapar udara kotor justru akan memperparah kondisi mereka. Ia melanjutkan bahwa pasien yang menderita Covid-19 lebih sensitif dengan polusi udara jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki para-paru yang sehat.
“Dampak polutan PM 2.5 pada kesehatan sangat rumit. Saat dihirup oleh paru-paru, partikel tersebut dapat menyebabkan asma, kanker dan masalah paru-paru. Dari paru-paru partikel itu menyebar melalui darah ke organ tubuh lainnya dan dapat menyebabkan pengerasan saluran yang menjadi penyebab utama masalah jantung,” tutur Lockwood[2]. (Dona, Bella).
[1] Siara Pers Koalisi Ibu Kota, tanggal 20 Januari 2021.
[2] Siaran Pers Koalisi Ibu Kota, tanggal 13 Januari 2021.