Penetapan kawasan konservasi menjadi salah satu perhatian utama Pemerintah Indonesia saat ini. Sampai dengan tahun 2018, Pemerintah sudah menetapkan 20,87 juta ha kawasan konservasi atau sekitar 6,42% dari luas perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menetapkan 10% luas perairan Indonesia atau sekitar 32,5 juta ha sebagai kawasan konservasi. Sayangnya, penetapan kawasan konservasi yang sudah ada terancam oleh kebijakan pemerintah sendiri.

Namun terdapat kebijakan pemerintah yang justru mengakibatkan kawasan konservasi tidak dapat mencapai tujuannya secara maksimal. Adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27 Tahun 2007), kawasan konservasi terdiri dari tiga zona dan zona yang terpenting disebut zona inti. Zona inti adalah zona yang ditetapkan khusus untuk perlindungan habitat dan populasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Kegiatan yang diperbolehkan pada zona inti terbatas hanya untuk penelitian saja. Akan tetapi, pasal 30 UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur bahwa status zona inti dapat dilakukan perubahan untuk kegiatan eksploitasi, lebih lanjut bahwa perubahan status zona inti hanya dapat dilakukan untuk menjadi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT).

Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah kawasan yang ditetapkan untuk kepentingan geopolitik, pertahanan dan keamanan, kawasan rawan bencana besar, perubahan status zona inti pada kawasan konservasi laut nasional, pulau-pulau kecil terluar, dan kawasan habitat biota endemik. Dari penjelasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu alasan perubahan status zona inti adalah untuk kegiatan eksploitasi dimana dampak positif yang dihasilkannya bagi negara mengalahkan dampak negatif yang berpotensi timbul bagi lingkungan, misalkan karena adanya ancaman bagi pertahanan dan keamanan, ancaman bencana, atau kepentingan negara lainnya.

Namun pasal 30 UU No. 27 Tahun 2007 ini kemudian diubah dalam UU No. 1 Tahun 2014 yang mengatur bahwa status zona inti pada kawasan konservasi dapat diubah peruntukan dan fungsinya untuk eksploitasi tanpa membatasi perubahan hanya untuk Kawasan Strategis Nasional Tertentu.

Kemudian, awal tahun 2018 dikeluarkan lagi Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi (Permen KKP No. 3 Tahun 2018). Permen ini memperjelas bahwa eksploitasi yang dimaksud di sini adalah proyek strategis nasional (PSN). PSN adalah proyek yang dilaksanakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, tetapi proyek-proyek ini juga berpotensi merusak lingkungan. Daftar PSN dapat dilihat di Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, beberapa contohnya adalah pembangkit listrik, kilang minyak, jalan tol, dan bandar udara.

Permen KKP No. 3 Tahun 2018 juga memberikan beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan sebelum melakukan perubahan zona inti yaitu melakukan kajian oleh tim penelitian terpadu, melakukan konsultasi publik, dan meminta persetujuan DPR untuk perubahan zona inti yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis. Sayangnya, mekanisme perubahan yang ditetapkan ini sangatlah longgar. Tidak ada standard penilaian yang terukur dan didasarkan pada data ilmiah yang kuat untuk memutuskan apakah perubahan zona inti layak untuk dilakukan atau tidak. Tidak ada persyaratan untuk melakukan kajian dan konsultasi publik yang layak. Bahkan Permen KKP No. 3 Tahun 2018 tidak membuka ruang untuk hasil kajian menyatakan perubahan zona inti tidak dapat dilakukan karena berpotensi akan merusak lingkungan. Hasil kajian yang diatur dalam Permen KKP No. 3 Tahun 2018 hanya terbatas pada dua yaitu perubahan zona inti yang akan mengubah dan tidak mengubah alokasi ruang dalam rencana tata ruang.

Pasal 30 UU No. 1 Tahun 2014 dan Permen KKP No. 3 Tahun 2018 menimbulkan permasalahan hukum sekaligus permasalahan lingkungan. Kedua peraturan ini bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No 1. Tahun 2014 sendiri serta peraturan-peraturan terkait kawasan konsevasi lainnya yang mengatur bahwa zona inti ditetapkan untuk perlindungan habitat dan hanya terbatas untuk kegiatan penelitian.

Dari segi lingkungan, diperbolehkannya pelaksanaan kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan di dalam zona inti akan mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem laut tersebut. Kawasan konservasi juga membantu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kawasan konservasi dapat meningkatkan tingkat ketahanan ekosistem pesisir dan laut terhadap perubahan iklim seperti mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Hal ini dilakukan dengan memelihara dan meningkatkan kemampuan ekosistem tersebut untuk menyerap karbon dan mengurangi tekanan-tekanan lain yang mengancam ekosistem seperti overfishing, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan sebagainya.

Tanpa zona inti, tidak ada kawasan konservasi. Tanpa kawasan konservasi, ekosistem-ekosistem pesisir dan laut terancam rusak dan semakin rentan terhadap perubahan iklim. Terlebih lagi, pelaksanaan kegiatan PSN yang berpotensi merusak lingkungan akan berkontribusi memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan laut tersebut. Perubahan atau pencabutan kebijakan ini menjadi hal yang prioritas untuk menjaga Kawasan konservasi perairan dan laut.(Ohiongyi)