Jarang Disorot Namun Terus Mengintai, Perlu Evaluasi Regulasi terkait Bycatch dan Penetapan Perlindungan Jenis

Kedua, jika dibandingkan dengan ancaman sampah plastik, yang jarang mendapat sorotan media masa adalah ancaman penangkapan liar yang tak teregulasi dengan baik, khususnya terkait bycatch atau tangkapan sampingan, dan minimnya perlindungan terhadap jenis biota laut.

Sebesar 80% hiu yang ditangkap oleh nelayan merupakan hasil bycatch.[1] Karena bycatch pula setiap tahun, 7.700 penyu di perairan Indonesia terbunuh secara tidak sengaja karena terjebak pukat.[2]   Guna mengatasi tingginya biota laut yang tertangkap atau terbunuh karena bycatch, Pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang lebih spesifik mengenai bycatch. Untuk meminimalisir hasil tangkapan sampingan, Pemerintah memang telah membatasi jenis alat penangkap ikan yang boleh digunakan oleh Nelayan.[3] Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan (KP) No.PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas (Permen KP No. 12/2012) untuk mengatur tentang hasil bycatch yang secara ekologi terkait dengan perikanan tuna, termasuk hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus, dan hiu monyet, termasuk pelaporannya. Namun belum ada pengaturan mekanisme yang jelas untuk mengawasi hasil penangkapan dan pelaporan bycatch. Kementerian KP juga belum mengatur standar operasional bagi Nelayan apabila terdapat satwa laut yang dilindungi tertangkap sebagai bycatch.

Disamping perbaikan regulasi bycatch, diperlukan juga perbaikan regulasi terkait penetapan status perlindungan jenis. Dari sepuluh spesies hiu yang terdaftar dalam Apendiks I dan II CITES,[4] hanya empat spesies yang mendapatkan perlindungan secara hukum. Yang mendapatkan status perlindungan penuh hanya hiu paus (Rhincodon typus)[5], dan yang mendapat perlindungan terbatas hanya hiu monyet (Alopias spp.), hiu koboi (Carcharinus longimanus) dan hiu martil (Sphyrna spp.). Dikatakan terbatas, karena perlindungan yang diberikan pada hiu monyet bukan dalam bentuk penetapan status perlindungan, namun kewajiban untuk melepas hiu monyet yang tertangkap sebagai bycatch dalam keadaan hidup, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri KP No. 12/2012.[6] Sedangkan bagi hiu koboi dan hiu martil, bentuk perlindungan hanya berupa larangan pengeluaran hiu dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri, namun tidak terdapat larangan penangkapan, dan larangan pengeluaran hiu ke luar negeri tersebut pun telah berakhir pada 31 Desember 2018. [7] Oleh karena itu pemerintah perlu mengevaluasi penetapan status perlindungan jenis hiu, terutama bagi hiu monyet, hiu koboi, dan hiu martil, serta spesies lain dalam Apendiks CITES yang belum mendapatkan perlindungan hukumnya d Indonesia.

Spesies penyu juga terancam oleh perdagangan ilegal dengan angka mencapai 3% dari semua perdagangan satwa liar ilegal global, terutama diperdagangkan sebagai hiasan dari awetannya sampai dengan cangkangnya.[8] Untuk semua jenis penyu di perairan Indonesia sendiri memang telah ditetapkan status perlindungannya melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (LHK) No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Permen LHK No. P.106/2018). Akan tetapi penetapan Permen LHK No. P.106/2018 juga bermasalah karena menambah norma baru yang tidak diatur dalam peraturan yang menjadi sumbernya yaitu PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Padahal, penetapan Daftar Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi dalam Permen LHK No.P.106/2018 memiliki implikasi pada penegakan hukumnya yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990). UU No.5/1990 juga dianggap telah usang karena hanya menyediakan dua titik ekstrim upaya pengawetan tumbuhan dan satwa yaitu dilindungi atau tidak dilindungi. Dengan penetapan status perlindungan yang berdampak pada penegakan hukumnya, dan UU No. 5/1990 hanya menyediakan opsi status perlindungan yang terbatas, sementara angka perdagangan penyu sebagaimana disebutkan diatas serta angka kejahatan terhadap satwa liar pada umumnya masih tinggi,[9] maka pembaharuan UU No. 5/1990 kian mendesak dilakukan.[10]

Dengan demikian, dari kedua ancaman terhadap biodiversitas laut Indonesia akibat tindakan manusia serta bahaya kepunahan yang mengintainya, sangat diharapkan ketegasan Pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang ada serta melakukan evaluasi atas pengaturan terkait penanganan sampah di laut dan juga terkait penangkapan satwa laut liar. Tanpa adanya kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat maka permasalahan tersebut akan sulit ditangani dan rencana penanganan maupun perlindungan yang telah ditetapkan hanya menjadi wacana tanpa langkah konkret. (Tyo)

[1] https://tirto.id/sirip-hiu-dan-ancaman-terhadap-predator-laut-b5fW , diakses 23 Februari 2019.

[2] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan USAID, “Kondisi Laut: Indonesia, Jilid I Gambaran Umum Pengelolaan Sumber Daya Laut untuk Perikanan Skala Kecil dan Habitat Laut Penting di Indonesia”, Jakarta: SEA USAID dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2018, hlm. 44.

[3] Misalnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP No. 2/2015)

[4] https://www.cites.org/eng/app/appendices.php , diakses 24 Februari 2019.

[5] Keputusan Menteri KP No.18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus)

[6] Pasal 42 jo. Pasal 49 Peraturan Menteri KP No.PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas.

[7] Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri KP No.5/PERMEN-KP/2018 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyma spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia Ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 3, larangan tersebut hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018.

[8] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan USAID, “Kondisi Laut: Indonesia, Jilid I Gambaran Umum Pengelolaan Sumber Daya Laut untuk Perikanan Skala Kecil dan Habitat Laut Penting di Indonesia”, loc cit, hlm. 48.

[9] https://news.detik.com/berita/d-3998884/menteri-lhk-kejahatan-satwa-liar-peringkat-ke-3-di-indonesia , diakses 12 Maret 2019.

[10] https://icel.or.id/siaran-pers-bersama-darurat-keanekaragaman-hayati-indonesiapokja-konservasi-dpr-dan-pemerintah-harap-segera-tuntaskan-pembahasan-ruu-perubahan-uu-no-5-tahun-1990/ , diakses 12 Maret 2019.