PermenLH No. 7 Tahun 2014 memberikan formula perhitungan biaya pemulihan dan kerugian ekosistem untuk beberapa komponen lingkungan hidup. Namun, formula-formula perhitungan yang diberikan hanya terkait komponen lingkungan hidup terrestrial.

Ikan dan sampah plastik. Foto: Google

Peristiwa pencemaran laut kerap terjadi di Indonesia akibat tumpahan minyak, tabrakan kapal dengan terumbu karang, pembuangan air limbah yang mencemari laut, dan masih banyak lagi. Peristiwa tersebut antara lain:  kasus montara yang sudah berlangsung selama 10 tahun, tumpahan minyak di Balikpapan yang terjadi tahun 2018, dan tabrakan Kapal MV Caledonia Sky dengan terumbu karang di Raja Ampat. Pencemaran-pencemaran tersebut tentu terdapat  kerugian pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem pesisir dan laut dan menjadi hal yang penting untuk menghitung kerugian pencemaraan tersebut. Peraturan yang mengatur terkait perhitungan kerugian lingkungan hidup adalah PermenLH No. 7 Tahun 2014.[1] Sayangnya, PermenLH No. 7 Tahun 2014 terlalu bias darat.

PermenLH No. 7 Tahun 2014 memberikan formula perhitungan biaya pemulihan dan kerugian ekosistem untuk beberapa komponen lingkungan hidup. Namun, formula-formula perhitungan yang diberikan hanya terkait komponen lingkungan hidup terrestrial (contoh: biaya revegetasi, biaya pembangunan reservoir, biaya pendaur ulang unsur hara, biaya pengendalian erosi dan limpasan). Akibatnya, perhitungan kerugian untuk pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem pesisir dan laut tetap menggunakan formula perhitungan untuk ekosistem terrestrial tersebut sehingga gagal mencakup kerugian akibat keistimewaan karakteristik ekosistem pesisir dan laut yang tercemar dan/atau rusak.

Ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir sebenarnya ada banyak, yaitu ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, atau lainnya seperti pantai landau berpasir, pantai berbatu, atau estuari. Namun, ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang adalah ekosistem khas yang mempunyai peran ekologis cukup besar pada kondisi pesisir secara umum.[2] Kondisi atau tingkat kualitas masing-masing ekosistem ini berperan dalam menggambarkan status atau kondisi perairan pesisir secara keseluruhan.[3] Maka perhitungan kerugian kerusakan ekosistem pesisir dapat ditinjau dari kerusakan ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang sebagai representasi dari ekosistem pesisir. Misalkan, kerugian karena hilangnya fungsi mangrove sebagai penahan abrasi, kerugian karena hilangnya fungsi terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan perlindungan, atau kerugian karena hilangnya fungsi padang lamun sebagai pelindung garis pantai. Sedangkan formula perhitungan yang disediakan oleh PermenLH No. 7 Tahun 2014 seperti biaya revegetasi, biaya pembangunan reservoir, biaya pendaur ulang unsur hara tentu saja tidak dapat dipersamakan dengan kerugian karena hilangnya fungsi penahan abrasi, tempat pemijahan dan perlindungan, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila perhitungan kerugian pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem pesisir dan laut menggunakan formula-formula yang disediakan PermenLH No. 7 Tahun 2014.

Selain representasi ekosistem, perhitungan kerugian juga dapat dilakukan terhadap representasi spesies-spesies yang hidup di laut. Spesies-spesies yang biasanya diperhitungkan adalah burung, mamalia laut, reptil laut, dan ikan. PermenLH No. 7 Tahun 2014 juga menyediakan formula perhitungan untuk biaya pemulihan biodiversity. Tetapi setiap spesies memiliki fungsi dan siklus reproduksi yang berbeda-beda sehingga perhitungan kerugian seluruh spesies tidak dapat disimplifikasi menjadi satu formula saja.

Untuk itu, yang seharusnya dilakukan adalah menyusun rencana pemulihan terlebih dahulu. Rencana pemulihan dapat disusun oleh pelaku pencemar kemudian mendapat persetujuan dari Pemerintah atau disusun Bersama-sama oleh pelaku pencemar dan Pemerintah. Rencana pemulihan dapat berisi identifikasi komponen lingkungan hidup yang rusak dan/atau tercemar, lokasi pemulihan, jangka waktu pemulihan, biaya pemulihan, standard untuk suatu ekosistem dikatakan pulih, dan mekanisme pengawasan. Rencana pemulihan dibutuhkan karena setiap ekosistem menyediakan jasa ekosistem dengan kualitas dan nilai yang berbeda-beda sehingga membutuhkan upaya pemulihan yang berbeda-beda pula.[4]  Perbedaan jasa tidak hanya antara ekosistem terrestrial dengan ekosistem pesisir, tetapi juga antara ekosistem pesisir yang terletak di wilayah yang berbeda.

Kasus kerusakan dan/atau pencemaran ekosistem pesisir yang baru selesai diusut bulan April lalu adalah Kapal MV Lyric Poet dan Kapal MT Alex yang menabrak terumbu karang. Keduanya diminta membayar ganti rugi sejumlah lebih dari USD$ 2,5 juta kepada negara melalui KLHK. Nilai ganti rugi ini terdiri dari nilai jasa ekosistem, biaya pemulihan, dan biaya verifikasi. Karena USD$ 2,5 juta mencakup biaya pemulihan, maka upaya pemulihan sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah. Belum ada informasi lain yang dikeluarkan KLHK terkait mekanisme perhitungan USD$ 2,5 juta tersebut dan apakah didasari atau rencana pemulihan atau tidak. Untuk perhitungan kerugian kerusakan terumbu karang yang komprehensif, USD$ 2,5 juta sebaiknya mencakup seluruh fungsi terumbu karang di Bangka Belitung yang rusak dan didasari oleh rencana pemulihan yang mencakup identifikasi komponen lingkungan hidup yang rusak dan/atau tercemar, lokasi pemulihan, jangka waktu pemulihan, biaya pemulihan, standar untuk suatu ekosistem dikatakan pulih, dan mekanisme pengawasan. Penentuan standar untuk suatu ekosistem dikatakan pulih sangatlah penting untuk mencegah upaya pemulihan sekadar formalitas saja. Upaya pemulihan hanya selesai setelah standar tersebut terpenuhi. Selain melakukan upaya pemulihan, Pemerintah juga bertanggung jawab melakukan pengawasan pasca pemulihan untuk memastikan terumbu karang dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya dan mencegah terjadinya kerusakan lagi. (Ohiongyi dan Vania)

———————-

[1] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

[2]Hariyadi, Sigid dan Hefni Effendi, Penentuan Status Kualitas Perairan Pesisir, (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2016), hlm. 9.

[3]Ibid.

[4]Lampiran II Bab III hlm. 15 PermenLH No. 7 Tahun 2014.