22 Mei merupakan tanggal pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) 1992 (CBD 1992).[1] Melalui CBD 1992, negara peserta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia sepakat melakukan konservasi keanekaragaman hayati.[2] Makna konservasi keanekaragaman hayati adalah menjaga keberlanjutan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan bijaksana dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.[3] 

Indonesia dalam melaksanakan kesepakatan CBD 1992 melakukan tindakan konservasi in-situ dan ex situ dengan didasari pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAE) jo. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (PP Pengawetan TSL) jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LHK) No. P.20 Tahun 2018 yang telah diubah melalui Permen LHK P.92 Tahun 2018 dan Permen LHK No. P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Permen LHK TSL Dilindungi) dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.  

Konservasi in-situ artinya pengelolaan TSL dilakukan di dalam habitat aslinya.[4] Misalnya, mengelola Harimau Sumatera dalam habitat aslinya di Taman Nasional Gunung Leuser. Sedangkan konservasi ex-situ artinya, mengelola TSL di luar habitatnya.[5] Misalnya, satwa liar yang dikelola dalam kebun binatang, lembaga konservasi juga penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa.[6] Pengelolaan satwa liar secara ex-situ melalui penangkaran ini yang cukup menarik perhatian. Belum banyak dari kita yang mengetahui bahwa sebenarnya, penangkaran satwa liar seharusnya upaya konservasi ex-situ dan bukan kegiatan hobi semata. 

Penangkaran merupakan bagian dari kegiatan konservasi ex-situ. Namun, apakah kegiatan penangkaran yang marak dilakukan masyarakat Indonesia sudah sepenuhnya tepat? Akhir-akhir ini kegiatan penangkaran satwa liar menjadi tren karena marak di media sosial dan cenderung terlihat sebagai kegiatan hobi semata.[7] Menurut peraturan perundang-undangan penangkaran adalah kegiatan pemanfaatan jenis TSL sekaligus konservasi ex-situ dengan cara mengembangbiakkan (memperbanyak) dan membesarkan TSL dengan tetap menjaga kemurnian jenisnya.[8] Pada dasarnya, kegiatan penangkaran adalah legal sepanjang taat pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (PP Pemanfaatan TSL) jo. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.19 Tahun 2005 yang telah diubah melalui Permenhut No. P.69 Tahun 2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (Permenhut Penangkaran TSL). 

Namun, perlu bagi kita bersikap kritis dalam menanggapi situasi maraknya penangkaran satwa liar di Indonesia agar tetap berpegangan pada makna konservasi keanekaragaman hayati. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai kegiatan penangkaran satwa liar ini, yakni: 

  1. Masyarakat dan terutama Pemerintah beserta Aparat Penegak Hukum (APH) harus lebih jeli lagi dalam mengawasi ketaatan hukum kegiatan penangkaran TSL. Penangkar antara lain, harus memenuhi Standar Kualifikasi Penangkaran dan memegang izin.[9] Perolehan induk untuk penangkaran juga harus dengan izin dan syarat tertentu terutama, jika diperoleh dari habitat aslinya.[10] Kemudian, yang sah diperdagangkan oleh Penangkar, juga haruslah satwa liar generasi kedua atau berikutnya dari hasil penangkaran.[11] 
  2. Pemerintah dan APH harus waspada terhadap modus pemalsuan identitas satwa liar yang ditangkap dari habitat aslinya untuk dipelihara dengan dalih merupakan satwa liar hasil penangkaran.[12] 
  3. Munculnya potensi memelihara satwa liar hasil penangkaran dan juga kegiatan penangkaran untuk sebatas gengsi dan tren alih-alih upaya konservasi ex-situ. Justru menjadikan satwa liar sebagai objek hobi dan kesenangan semata sehingga rentan tidak diperhatikannya makna konservasi. 

Melakukan penangkaran satwa liar tanpa melenceng dari makna konservasi keanekaragaman hayati dapat dilakukan jika Penangkar menerapkan etika lingkungan hidup yakni, etika antroposentrisme tercerahkan, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika antroposentrisme tercerahkan adalah etika untuk manusia menghormati alam karena manusia bagian dari alam.[13] Etika biosentrisme adalah etika menyadari bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri.[14] Sedangkan etika ekosentrisme adalah, mengakui bahwa semua realitas ekologis memiliki keterkaitan satu sama lain. Oleh karenanya, semua komponen biotik (manusia, satwa dan tumbuhan) dan abiotik (air, tanah dan lainnya) sebagai realitas ekologis, memiliki tanggungjawab yang sama.[15] Berangkat dari menerapkan etika lingkungan, kesejahteraan TSL meningkat karena manusia sadar dan berpandangan bahwa, tidak hanya manusia yang memiliki hak asasi namun, alam termasuk TSL di dalamnya memiliki hak asasinya sehingga, TSL tidak bisa dieksploitasi hanya untuk kepentingan manusia semata.[16] 

