Jakarta | ICEL bersama dengan IDLO menyelenggarakan diskusi publik “Jalan Panjang Implementasi Pemulihan Kualitas Air di Indonesia” di Morrisey Hotel. Dalam diskusi tersebut hadir sebagai narasumber Kepala Seksi Hidrologi dan Kualitas Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dr. Eng. Idham Riyando, S.T., M.Eng, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Ir. Medrilzam, M. Prof. Econ, Ph.D., Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup . Luckmi Purwandari, S.T., M.Si., dan sejumlah CSO/Komunitas lainnya. Kamis (24/10/2019). 

Buruknya kualitas air sampai detik ini masih menjadi momok bagi Indonesia. Berdasarkan data National Geographic Indonesia dari laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2015 hampir 68 persen atau mayoritas mutu air sungai dalam status tercemar berat di 33 provinsi. Limbah pabrik, limbah domestik, limbah industri tambang, limbah pertanian, maupun limbah tambak berperan besar dalam pencemaran air sungai di Indonesia. Kandungan Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Fecal Coli, total Coliform, dan hidrogen sulfida (H2S) terdapat dalam sungai yang tercemar oleh limbah notabene berbahaya bagi kesehatan masyarakat di sekitar aliran sungai. Penyebab utama limbah-limbah tersebut mencemari air karena manajemen yang buruk terhadap air, seperti perkembangan daerah urban yang tidak berdasarkan kebijakan tata ruang dan minimnya infrastruktur untuk pengelolaan limbah. 

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2015-2019 telah mencanangkan program peningkatan ketahanan air yang didasarkan oleh keprihatinan atas menurunnya kualiras air di berbagai sungai, semakin sedikitnya ketersediaan air untuk mendukung ketahanan pangan dan energi, dan tingginya frekuensi banjir serta tanah longsor. Melalui program ketahanan air tersebut, KLHK menetapkan 15 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi prioritas dalam peningkatan terhadap ketahanan air, yaitu: DAS Citarum, DAS Siak, DAS Ciliwung, DAS Asahan Toba, DAS Serayu, DAS Jeneberang, DAS Solo, DAS Saddang, DAS Brantas, DAS Moyo, DAS Cisadane, DAS Way Sekampung, DAS Kapuas, DAS Limboto serta DAS Musi. 

Henri Subagiyo dalam kata sambutannya menyatakan bahwa ICEL mengapresiasi program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah termasuk penetapan 15 DAS untuk dijadikan prioritas pemulihan. “Saat ini persoalan tentang sumber daya air nasional semakin kompleks baik soal ketersediaan air/kuantitas dan kualitas air. Terlebih dengan munculnya berbagai gejala perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kondisi sumber daya air, antara lain curah hujan, ketinggian muka air laut,” ujar Henri. 

“Kompleksitas persoalan tersebut memerlukan banyak agenda reform ke depan, antara lain: (1) perbaikan tata kelola (seperti kelembagaan, kewenangan yang masih tumpang tindih satu dengan lain dan pembiayaan); (2) ketersediaan infrastruktur untuk mengendalikan sumber-sumber pencemar seperti IPAL domestik dan industri, non-point source, maupun fasilitas pengelolaan sampah; (3) ketersediaan data hasil pemantauan regular (valid, akurat, cepat) untuk melakukan deteksi dini guna pengambilan kebijakan dan tindakan penanganan segera; (4) perubahan behavior masyarakat yang saat ini belum memberikan dukungan optimal bagi pencegahan pencemaran (limbah domestik dan sampah); (5) pengembangan instrumen penaatan baik secara ekonomi dengan menerapkan berbagai prinsip lingkungan, salah satunya prinsip pencemar membayar (polluters pay principle) maupun penegakan hukum; dan (6) penguatan konsistensi untuk tidak mengeluarkan izin pembuangan limbah saat Daya Tampung Beban Pencemar (DTBP) air sungai telah terlampaui.”, lanjut Henri. 

Kualitas Air Menurun  

“Menurut saya, saat ini indeks kualitas air (IKA) dalam keadaan stagnan, dan kami akui bahwa persoalan air memang sangat kompleks sekali. Kualitas dan kuantitas ini saling berkaitan satu sama lainnya. Apalagi saat ini banyak sekali pencemar air dari berbagai aktifitas seperti tambang, tambang emas disungai dan lainnya sehingga saat ini kualitas air cenderung menurun,”terang Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Ir. Medrilzam. 

Masih dalam paparan Medrilzam hasil dari pengamatan yang kita lakukan, secara makro mutu kualitas air sudah mencapai ambang baku mutu yang telah di tetapkan. Dan ini yang harus kita lakukan pemulihan secara besar-besaran. Dan kita telah banyak sekali melakukan upaya-upaya pemulihan salah satunya dengan meneluarkan pemulihan di 15 yang menjadi prioritas saat ini. Namun hingga saat ini upaya pemulihan belum dapat menunjukan hal yang menggembirakan. Karena banyak sekali kendala yang terjadi dilapangan. Mulai dari sulitnya koordinasi dari sisi kelembagaannya sendiri, selain itu, didalam permasalahan air inipun kita harus bisa melihat sejumlah sisi lainnya mulai dari permasalahan ekonominya, dan dalam aspek social. Sisi-sisi lain ini juga yang harus kita lihat dalam sisi pengelolaan pemulihannya. 

Data KHLS dalam RPJMN 2020-2024 mengungkapkan ketersediaan air pada skala pulau, pada wilayah tertentu di tahun 2000, tingkat ketersediaan air mulai menunjukkan tingkat kelangkaan, khususnya Jawa. Sampai tahun 2045, tingkat ketersediaan air di wilayah Jawa, Sumatera bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi bagian selatan, sudah pada tingkat langka/kritis. 

Selain itu adanya perubahan iklim juga akan mempengaruhi ketersediaan air di Jawa dan balinusra jika terjadi musim kering dia akan menjadi kering sekali dan pada saat dia basah akan tetap basah. Perkiraan dari Klimatologis, BMKG dan para pakar cuaca ekstrim ini akan sering terjadi hingga beberapa tahun ke depan. Hal ini akan mempengaruhi perubahan temperatur, tinggi permukaan air laut, dan mengakibatkan curah hujan akan berubah total. Jika ini sudah terjadi, otomatis ketersediaan air kita juga pasti akan terganggu. Jika kondisinya terus seperti ini pada tahun 2045 sumber air di beberapa pulau akan mengalami kritis. (Dona)