Tanggal 22 Mei diperingati sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Internasional sejak tahun 2000 silam. Mulanya, Hari Keanekaragaman Hayati Internasional ditetapkan pada tanggal 29 Desember sebagai peringatan berlakunya Konvensi Keanekaragaman Hayati pada tahun 1992. Perubahan ini dilakukan untuk mengingat betapa sulitnya perjuangan pengadopsian teks Konvensi Keanekaragaman Hayati oleh Nairobi Final Act.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati sejak tahun 1994 dan menjadi pihak dalam protokol-protokol turunannya. Kemahsyuran Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya tidak diragukan lagi, bahkan dengan tingkat endemisitas jenis fauna yang sangat tinggi. Satwa endemik Indonesia diantaranya adalah Komodo, Orangutan Sumatera, Orangutan Kalimantan, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Badak Sumatera, Badak Jawa, Dan Burung Cendrawasih.
Ancaman Keanekaragaman Hayati: Deforestasi dan Degradasi Hutan
Perlindungan atas keanekaragaman hayati pada tingkat jenis tentunya tidak terlepas dari perlindungan atas habitatnya. Namun sangat disayangkan, eksistensi satwa-satwa tersebut terancam karena ancaman terhadap habitatnya, seperti deforestasi dan degradasi hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat angka deforestasi di Indonesia (di dalam dan di luar hutan) pada tahun 2014-2015 mencapai 1.092.181.5 hektar.[1] Lebih lanjut, hasil analisis KLHK menunjukkan bahwa deforestasi tinggi pada provinsi yang didalamnya terdapat banyak izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan serta perubahan peruntukkan kawasan hutan seperti kegiatan penanaman, perkebunan, land clearing, operasi tambang, dan sebagainya.[2]
Tidak hanya itu, dampak kegiatan manusia seperti peningkatan permintaan lahan akibat perluasan ekonomi dan peningkatan populasi[3] merupakan faktor utama deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini juga ditunjukan Allan et. al. dalam artikelnya yang terbit pada 12 Maret 2019 bahwa kegiatan manusia secara spasial berdampak tinggi pada jenis satwa khususnya vertebrata besar karismatik.[4]

Menariknya, artikel tersebut menunjukan hotspot dan coolspots secara bersamaan di wilayah Indonesia. Hal ini berarti ancaman dampak kegiatan manusia terhadap vertebrata di Indonesia tinggi dan Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati serta sensitivitas species yang tinggi sehingga banyak species yang tidak terdampak dengan ancaman tersebut. [5]
Tentu saja harapan kelangsungan keberadaan spesies tersebut masih ada, dengan mengantungkan kemampuan manusia dan kemauan kita untuk berkompromi dan berbagi ruang dengan makhluk hidup lain. Pendekatan proaktif dan reaktif yang beragam pun diperlukan untuk memulihkan dan menjaga habitat satwa yang melanggengkan keanekaragaman hayati, misalnya dengan manajemen ancaman yang proaktif, pemulihan kawasan yang rusak atau tercemar, pelepasliaran, menjaga kawasan coolspots dengan menghindar dari dampak permulaan kegiatan manusia. (Marsya, Wenni)
—
[1] Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017, hlm. 91
[2] ibid
[3] Sebelumnya pada tahun 1972 Kelompok Roma juga pernah menerbitkan sebuah laporan berjudul Limits to Growth yang memprediksi kemampuan bumi dalam mendukung umat manusia dan membuat simulasi mengenai pertambahan jumlah penduduk, tingkat industrialisasi, tingkat polusi, tingkat produksi makanan dan tingkat kerusakan sumber daya alam. Hipotesis yang muncul diantaranya adalah kolapsnya bumi pada tahun 2100 karena pertumbuhan eksponensial jumlah penduduk, output industri dan pangan, serta indeks polusi, sementara terjadi penurunan sumber daya alam. Lihat Donella H.Meadows, dkk, “the Limits to Growth: A Report for the Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind”, Universe Books,1972.
[4] James R. Allan, et. al, “hotspots of human impact on threatened terrestrial vertebrates,” PLOS biology, (2019). Hlm 6.
[5] Ibid. Hlm 7.