Jakarta – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan diskusi kelompok terpumpun dengan mengambil tema “Menilik Aturan Status Perlindungan Jenis Tumbuhan dan Satwa” pada 30 September 2018 di Hotel SwisBel-Residence Kalibata. Diskusi yang diikuti oleh beberapa organisasi masyarakat sipil penggiat konservasi ini dilatarbelakangi oleh tarik ulur perubahan status perlindungan jenis tumbuhan dan satwa, yaitu antara Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MEN.LHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (P.20/2018) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.92/MEN.LHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang Perubahan atas P.20/2018 (P.92/2018).

“Dari kedua aturan tersebut, setidaknya teridentifikasi permasalahan mengenai kepastian hukum terkait kepemilikan dan perdagangan satwa yang menjadi objek tarik ulur status perlindungan,” ungkap Wenni Adzkia (ICEL) saat memaparkan pengantar diskusi.

Dalam proses pembahasan diskusi ini setidaknya ada 3 hal yang menjadi sorotan utama, yaitu kedudukan kriteria status perlindungan, teknik perancangan dan kesesuaian peraturan perundang-undangan, serta implikasi terhadap pemidanaan. Untuk mendalami ketiga isu tersebut, ICEL juga menghadirkan pembicara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, dan akademisi hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

P.92/2018, Produk Hukum Berkualitas Buruk

Dari sudut pandang proses bisnis penetapan status perlindungan, Dr. Hari Sutrisno (LIPI) secara tegas menyatakan, “aturan ini menurut saya harus direvisi kembali. Selaku Otoritas Keilmuan, LIPI tidak pernah memberikan pertimbangan yang merekomendasikan KLHK untuk mengeluarkan 5 (lima) jenis burung dari status perlindungan.”

Masih dalam konteks pembentukan P.92/2018, M. Nur Sholikin (PSHK) melihat sejumlah kecacatan pada P.92/2018 dari sisi asas pembentukan maupun teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Salah satunya dapat terlihat pada bagian konsiderans yang turut menyertakan aspek pertimbangan kehidupan masyarakat, meskipun hal tersebut tidak memiliki landasan pada Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (PP No.7/1999) yang menjadi dasar pembentukannya.

“Hal ini menunjukkan kualitas konsiderans yang kurang bagus, padahal penyusunan konsiderans sangat mendasar dalam teknik perancangan peraturan. Tidak hanya itu, beberapa norma dalam P.92/2018 itu sendiri membingungkan dan bahkan ada yang bertentangan dengan PP No.7/1999,” ujar M. Nur Sholikin.

Tidak Memperhatikan Kepentingan Perlindungan Satwa

Dalam diskusi tersebut, M. Nur Sholikin juga menjelaskan bahwa dengan melihat pertimbangan dan materi pengaturan dalam P.92/2018, keberadaan aturan ini tidak memperhatikan kepentingan satwa liar, melainkan condong pada kepentingan masyarakat tertentu. Hal ini terlihat dari kriteria penetapan satwa yang dilindungi menjadi satwa yang tidak dilindungi dan sebaliknya dalam Pasal 1A ayat (2) yang turut mencirikan kepentingan masyarakat tertentu tersebut, yaitu dengan memperhatikan (a) banyaknya penangkaran, (b) banyaknya pemeliharaan untuk hobi dan dukungan dalam kehidupan masyarakat, serta (c) lomba/kontes.

Padahal sebagaimana juga ditemukan dalam bagian konsiderans, penetapan tambahan kriteria tersebut tidak memiliki dasarnya dalam PP No.7/1999, yang secara spesifik mengatur kriteria status perlindungan jenis tumbuhan dan satwa yang terdiri atas (i) populasi yang kecil, (ii) penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan/atau (iii) daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Sebaliknya, P.92/2018 sama sekali tidak menyinggung ketiga kriteria tersebut dalam batang tubuhnya.

Lebih lanjut, narasumber dari PSHK ini juga menyatakan, “syarat-syarat yang diatur dalam PP No.7/1999 bersifat tertutup, yang artinya tidak memungkinkan adanya tambahan persyaratan dalam aturan di bawahnya. Sementara itu, penambahan kriteria dalam P.92/2018 tidak ada yang dapat dimasukkan kedalam tiga kriteria yang telah diatur dalam PP No.7/1999”.

Undang-Undang yang Lemah, Peraturan Pelaksananya pun Bermasalah; Revisi UU 5/1990 Perlu Disegerakan

Dalam proses diskusi, para narasumber melihat perlu adanya perbaikan dan penguatan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/ 1990). Salah satunya sebagaimana dinyatakan oleh Anugerah Rizki Akbari (akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) yang berpendapat, “perubahan daftar perlindungan dalam Permen/Kepmen yang begitu cepat dan tanpa prosedur yang jelas berpotensi menimbulkan ketidakadilan di lapangan, sehingga seharusnya di kunci di level undang-undang.”

“Selain itu, karena daftar tumbuhan satwa liar berhubungan langsung dengan ketentuan penegakan hukum pidana yang diatur undang-undang, maka minimal prosedurnya juga harus diatur dalam level peraturan yang setara yaitu undang-undang. Maka dari itu UU No.5/1990 yang menjadi payungnya perlu direvisi,” tutur Anugerah Rizki Akbari.

Lebih lanjut, Anugerah Rizki Akbari berpendapat, “belum diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam UU No.5/1990 akan sangat merugikan jika kemudian terdapat korporasi yang melakukan perniagaan secara ilegal dalam skala besar namun hanya dijatuhi pidana sama seperti pelaku pidana perorangan, yaitu denda sebesar maksimal Rp 100 juta.”

Dari hasil diskusi, aspek sosial masyarakat merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan, namun pertimbangan tersebut hendaklah tidak mengenyampingkan aspek perlindungan satwa itu sendiri. (Wenni)

Diskusi Kelompok Terpumpun Menilik Aturan Status Perlindungan Jenis Tumbuhan dan Satwa turut di hadiri oleh akademisi hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, perwakilan LIPI, PSHK, Pokja Konservasi, WALHI, AURIGA, ZSL, WCS Indonesia Program dan WWF Indonesia