Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) diperingati setiap 6 Maret. Apakah CITES itu? CITES merupakan konvensi internasional yakni, suatu perjanjian yang disepakati negara-negara. Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menyepakati CITES.[1] CITES disahkan pada 3 Maret 1973 dan telah diubah pada 22 Juni 1979 dan 30 April 1983.[2] CITES bertujuan melindungi flora dan fauna liar dari perdagangan internasional agar keberadaan mereka terjamin hingga di masa mendatang.[3]
CITES memiliki tiga lampiran (appendix) dengan Lampiran I berisi daftar flora dan fauna liar telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional-nya perlu terkontrol ketat dan hanya boleh diperdagangkan untuk kepentingan tertentu disertai dengan izin khusus.[4] Kemudian Lampiran II, berisi daftar flora dan fauna liar yang saat ini belum terancam punah namun, jika perdagangan internasional-nya tidak dikendalikan menjadi terancam punah.[5] Sedangkan Lampiran III berisi daftar flora dan fauna liar yang perdagangan-nya dikendalikan oleh negara tertentu dan negara tersebut dalam hal ini memerlukan bantuan pengendalian skala internasional.[6]
Terhadap ketiga Lampiran CITES dan CITES itu sendiri, Indonesia terikat secara hukum. Oleh karenanya, flora dan fauna liar Indonesia yang tercantum dalam lampiran CITES tersebut terlindungi dalam praktik perdagangan internasional. Salah satu fauna yang tercantum dalam Lampiran I CITES adalah Orang utan (Pongo abelii). Artinya, Orang utan tidak boleh diperdagangkan secara internasional kecuali untuk kepentingan tertentu, seperti untuk kepentingan penelitian. Namun penelitian yang menggunakan satwa dilindungi, harus mendapatkan izin khusus. Pada 19 Desember 2020 lalu, sebelas orang utan dipulangkan ke rumahnya di Sumatera Utara dan Jambi. Sebelas orang utan tersebut sebelumnya diperdagangkan secara ilegal dengan cara diselundupkan ke Malaysia dan Thailand.[7] Berita pemulangan orang utan ini melegakan namun, perlu dipahami bahwa perdangangan ilegal flora fauna liar Indonesia masih marak. Salah satu buktinya adalah modus lembaga penangkaran yang lakukan wildlife laundering yakni, menjual fauna liar dilindungi dengan kedok fauna tersebut adalah hasil penangkaran.[8]
Menangani permasalahan perdagangan ilegal flora dan fauna liar khususnya yang dilindungi, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan lain di samping CITES. Mengenai ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan flora dan fauna liar termasuk ekosistemnya, diatur dalam Pasal 19, Pasal 21, Pasal 33 dan Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990).
Kemudian juga diatur hal yang serupa dalam Pasal 50 dan Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) jo. UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU 18/2013).[9] Selain itu, terdapat peraturan yang mengatur dan menetapkan flora dan fauna yang dilindungi yakni, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (PP 7/1999), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Permen LHK 20/2018) yang telah diubah melalui Permen LHK 92/2018 kemudian melalui Permen LHK 106/2018.
Lebih lanjut, terdapat peraturan sektor lainnya yang juga berfungsi menangani perdagangan ilegal flora dan fauna liar khususnya yang dilindungi yakni:
- Pasal 102 dan Pasal 108 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU 10/1995) yang telah diubah melalui UU 17/2006: Sanksi pidana terhadap pelaku penyelundupan dan penggelapan flora dan fauna liar dalam kegiatan impor dan ekspor.
- Pasal 86-88 UU 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (UU 21/2019): Sanksi pidana terhadap pelaku impor dan ekspor flora dan fauna tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan.
- Pasal 3-5 ayat (1) dan Pasal 6-10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2020): Sanksi pidana bagi pelaku pencucian uang atas perdagangan ilegal flora dan fauna liar.
Flora dan fauna liar seharusnya terlindungi oleh peraturan perundang-undangan yang memadai dan tidak sekadar bergantung pada peraturan di sektor lain, dimana flora dan fauna liar cenderung dianggap sekadar barang. Penguatan dan perbaikan peraturan di bidang perlindungan flora dan fauna liar khususnya dari perdagangan ilegal perlu dilakukan mengingat pentingnya peran mereka terhadap keseimbangan alam dan besarnya ancaman terhadap mereka dari tindak perdagangan ilegal.
Pemerintah Indonesia perlu memperbaiki UU 5/1990 dalam hal pengategorian flora dan fauna liar dengan contoh pengategorian seperti dalam Lampiran CITES atau IUCN[10] supaya, status perlindungan flora dan fauna liar Indonesia semakin jelas dan informatif. Dengan demikian, perlindungan flora dan fauna liar Indonesia semakin kuat dalam mencegah dan menangani praktik perdagangan ilegal. (Dalila)
—
[1] Indonesia meratifikasi (mengesahkan) CITES melalui Indonesia, Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Mengesahkan “Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora” yang telah Ditandatangani di Washington pada Tangga; 3 Maret 1973 sebagaimana Terlampir pada Keputusan Presiden Ini, Kepres 43/1978, LN Tahun 1978 No. 51. Kemudian perubahan CITES disahkan melalui Indonesia, Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1987 tentang Pengesahan Amandemen 1979 atas Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora 1973, Kepres 1/1987, LN Tahun 1987 No. 5 kemudian melalui Indonesia,
[2] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora, CITES, https://cites.org/sites/default/files/eng/disc/CITES-Convention-EN.pdf, diakses 03 Maret 2021.
[3] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op.Cit., CITES, Pembukaan (Preambule).
[4] Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61/PERMEN-KP/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Jenis Ikan yang Tercantum dalam Appendiks Convention On International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, Permen KP 61/2018, BN Tahun 2018 No. 61, Pasal 1 angka 3.
[5] Indonesia, Ibid, Permen KP 61/2018, Pasal 1 angka 4.
[6] Ibid, Pasal 1 angka 5.
[7] Baca lebih lanjut mengenai berita ini dalam Nunu Anugrah (Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Sebelas Orangutan Sumatra Hasil Repatriasi Sampai di Sumatera Utara dan Jambi, Siaran Pers, 21 Desember 2020, https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3465, diakses 03 Maret 2021.
[8] Ayat S Karokaro, “Mabes Polri Bredel Kebun Binatang Diduga Ilegal di padang Lawas”, Mongabay,10 September 2019, https://www.mongabay. co.id/2019/09/10/mabes-polri-bredel-kebun-binatang-diduga-ilegal-di-padang-lawas-utara/, diunduh Juni 2020.
[9] Pasal 50 dan Pasal 78 UU 41/1999 jo. UU 18/2013 telah diubah namun bukan perubahan substansia melalui Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU 11/2020, LN Tahun 2020 No. 245, TLN No. 6573, Pasal 36 angka 17 dan Pasal 36 angka 19.
[10] Lihat dalam https://www.iucnredlist.org/species/121097935/123797627, diakses 04 Maret 2021.