Pada 21 Maret 2019, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengadakan konferensi pers yang berjudul “Situasi Ekspor dan Impor Sampah Plastik di Indonesia: Implikasi dari Kebijakan National Sword China” yang bertempat di The Hook, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Konferensi pers ini didukung oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang Lingkungan Hidup yakni BaliFokus/Nexus3 Foundation, Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Adapun tujuan pelaksanaan konferensi pers ini adalah untuk memaparkan situasi, permasalahan, dan rekomendasi terkait praktik impor sampah plastik yang bermasalah.
Banjir Plastik Brantas
Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif ECOTON, menyampaikan paparan yang ia beri judul “Banjir Plastik Brantas”. Disampaikan olehnya, di dekat Sungai Brantas ada banyak pabrik tebu dan industri kertas. Adapun banjir sampah plastik yang ia maksud pada dasarnya berasal dari industri-industri yang ada di dekat sungai tersebut. Prigi juga menyampaikan daftar negara asal sampah plastik dengan Amerika Serikat, Kanada dan Inggris menempati urutan pertama hingga ketiga secara berurutan. Sampah plastik yang diimpor oleh Indonesia ini tidak semuanya bisa digunakan oleh industri-industri yang ada di sini, sehingga ujung-ujungnya sisa sampah impor yang tidak bisa digunakan akan dibakar. Termasuk dalam kategori ini yakni serpihan plastik bercampur kertas (tidak bisa didaur ulang) sehingga digunakan untuk bakar tahu atau bahan bakar lainnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh ECOTON, dengan mengambil sampel di 6 lokasi di Sungai Brantas, ditemukan bahwa sampel penelitian menunjukkan adanya mikroplastik di Sungai Brantas yakni sekitar 293-2499 partikel/liter. Parahnya, 92% persediaan air minum di Surabaya berasal dari Sungai Brantas. Prigi menyimpulkan, semakin banyak mikroplastik yang terlepas ke dalam sungai, semakin banyak mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Sampah Daur Ulang yang Tidak Didaur Ulang
“Tahun depan Cina menambah daftar produk plastik yang diperketat. Malaysia dan Thailand juga menargetkan menutup pintu impor sampah plastik. Indonesia berpotensi menjadi tempat penadah skrap dari negara-negara lain.” sebagaimana disampaikan oleh M. Adi Septiono, Toxics Program Officer dari BaliFokus/Nexus3 Foundation. Sejalan dengan itu, disampaikan juga oleh Yuyun Ismawati Drwiega, Co-Founder dan Senior Advisor BaliFokus/Nexus3 Foundation, bahwa sejauh ini Cina sudah tutup pintu untuk 24 (dua puluh empat) jenis plastik. Tahun depan, angka ini akan naik menjadi 32 (tiga puluh dua) jenis plastik. Ini artinya, Indonesia bisa jadi menempati urutan nomor satu sebagai pencemar laut dan sungai karena Cina sudah menerapkan kebijakan tutup pintu sedangkan Indonesia terus saja menerima sampah plastik dari negara lain.
Yuyun sampaikan, di Inggris sendiri, sampah plastik yang dihasilkan oleh warga Inggris hanya sebagian kecil yang didaur ulang sedangkan sisanya (sebagian besar) diekspor ke negara lain. Di tahun 2017, sampah plastik diekspor paling banyak ke Cina, sedangkan di tahun 2018, karena Cina mulai menerapkan kebijakan National Sword mulai Maret 2018 lalu, maka sampah plastik diekspor paling banyak ke Malaysia (Indonesia menempati posisi kedua). Sebentar lagi, Malaysia juga akan mulai menerapkan kebijakan tutup pintu, sehingga bisa dibayangkan jika Indonesia kemudian menjadi negara yang menerima sampah plastik paling banyak dari Inggris. Belum lama ini Yuyun bertemu dengan salah satu anggota Parlemen Inggris untuk membicarakan hal ini.
Yang Diperbolehkan adalah Impor Limbah Bukan Sampah
“Yang diperbolehkan untuk diimpor menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/5/2016 (PERMENDAG 31/2016) adalah limbah, bukan sampah.” kata Fajri Fadhillah, Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Dalam hal ini Menteri Perdagangan (Mendag) memperbolehkan untuk mengimpor limbah plastik dalam bentuk sisa, skrap dan reja. Adapun Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) dapat memberikan rekomendasi untuk impor limbah. Sehingga, untuk pengajuan impor baru dari industri, MenLH harus hati-hati dalam memberikan rekomendasi.
Oleh karena yang diperbolehkan untuk diimpor adalah limbah, bukan sampah, maka impor sampah plastik yang pada kenyataannya terjadi sesuai laporan ECOTON melanggar ketentuan hukum. Fajri menyatakan, “Impor sampah plastik yang terjadi di Gresik Jawa Timur merupakan kegiatan yang dilarang dan diancam pidana menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf b jo. Pasal 37 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Penyidik harus mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut. Selain itu Menteri Perdagangan harus mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang mereka impor. Lebih lanjut lagi, permohonan persetujuan impor harus ditinjau ulang oleh Mendag dengan mengkonsultasikannya dengan Ditjen PSLB3 KLHK.”
Plastik Bukan Masalah, Suatu Ironi
David Sutasurya, Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), berkesempatan untuk hadir dalam United Nations Environment Assembly 4 (UNEA4) yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya tanggal 11-15 Maret 2019. David adalah bagian dari delegasi Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA). Menurut Amerika Serikat (AS) dalam forum tersebut, plastik (termasuk plastik sekali pakai atau single use plastic) bukan masalah. AS menyampaikan bahwa yang penting adalah plastik itu dikelola, tidak perlu dieliminasi. Perlu diketahui bahwa AS didominasi oleh banyak industri plastik. Terkait pernyataan AS tersebut, David menyampaikan, “Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat Amerika sebetulnya secara akumulatif selama 1988-2016 merupakan negara kedua terbanyak yang mengekspor sampah dan reja plastik secara global.”
Dalam forum tersebut, AS juga tidak mau ada perjanjian yang mengikat. Ini meliputi: a) AS tidak mau ada arahan yang jelas dan dijalankan semua negara (sesuai kebutuhan dan kemauan masing-masing saja); b) AS hanya menginginkan platform untuk berbagi informasi; c) AS tidak mau ada komitmen finansial (sesuai kebutuhan dan kemauan masing-masing saja); dan d) AS tidak mau ada batasan waktu. (Erou)
—
Info selengkapnya klik di sini.