“Mencintai tak harus memiliki” syair pujangga cinta lama ini memang benar adanya, dan ini berlaku untuk siapa saja, untuk seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Judul ini terinspirasi dari pernyataan Wiratno Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) yang jatuh setiap tanggal 5 November dalam acara Kehati Expo 2019.
Mengapa sih kita harus memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tiap tahunnya? Peringatan ini ditujukan untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan, pelestarian puspa dan satwa nasional serta untuk menumbuhkan dan mengingatkan akan pentingnya puspa dan satwa dalam kehidupan kita. Ditambah lagi saat ini kondisi satwa liar dan tanaman langka di Indonesia terancam punah.
Peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional dimulai pertama kali pada tahun 1993. Keputusan tersebut dilandasi Kepres Nomor 4 tahun 1993 dan ditandatangani langsung oleh Presiden RI kedua, Soeharto. Melestarikan puspa dan satwa berarti menjaga keanekaragaman hayati. Puspa dan satwa sebagai bagian dari keanekaragaman hayati merupakan modal penting bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta penjaga keseimbangan ekosistem.
Dikutip dari laman berita idntimes.com ada sembilan tumbuhan khas Indonesia yang langka dan terancam punah, dua diantara Sembilan tanaman tersebut adalah Kantong semar (Nepenthes) dan Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum). Sedangkan untuk satwa ada sepuluh satwa yang terancam punah, beberapa diantaranya adalah orang utan, komodo, trasius dan harimau Sumatera.
Peneliti Hutan dan Lahan ICEL Antonius Aditantyo mengatakan bahwa memang terdapat peningkatan ancaman kepunahan pada beberapa spesies endemik Indonesia, misalnya pada orang utan dan rangkong gading. Meningkatnya ancaman kepunahan ini salah satunya disebabkan oleh masih lemahnya penegakan hukum. Sejak tahun 2015 terdapat perkembangan modus kejahatan terhadap satwa, yaitu perdangangan satwa dilindungi secara online seiring dengan meningkatnya permintaan pasar internasional.
“Belum lagi, terdapat kegiatan-kegiatan yang mengancam keberadaan spesies dengan tidak menyasar spesies tersebut, tetapi lebih mempengaruhi kelestarian habitatnya, seperti pembangunan infrastruktur dan pembukaan lahan untuk perkebunan.” ujar Antonius kembali.
Masih dalam penjelasan Antonius, “Ancaman kepunahan terhadap keanekaragaman hayati secara ilmiah dapat dilihat pada IPBES Report, sebuah kajian komprehensif oleh para pembuat kebijakan lintas negara yang memberikan laporan terkait kondisi satwa liar secara global dan regional, termasuk dari sudut perilaku pasar dan perkembangan perekonomian, perubahan iklim, dan juga pola pengelolaan oleh masyarakat adat setempat (atau indigenous people) yang sebenarnya berdampak pada jumlah populasi tumbuhan dan satwa liar.”
“Sedangkan untuk perlindungan hukumnya, saat ini Indonesia masih mengandalkan UU No 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Tetapi sayangnya banyak perkembangan modus kejahatan dan juga kebutuhan perlindungan serta pengelolaan jenis yang belum diatur dalam UU No.5/1990, sehingga payung hukum tersebut sudah tidak memadai lagi untuk digunakan.”
Atas hal tersebut, ICEL yang tergabung dalam Pokja Konservasi sejak tahun 2015 bersama dengan berbagai akademisi dan organisasi masyarakat sipil mengharapkan pembaharuan UU No.5/1990 yang tahun depan sudah memasuki usia 30 tahun, meskipun posisi Pemerintah menyatakan bahwa UU ini masih relevan untuk digunakan. “Dari hasil riset dan berbagai diskusi yang kita lakukan terkait penegakan hukum konservasi dan kebijakan perlindungan satwa liar, terdapat kebutuhan untuk memperbaharui ketentuan UU No.5/1990 dari para penegak hukum konservasi di lapangan.” pungkas Antonius.
Dari sisi kebijakan, berbagai peraturan dan kebijakan terkait konservasi juga dikeluarkan selama kurun waktu tahun 2015-2018 ini, seperti Permen LHK No. P.83/MENLHK.SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (P.83/2016) yang di dalamnya terdapat skema kemitraan konservasi, Permen LHK No. P.2/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2018 tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan atas Pemanfaatannya (P.2/2018), hingga peraturan kontroversial status perlindungan spesies Permen LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 (P.20/2018) dan perubahannya melalui Permen LHK No. P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 (P.92/2018) dan Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 (P.106/2018).
Namun peraturan yang bersifat sektoral ini dinilai belum mampu menyelesaikan beberapa persoalan konservasi yang hanya bisa diselesaikan melalui pengaturan di tingkat undang-undang. Maka pembaharuan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (yang sejak tahun 2018 terhenti pembahasannya) sebagai payung hukum konservasi diharapkan mampu menjawab permasalahan sektoral tersebut dan pembaruan pengaturan penegakan hukum konservasi. (Dona)