Senin, 20 Mei 2019, peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Margaretha Quina, diundang pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai ahli independen untuk memberikan masukan bagi 4 (empat) rancangan peraturan yang sedang disusun oleh Pemprov DKI Jakarta, yaitu:

  1. Rancangan Perubahan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah (revisi Perda DKI 3/2013);
  2. Rancangan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Lembaga Pengelolaan Sampah (Rapergub LPS);
  3. Rancangan Perturan Gubernur tentang Sarana dan Prasarana Pengelolaan Sampah (Rapergub Sarpras);
  4. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Biaya Pengelolaan Sampah (Rapergub Tipping Fee).

Revisi Perda DKI 3/2013. ICEL memiliki beberapa catatan terkait dengan perancangan peraturan ini. Secara umum, revisi Perda DKI 3/2013 hanya berisi ketentuan-ketentuan untuk mengakomodir pembangunan beberapa intermediate treatment facility (ITF) di DKI Jakarta. Tidak tampak ada kaitan antara revisi yang dilakukan dengan niatan perbaikan sistem pengelolaan sampah secara utuh dari hulu ke hilir. Beberapa dinamika terkini, seperti dorongan yang semakin kuat untuk pengurangan sampah, juga tidak direspon. Sekalipun DKI Jakarta menyatakan bahwa revisi Perda yang lebih menyeluruh akan dilakukan, kami berpendapat bahwa revisi Perda akan lebih efisien dan bermanfaat apabila dilakukan secara holistik.

Selain itu, terkait dengan perubahan terkait ITF sendiri, ICEL menganggap terdapat beberapa resiko hukum dalam rancangan terkini. Rancangan tersebut memperkenalkan terminologi baru, “fasilitas pengolahan sampah antara,” yang tidak dikenal dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah maupun peraturan turunannya (i.e. PP No. 81 Tahun 2012). Akibatnya, FPSA menduduki tempat yang janggal dalam hubungannya dengan sistematika pengelolaan persampahan serta peraturan turunan lain. Contohnya, ketika seluruh norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) penyelenggaraan sarana dan prasarana diatur dalam Permen PUPR No. 3 Tahun 2013, FPSA tidak termasuk sarpras yang diatur di dalamnya.

Resiko hukum yang lain adalah ketidakjelasan terminologi “teknologi pengelolaan sampah yang tepat guna, teruji dan ramah lingkungan” yang digunakan dalam mendefinisikan FPSA. Mengingat tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai apa tepatnya teknologi tersebut, bagaimana teknologi tersebut ditentukan, serta verifikasi untuk membuktikan pemenuhan kualifikasi teknologi tersebut, terminologi ini rawan membuka ruang ketidakpastian hukum. Untuk meminimalisir kemungkinan sengketa, perlu penjabaran lebih lanjut beserta penentuan mekanisme penentuan beserta indikator terbuktinya pemenuhan “teknologi pengelolaan sampah yang tepat guna, teruji dan ramah lingkungan.”

Rapergub LPS. Pelembagaan pengelolaan sampah merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan pengurangan maupun penanganan sampah. Sekalipun secara umum ICEL mendukung upaya pengaturan kelembagaan ini, namun terdapat beberapa hal yang menurut kami perlu dipikirkan kembali secara kritis. Pertama, mengingat LPS merupakan delegasi dari Perda DKI 3/2013, perlu pemetaan posisi LPS terhadap norma-norma yang ada dalam perda tersebut.

Dalam rancangan terkini, tidak jelas apakah LPS adalah perpanjangan tangan pemerintah, dan dengan demikian berhubungan dengan pemenuhan tugas dan kewenangan pemerintah; atau merupakan fasilitator sipil (orang perorangan dan/atau badan hukum lainnya) dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Hal ini tampak jelas dari LPS kawasan, yang malah menambah aktor baru di antara dua subjek hukum yang telah memiliki hubungan jelas, yaitu regulator (i.e. sebagai pemberi izin dan pengawas) dan pengelola kawasan (sebagai pengemban hak dan kewajiban).

Kedua, perancangan LPS belum menunjukkan hubungan erat dengan keadaan persampahan DKI, yang desainnya seharusnya dibuat berdasarkan target yang diturunkan dari kebijakan dan strategi pengelolaan sampah DKI serta rencana induk pengelolaan sampahnya. Ketiga, terkait dengan poin pertama, perlu memikirkan kembali implikasinya terhadap penghimpunan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana LPS terhadap subjek hukum yang ia fasilitasi.

Keempat, sebagaimana diangkat juga oleh beberapa narasumber lain, adalah orientasi LPS yang masih cenderung ke penanganan (i.e. pemilahan dan pengumpulan sampah), dan belum jelas desain perannya dalam pengurangan. Terakhir, kurangnya desain regulasi untuk membekali pengetahuan dan menstimulasi inovasi dalam LPS agar dapat merespon dinamika persampahan di wilayahnya, yang kerap kali membutuhkan kreativitas komunal. Hal terakhir ini, yang sesungguhnya merupakan sarana prasarana non-fisik (intelektual, sosial), justru merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan pemilahan dan pengangkutan sampah.

Rapergub Sarpras. Pergub Sarpras yang dirancang DKI sesungguhnya berangkat dari Permen PUPR No. 3 Tahun 2013. Catatan kami yang utama adalah kesederhanaan pergub ini dibandingkan Permen PUPR yang mendasarinya, sementara tidak ada referensi yang merujuk ketentuan yang sesungguhnya telah diatur detail dalam lampiran Permen PUPR No. 3 Tahun 2013.

Permasalahan terkait dengan FPSA juga patut dikaji kembali, mengingat pengaturan mengenai FPSA hal yang tidak diatur dalam PermenPUPR No. 3 Tahun 2013 secara spesifik dalam batang tubuh. Rapergub sarpras juga perlu menyeimbangkan antara membuka ruang bagi inovasi yang belum ia atur, dengan menutup ruang kesewenang-wenangan karena multiinterpretasi. Salah satu kesewenangan yang perlu diantisipasi adalah penentuan makna terminologi ‘teknologi ramah lingkungan,’ yang setidaknya perlu diperjelas apa indikator proses dan indikator hasil dalam penentuan bahwa sebuah teknologi memenuhi kualifikasi ‘ramah lingkungan.’

Rapergub Tipping Fee. Kami belum memberikan komentar terhadap rapergub tipping fee.

Terkait dengan akses terhadap rancangan peraturan, mengingat kami belum mendapatkan otorisasi untuk membuat publik dokumen-dokumen yang diberikan kepada kami, maka silakan hubungi Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sesuai dengan informasi kontak yang bersangkutan. ( Quina)