Jakarta – (Selasa, 24 September 2019) Banyaknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia saat ini mengingatkan kepada kita konflik agraria di masa lalu. Sebagaimana kita tahu, konflik agraria yang terjadi di Indonesia ini sudah terjadi dari zaman dahulu, paling kentara adalah saat zaman orde baru.
Dinamika rentetan konflik agraria saat ini berakar dari ideologi orde baru yang menegaskan bahwa pembangunan adalah hal yang harus dilakukan untuk mendongkrak perekonomian rakyat. Maka dari itu, menurut pemerintah, tanah dipersepsikan milik kepentingan umum demi pembangunan. Banyak kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap rakyat.
Pada 1965 pemerintah melakukan intimidasi untuk merampas tanah rakyat. Rakyat yang tidak bersedia tanahnya dirampas dilabeli dengan antek-antek PKI, dimana pernyataan sebagai PKI kala itu sebagai hal yang menakutkan. Sehingga Mau tidak mau, rakyat harus pasrah menyerahkan tanahnya kepada pemerintah dengan kompensasi ganti rugi, bahkan ada juga masyarakat yang tidak mendapatkan ganti rugi.
Dengan dalih untuk mempercepat pembangunan, pemerintah pada masa orde baru mengandeng investor demi terselenggaranya program pembangunan. Gelombang penolakan atas rampasan tanah terjadi saat itu, sayangnya gelombang penolakan tersebut diabaikan oleh pemerintahan orde baru..Pemerintah terkesan membela para investor ketimbang rakyat yang tanahnya dirampas.
Historia.id[1] mencatat kasus yang paling menggetirkan publik adalah kasus PT. Rejo Sari Bumi (RSB). Para pemilik saham PT. RSB ini juga sebagian besar dimiliki oleh keluarga Presiden. Dari kasus PT. RSB ini terlihat bagaimana pemerintah sangat mendukung investor untuk menguasai lahan saat itu. Ini membuat para masyarakat yang kebanyakan berprofesi sebagai petani kesulitan bekerja karena kehilangan tanah.
Selain perampasan tanah oleh investor, konflik agraria pada zaman orde baru juga diakibatkan oleh kebijakan Presiden Soeharto dengan melaksanakan program swasembada pangan pada tahun 1984 untuk mendongkrak perekonomian rakyat. Dilihat dari sisi keberhasilan, memang Presiden Soeharto sangat berhasil melaksanakan program swasembada pangan pada tahu 1984 dimana rakyat begitu sejahtera, uang untuk makan tercukupi tidak ada kata susah untuk pangan.
Tapi dibalik itu semua ada harga yang harus dibayar mahal oleh para petani. Dengan lahan pertanian yang sudah dikuasai negara ini, petani harus rela menjadi buruh tani. Mereka menjadi petani tapi bukan di lahan milik sendiri. Diperparah dengan kebijakan Presiden Soeharto yang meliberalisasikan sektor pertanian.
Presiden Soeharto menggaet investor asing untuk melaksanakan program swasembada ini. Dengan iming-iming upah buruh tani yang murah, cukup banyak investor asing yang masuk. Tidak jarang, para petani ini dipaksa untuk menanam dengan upah yang murah. Tapi dengan cara itu, Indonesia berhasil meraih penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan Internasional) pada tahun 1984 karena mencapai swasembada pangan.
Konflik agraria yang akhirnya selalu merugikan petani ini berlanjut hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banyak sekali konflik agraria terjadi di periode ini. Tercatat, menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), 618 kasus konflik agraria terjadi selama masa pemerintahan Presiden SBY ini. Angka ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terkait kasus konflik agraria di Indonesia. Yang paling diingat oleh publik adalah saat 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)[2] yang dicanangkan oleh Presiden SBY. Proyek MIFEE ini merampas tanah rakyat sekitar dua juta hektar. Proyek ini dijalankan dengan dalih untuk mewujudkan Indonesia berswasembada pangan dan menyelamatkan krisis pangan dunia. Namun di akhir masa jabatan Presiden SBY, proyek MIFEE ini tidak menunjukan hasil yang diinginkan. Bertolak belakang dengan pandangan para petani, menurut mereka proyek MIFEE ini malah mengakibatkan para petani lokal tidak dapat bertani.
