Jakarta | Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Indonesia (FKKM) mengadakan Temu Wicara “Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”. Tujuan dari adanya acara ini adalah untuk mendiskusikan permasalahan penegakan hukum konservasi serta proyeksi kebutuhan ke depannya. Hasil diskusi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintahan periode 2020-2024 dan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2020-2024 mendatang dalam merancang peraturan perundang-undangan terkait, maupun kebijakan teknis penegakan hukum lainnya. Jakarta (25/11/2019).
“Penegakan hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) merupakan gawang terakhir bagi perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Banyak sekali tantangan yang masih Indonesia hadapi di sektor penegakan hukum ini. Keanekaragaman hayati yang merupakah kekayaan Indonesia sebagai negara megabiodiversity terus menghadapi ancaman kejahatan terorganisir dengan modus yang terus berkembang dan canggih. Kerugian yang terjadi dari kejahatan ini sangat fantastis. Tidak hanya pada tataran spesies, namun juga genetik dan ekosistem yang akan memiliki posisi strategis masa kini dan akan datang.” Ujar Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo dalam pembukaannya.
Lanjut Henri “Secara objektif, salah satu persoalan krusial dalam penegakan hukum adalah landasan hukum kita UU 5/1990 telah kedaluwarsa. UU ini belum cukup tajam untuk menjerat pelaku intelektual/cukong/mastermind dan jaringan kejahatan, melainkan tajam untuk pelaku lapangan yang umumnya masyarakat kecil. UU ini belum berorientasi pada pemulihan dampak kejahatan, masih fokus pada pemidanaan fisik dan denda yang rata-rata sangat rendah.
“Terlebih lagi jika dibandingkan atas dampak kejahatan maupun biaya pemulihan yang harus ditanggung Negara, UU ini belum cukup mengakomodir status perlindungan pada semua tingkatan (genetik, spesies dan ekosistem), dengan mempertimbangkan keberadaan stok di alam dengan kebutuhan pemanfaatan oleh masyarakat, khususnya masyarakat tradisional. UU ini juga belum mengoptimalkan peluang-peluang penguatan konservasi dari berbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri yang masih dapat ditingkatkan. Bagaimanapun juga keanekaragaman hayati nantinya akan menjadi salah satu penopang penting kehidupan masa kini dan mendatang. Sayangnya, hingga saat ini upaya untuk memperkuat landasan hukum melalui Revisi UU 5/1990 belum kunjung mengkristal jua,” ujar Henri kembali.
Sementara itu Peneliti ICEL Rika Fajrini mengatakan bahwa sudah ada bukti yang konkrit terjadi didepan mata, salah satunya ada kabar terbaru dari Malaysia yang mengabarkan bahwa badak terakir di Malaysia telah mati. Sehingga statusnya telah menjadi punah.
“Ini membuktikan bahwa saat ini sudah bukan rahasia lagi bahwa perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi merupakan kejahatan terorganisasi transnasional, namun penanganannya masih terkesan seperti kejahatan kecil yang terpisah-pisah. Guna menjerat kejahatan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi sebagai kejahatan terorganisasi perlu strategi khusus seperti penggunaan instrumen tindak pidana pencucian uang, pengaturan kewenangan melakukan berbagai teknik penyidikan khusus, perumusan delik yang menjerat peran masing-masing anggota dalam kejahatan terorganisasi, pemberatan ancaman sanksi serta kerja sama transnasional dalam penegakan hukum.”
Tak Sesuai Zaman, Revisi UU No. 5 Tahun 1990
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yazid Nurhuda, S.H., M.A dalam proyeksi kebutuhan masa depan untuk penegakan hukum konservasi menyatakan bahwa perlu adanya revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) agar dapat mengikuti motif dan modus operandi yang berkembang serta perubahan zaman. Selain itu proyeksi masa depan yang juga diperlukan dalam penyelamatan KSDAHE adalah bekerjasama dengan akademisi dan praktisi di bidang digital forensik, melakukan kerjasama dengan ahli/peneliti/pakar terkait dengan sumber daya genetika, dan menempatkan Polisi Kehutanan (POLHUT) bersama-sama dengan instansi terkait di wilayah Kepabeanan.
