Tingginya pola konsumtif masyarakat membuat permasalahan sampah di berbagai daerah menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah untuk menyelesaikannya, ditambah lagi pada medio tahun 2018 Indonesia menjadi urutan kedua sebagai penyumbang sampah plastik yang terbesar di lautan. Sangat disayangkan sekali, tingginya tingkat konsumsi akan beberapa produk rumah tangga yang tak terlepas dari pemakaian plastik telah menjadi momok yang menakutkan bagi lingkungan khususnya di Indonesia.

Berbagai regulasi dan usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tidak serta merta dapat mengurangi sampah secara signifikan dari tahun ke tahun. Nyatanya volume sampah tetap melonjak tajam, dikutip dari unenvironment.org dalam artikelnya yang berjudul Interactive Beat Plastic Pollution[1] pada setiap harinya Indonesia menyumbang sebanyak 10, 660, 505 kg sampah plastik.

Sedangkan sampah yang tercampur dengan bahan lainnya, sebanyak 175.000 ton per hari[2]. “Banyaknya sampah plastik, disebabkan efek dari adanya keterlambatan dari pembahasan pengurangan sampah. Sehingga menyebabkan Indonesia menjadi urutan kedua dalam penyumbang sampah plastik di lautan. Selain itu regulasi yang telah ada juga tidak fokus dalam pengurangan sampah, sebab hanya fokus mengatur bagimana sampah itu dikelola semaksimal mungkin tanpa adanya pengaturan baru dalam menyetop produk-produk yang menghasilkan sampah plastik,” ujar Peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup ICEL Fajri Fadillah, saat di temui di Jakarta. Senin (19/02/2019).

Lanjut Fajri, UU No 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan sampah, seharusnya penyelenggara pengelolaan sampah dititikberatkan dalam pengurangan sampah, yakni mencegah sebuah produk menjadi sampah secara semaksimal mungkin. Jika sudah dilakukan semaksimal mungkin namun tetap masih ada sampah, baru kemudian ditangani dengan penanganan sampah. “Jika dilihat dari penyusunan peraturannya, UU No 18 Tahun 2018 merupakan acuan peraturan utamanya. Didalam UU tersebut banyak sekali delegasi peraturan pelaksanaan yang harus dibuat kembali agar peraturannya lebih jelas lagi.

“Peraturan yang ada saat ini hanya bersifat aturan yang umum atau abstrak, banyak sekali dalam tatarannya, undang-undang terkait sampah itu masih bersifat umum. Sedangkan untuk peraturan yang lebih jelas atau konkret atau spesifik itu belum ada. Namun tahapan peraturan dibuat memang bertahap, dan biasanya mereka memberikan jeda rentang waktu selama setahun atau dua tahun untuk pemerintah membuat peraturan pelaksanaannya. Sejarahnya UU terkait persampahan tersebut, setelah adanya RUU tahun 2008 perkembangannya adalagi yakni peraturan pemerintah tahun 2012. Dan itu sebenarnya lebih spesifik lagi dalam PP no. 8 tahun 2012 dan turunan dari PP itu mendelegasikan lagi peraturan yang lebih detail dari Peraturan Pemerintah ke Peraturan Menteri. Untuk Peraturan Menteri sendiri saat ini masih belum ada,” ujarnya kembali.

Namun seharusnya ada peraturan yang lebih spesifik menyasar pihak produsen untuk segera menghentikan produksi produk-produk yang menimbulkan sampahplastik. Kondisi pengaturan terkini tidak membatasi produksi produk-produk plastik sekali pakai.  Perintah untuk mengatur pengurangan sampah oleh produsen ini sudah ada sejak tahun 2012 namun peraturan tersebut belum ada sampai sekarang.

Pemerintah melalui Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang merencanakan pembuatan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pengurangan sampah. Kabarnya, peraturan tersebut akan mengatur pengurangan sampah oleh produsen dengan pendekatan peta jalan persepuluhtahunan. Rencana ini masuk sebagai upaya  pengurangan sampah oleh produsen dalam Kebijakan dan Strategi Nasinal Pengelolaan Sampah sampai dengan 2025.

Dikutip dari Bisnis.com Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan road map dan Permen tersebut akan melibatkan dan mengikat para pelaku usaha untuk bersama dengan pemerintah menjaga keberlangsungan lingkungan.“Jadi nanti ada Peraturan Menteri tentang waste induction yang membuat road map pembatasan sampah plastik. Mereka diminta untuk mengikuti road map yang mengharuskan pelaku usaha mendesain ulang kemasan secara bertahap. Permen dan road map harus diikuti karena berkaitan dengan EPR (extended producer responsibility),” ujar Vivien.

60% sampah Indonesia Organik, Namun Sulit Diolah

“Sebenarnya sampah yang dihasilkan oleh Indonesia itu sendiri merupakan sampah organik yang dapat dikelola dengan baik, sayangnya pemilahan sampah dan pengolahan sampah belum berjalan maksimal pada tingkat rumah tangga. Ditambah lagi, pada tahapan pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan TPST atau TPAterdapat resiko sampah-sampah tersebut tercecer yang akhirnya bermuara di lautan,” ujar Fajri Fadillah.

Lanjut Fajri, hal yang paling mengembirakan adalah ketika beberapa kota-kota di Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik, salah satu komitmen yang telah dilakukan adalah dengan menerbitkan aturan tentang pengurangan penggunaan kantong plastik. Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dituangkan yakni: 1. Peraturan Walikota Padang No. 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Belanja Plastik. 2. Peraturan Walikota Balikpapan No. 8 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. 3. Peraturan Walikota Bogor No. 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. 4. Peraturan Walikota Denpasar No. 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. 5. Peraturan Gubernur Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. 6. Instruksi Walikota Jayapura No.1 Tahun 2019 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. 7. Peraturan Walikota Banjarmasin nomor 18 tahun 2016 tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik bagi Ritel dan Toko Modern.

Dikutip dari unenvironment.org dalam artikelnya yang berjudul Interactive Beat Plastic Pollution para peneliti memperkirakan bahwa lebih dari 8,3 miliar ton plastik telah diproduksi sejak awal 1950-an. Sekitar 60% dari plastik itu berakhir di tempat pembuangan sampah atau lingkungan alami. Peneliti menyatakan bahwa sejak 1950, produksi plastik tumbuh lebih cepat daripada bahan lainnya, dan mereka melihat pergeseran dari produksi plastik menjadi lebih tahan lama, dan penggunaan plastik menjadi trand sekali pakai.

Lebih dari 99% plastik diproduksi dari bahan kimia yang berasal dari minyak, gas alam, dan batubara – semuanya kotor, dan berasal dari sumber daya tak terbarukan. Jika tren saat ini terus berlanjut, pada tahun 2050 industri plastik dapat mencapai 20% dari total konsumsi minyak dunia. Di berbagai negara, konsumsi plastik, merupakan candu yang tak bisa terelakan. Sebab plastik menjadi kebutuhan hidup yang mulai tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari yang memiliki konsekuensi yang tinggi. (Dona)


[1] https://www.unenvironment.org/interactive/beat-plastic-pollution/

[2] https://mojok.co/apk/ulasan/pojokan/sampah-plastik-di-indonesia/