Tindakan eksploitasi terhadap TSL akan terus terjadi selama manusia tidak menerapkan ketiga etika lingkungan tersebut. Tindakan eksploitasi terhadap satwa liar tidak hanya sebatas menangkap dari habitatnya dan memperdagangkannya secara ilegal namun juga termasuk, menangkarkan satwa liar dengan tujuan sebatas hobi, gengsi dan/atau tren alih-alih sebagai upaya konservasi ex-situ. 

Kita harus mulai dari diri kita sendiri untuk menerapkan etika lingkungan agar terhindar dari tindakan mengeksploitasi satwa liar. Dengan demikian, kita tidak bersikap semena-mena dan memanfaatkan satwa liar untuk kesenangan semata, termasuk melalui kegiatan penangkaran satwa liar untuk sebatas hobi dan/atau gengsi. (Dalila) 

  

— 

[1] Mongabay, Selamat Hari Keanekaragaman Hayati Dunia!, 22 Mei 2021, https://www.mongabay.co.id/2012/05/22/selamat-hari-keanekaragaman-hayati-dunia/, diakses 11 Mei 2021. 

[2] United Nations, Convention on Biological Diversity 1992, CBD 1992, Article 1: Objective. 

[3] United Nations, Convention on Biological Diversity 1992…Loc.Cit. Lihat juga dalam Naveen Kumar Arora, Biodiversity Conservation for Sustainable Future, Society for Environmental Sustainability, 2018, hlm. 109-111, https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s42398-018-0023-1.pdf , diakses 24 Mei 2021. Juga berdasarkan, Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU KSDAE, LN Tahun 1990 No. 49, TLN No. 3776, Pasal 1 angka 2. 

[4] Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP Pengawetan TSL, LN Tahun 1999 No. 14, TLN No. , Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9-14. 

[5] Indonesia, Op.Cit., PP Pengawetan TSL, Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 15-21. 

[6] Penangkaran merupakan pengembangbiakan. Pengembangbiakan merupakan bagian dari konservasi ex-situ. Indonesia, Op.Cit., PP Pengawetan TSL, Pasal 8 ayat (4) huruf b jo. Pasal 1 angka 3 jo. Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP Pemanfaatan TSL, LN Tahun 1999 No. 15, TLN No. 3804, Pasal 7 ayat (1) huruf a. 

[7] Inkana Putri, Guna Jaga Ekosistem Alam, MPR Dukung Penangkaran & Pelestarian Satwa, detikNews, 26 September 2020, https://news.detik.com/berita/d-5189333/guna-jaga-ekosistem-alam-mpr-dukung-penangkaran–pelestarian-satwa, diakses 24 Mei 2021. Lihat juga Khulafa Pinta Winastya, Rumah Mirip Kebun Binatang, Alshad Ahmad Sepupu Raffi Pelihara Harimau Benggala, 23 Desember 2019, https://www.merdeka.com/trending/rumah-mirip-kebun-binatang-alshad-ahmad-sepupu-raffi-pelihara-harimau-benggala.html, diakses 24 Mei 2021. 

[8] Indonesia, Op.Cit., PP Pemanfaatan TSL, Pasal 1 angka 1-2. 

[9] Indonesia, Op.Cit., PP Pemanfaatan TSL, Pasal 9. 

[10] Indonesia, Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Permenhut Penangkaran TSL, Pasal 5-13. 

[11] Indonesia, Op.Cit., PP Pemanfaatan TSL, Pasal 11. 

[12] Lihat lebih lanjut dalam Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Policy Brief 4: Perumusan Delik Pidana Konservasi yang Menjawab Kebutuhan Terkini, 2019, https://icel.or.id/wp-content/uploads/Polbrief-4_Delik-pidana_rev-3_opt.pdf, diakses 11 Mei 2021. Lihat juga Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Policy Brief 3: Perbaikan Regulasi Penetapan Status Perlindungan Spesies Guna Menjamin Urgensi Pengawetan dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Pemanfaat, 2019, https://icel.or.id/wp-content/uploads/Polbrief-3_Penetapan-status_rev-3_opt.pdf, diakses 11 Mei 2021. 

[13] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta, Kompas, 2010, hlm. 57-58. 

[14] Ibid, hlm. 65. 

[15] Ibid, hlm. 92. 

[16] Ibid, hlm. 124.