“Biasanya karakteristik kejahatan tumbuhan dan satwa liar (TSL) adalah mereka sangat terorganisir, hi profit, low risk, melibatkan pemburu, pengumpul, memanfaatkan teknologi informasi. Saat ini kita sangat membutuhkan sinergitas antara aparat penegak hukum. Oleh karena itu pemerintah memiliki pekerjaan rumah bagaimana meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga pemburu liar bisa beralih profesi. Selain itu juga dibutuhkan peningkatan kapasitas Aparat Penegak Hukum dan perlu penguatan pasal-pasal pidana karena selama ini pidana belum cukup memberikan efek jera,” ujar Yazid kembali
Masih dalam keterangan Yazid “Permasalahan terkini dari penegakan hukum konservasi saat ini adalah terletak pada ketentuan Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) tidak mengatur tentang kewenangan penangkapan, dan penahanan, sehingga sering kali menjadi kendala dalam upaya paksa terhadap tersangka yang sudah terorganisir dan jejaring kejahatannya lintas negara (transnasional). Selain itu alat bukti elektronik belum dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam setiap penanganan tindak pidana kejahatan keanekaragaman hayati (tumbuhan dan satwa liar).”
Perasalahan lainnya yang disampaikan oleh Yazid adalah saat ini belum memiliki kewenangan dalam hal pelacakan transaksi keuangan tersangka dan jejaring kejahatannya. Dan dalam hal sumber daya genetik, merupakan kejahatan dengan modus operandi yang berkembang seringkali terjadi seperti peredaran dan penyelundupan sel telur, darah, jaringan tubuh, embrio, semen dan sebagainya sangat sulit bagi penyidik mempersangkakan pelaku dengan pasal-pasal yang ada dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dalam kesempatan yang sama, AKBP Sugeng Irianto dari Direktorat Tindak Pidana Bareskrim menyatakan bahwa pada prinsipnya mengenai perdagangan satwa liar, berdasarkan penelitian Interpol, perdagangan satwa liar mendapatkan ranking ketiga setelah perdagangan ilegal, senjata api, narkoba. “Perkembangan beberapa tahun belakangan ini pelaku perdagangan satwa ilegal selangkah lebih maju daripada penyidik, mereka mentransformasikan, menyiasati dan mengakali penegakan hukum. Misalnya pada tahun 2015, 2016 dan 2017 masih via sms, telepon. Ternyata ditutup dengan adanya penegakan hukum, mereka mengubah konsep menjadi online. Mengapa berubah? Jawaban mereka: kami tidak perlu bayar tempat, tidak perlu komunikasi langsung.”
“Dari beberapa penegakaan hukum, Polri sudah menangkap 2700-an kasus. Dari hasil karakteristik yang kami cermati mengenai perdagangan online, penjualannya bersifat individu, menjual dengan harga yang mahal, bersifat tertutup dan satwa yang diperdangangkan tergolong satwa eksotik. Mislanya, ada 7 komodo yang berada di luar negeri, Philipine, Malaysia dan Thailand. Kemudian Phiton Ijo padahal hanya di Raja Empat namun sekarang ada di Australia. Gampang dikirim lewat pos yang ditutup lewat pengiriman sepatu.” Ujar Sugeng kembali.
Lanjut Sugeng ada juga yang bersifat konvensional biasanya dilakukan secara massal, satwa yang diperdagangkan seperti burung kakak tua, dan cendrawasih. Kita telah membuat mapping dari sabang sampai merauke terkait hewan-hewan endemik atau hewan asli pada daerah tertentu, dan nantinya hasil pemetaan hewan endemik tersebut akan kita publish ke masyarakat (seperti komodo yang merupakan hewan endemic dari Kepulauan Nusa Tenggara). Polri sudah melengkapi teknologi yang kekinian. Terakhir memanfaatkan direct finder. Melacak sampai posisi yang bersangkutan. Kemudian teknologi check post, akurat posisi dimana.
Optimalisasi Bukti Elektronik
Dalam acara Temu Wicara tersebut, turut hadir Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung Sudharmawatiningsih S.H., M.Hum, yang juga sepakat bahwa UU No 5 tahun 1990 ini untuk dilakukan revisi kembali bersama dengan kelengkapannya yang mencangkup ruang lingkup, jenis pidana, proses penyidikan dan penuntutan, lamanya waktu penyelesaian dan pembuktian.
“Tindak pidana lingkungan semakin berkembang, sehingga kita juga harus dapat membuktikannya secara ilmiah, harapannya bukti scientific evidence dapat diubah menjadi legal evidence. Sebab hal ini sangat diperlukan untuk disampaikan di persidangan dengan melihat fakta lapangan. Sebab banyak sekali satwa yang sebagai korban kejahatan (spesies tertentu) yang ditemukan kadang hanya berupa kulitnya saja, dan terkadang sudah menjadi narkotika putih (untuk kasus kulit trenggiling) ini sangat sulit untuk dibuktikan dan dalam prosesnya sering kali terkendala oleh kehadiran ahli dibidang seperti ini.” ujar Dharmawati.
Ditambah lagi, kejahatan ini telah berkembang berbasis IT, baik perdagangan secara online, hingga lain sebagainya. Namun ketika diperlukan dalam penyidikan, belum dapat dioptimalkan bukti secara elektronik ini. Oleh karenanya, perlu upaya yang lebih untuk mengoptimalkan bukti secara elektronik.
Sudharmawatiningsih juga mengemukakan kesulitan yang umum ditemui dalam menjerat kejahatan konservasi adalah penuntutan menggunakan dakwaan tunggal. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan UU No.5/1990 yang memasukkan berbagai tindak pidana dengan kualifikasi berbeda ke dalam satu pasal, sehingga jika terdapat pelaku yang melakukan lebih dari satu tindakan, pelaku tersebut hanya tetap dapat dijerat dengan satu pasal. Sudharmawatiningsih menambahkan bahwa sering juga ditemui kasus yang motifnya melibatkan kejahatan terorganisasi namun sulit untuk didakwakan karena belum diatur, dan meski pada berapa kasus dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, pada akhirnya jaringan pelaku kejahatan tetap tidak dapat dijerat semua.
Kesulitan dalam mengkonstruksikan pemidanaan juga dialami oleh Jaksa Penuntut Umum, “Kami kesulitan dalam mengkonstruksikan apa yang dimaksud sebagai kelalaian dalam UU No.5/1990, juga bagaimana mengkonstruksikan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi, karena kejahatan terorganisasi ini lebih dari sekedar penyertaan pidana, tetapi UU No.5/1990 tidak memberikan definisi dan ketentuan yang jelas,” ujar Anggota Satgas Sumber Daya Alam–Luar Negeri (SDA-LN) Kejaksaan Agung Heru Prasetyo., S.H saat menyampaikan tanggapan.
Terhadap dinamika yang terjadi dalam perumusan kebijakan konservasi SDAHE ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof. Dr. Drs. Emil Salim, M.A. yang turut hadir dalam temu wicara mengemukakan urgensi untuk mengidentifikasi kepentingan-kepentingan yang terlibat. “Yang menjadi masalah adalah penyanderaan calon tokoh politik, sehingga hilang kebijakan pembangunan yang mengutamakan sustainability jangka panjang, terdesak oleh kepentingan pengelolaan jangka pendek yang bersifat eksploitatif dan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek penyandera”, pungkas Emil Salim. (Dona)
Silahkan Unduh
Menjerat Kejahatan Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi sebagai Kejahatan Terorganisasi
http://bit.ly/SemnasICEL_Polbrief1
Mengejar Pertanggungjawaban Pemulihan Dampak Kejahatan Terhadap Satwa Dilindungi
http://bit.ly/SemnasICEL_Polbrief2
Perbaikan Regulasi Penetapan Status Perlindungan Spesies Guna Menjamin Urgensi Pengawetan dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Pemanfaat
http://bit.ly/SemnasICEL_Polbrief3
Perumusan Delik Pidana Konservasi yang Menjawab Kebutuhan Terkini
http://bit.ly/SemnasICEL_Polbrief4
Penguatan Pemidanaan yang Sesuai dengan Tujuan Konservasi Keanekaragaman Hayati
http://bit.ly/SemnasICEL_Polbrief5
Proyeksi Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kejahatan Konservasi