Kenaikan signifikan konflik agraria ini juga terjadi di periode Presiden Joko Widodo, tercatat menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)[3], terjadi 1.769 konflik agraria yang menyebabkan 46 orang tewas dan 546 orang dianiaya. Kasus yang paling fenomenal adalah kasus Kendeng-Rembang. Kasus ini menyita perhatian publik, bagaiana tidak ibu-ibu petani rembang memasang badan sebagai protes kepada pemerintah, dimulai dari berjalan kaki, membunyikan lesung sebagai tanda bahaya dan kemudian menyemen kaki mereka didepan istana negara. Sayang aksi mereka hingga saat ini masih belum didengar. Padahal mereka telah memenangkan kasus ini di tingkat MA[4].
Beberapa kasus di atas merupakan contoh konflik agraria yang terjadi di Indonesia yang menggambarkan bahwa konflik agraria di Indonesia terjadi terus-menerus dan belum menemukan solusi yang tepat untuk menyudahi konflik pertanahan yang kerap terjadi. Masyarakat sebetulnya sangat mengharapkan solusi dari pemerintah agar konflik agraria ini tidak terjadi kembali.
Setiap terjadi konflik agraria, masyarakat dan petani yang selalu menjadi korban. Cara pandang pemerintah yang masih melihat bahwa kepentingan pembangunan nasional bisa menjadi argumentasi untuk merampas hak tanah rakyat, dengan mengatas namakan pembangunan, sehingga masyarakat harus mengalah demi terwujudnya pembangunan nasional yang adil dan merata.
Rika Fajrini Peneliti Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL mengemukakan bahwa kepentingan dan kesejahteraan masyarakat disekitar juga merupakan kepentingan nasional yang harus diperjuangkan.
“Jika konsep pembangunan nasionalnya masih seperti itu, penindasan oleh mayoritas terhadap minoritas akan terus terjadi. Minoritasnya dipaksa untuk terus mengalah untuk manfaat yang lebih banyak”, ujar Rika.
Dengan kondisi ini, masyarakat sangat membutuhkan aturan yang mengatur sistem pertanahan agar bisa menjadi solusi untuk mereka. Karena peraturan yang ada sekarang tidak bisa menyelesaikan konflik agraria yang kerap terjadi dipelbagai daerah di Indonesia. Rika meneruskan, bahwa substansi UU yang ada sekarang yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960 tidak menjawab konflik agraria yang terjadi saat ini.
Ada harapan yang ditunjukan oleh pemerintahan Joko Widodo saat ada wacana tentang RUU Pertanahan. Masyarakat berharap RUU ini dapat mengatasi konflik agraria, tapi pada kenyataannya, didalam RUU Pertanahan ini banyak pasal yang janggal dan tidak berpihak kepada masyarakat. Salah satu pasal yang cukup berdampak negatif adalah tentang pengadaan tanah untuk investasi.
“Kalau sebelumnya rakyat merelakan tanahnya untuk kepentingan umum atau kepentingan pembangunan nasional, jika RUU Pertanahan ini disahkan, rakyat kecil yang memiliki tanah bisa dipaksa utuk merelakan tanahnya untuk kepentingan pribadi asalkan itu bersifat investasi. Ini menandakan RUU Pertanahan tidak memihak kepada rakyat kecil,” ujar Rika kembali
Pasal selanjutnya yang menuai pro kontra adalah pemerintah bisa menyembunyikan nama-nama penguasa lahan. Masyarakat tidak berhak tahu nama-nama yang menguasai lahan atau tanah di sekitar mereka. Walaupun Mahkamah Agung memutuskan informasi pemilik lahan itu bisa dibuka, tapi dalam RUU Pertanahan ini informasi tersebut termasuk informasi yang dikecualikan. Maka dari itu tidak ada yang bisa buka informasi tetang nama-nama penguasa lahan kecuali untuk keperluan hukum oleh kepolisian.
Josi Khatarina, peneliti senior ICEL yang saat ini juga tengah menyelesaikan program PhD di Melbourne University menambahkan, “Ada satu pasal dimana masih memungkinkan pengecualian berdasarkan skala keekonomian suatu usaha. Pengecualian berdasarkan skala keekonomian ini tidak efektif untuk masyarakat. Karena pada banyak bidang usaha berbasis lahan seperti perkebunan, makin besar dan luas lahan yang di kuasai juga makin efisien usaha tersebut. Padahal penguasaan pengusaha besar ini tidak diinginkan oleh UUPA”.
Josi Khatarina dan Rika Fajrini, menyoroti pasal tentang pemutihan lahan yang kalau ada orang ada badan hukum yang menguasai tanah di luar Hak Guna Usahanya, status tanah yang di luar Hak Guna Usaha yang dikuasai ini dapat langsung ditentukan oleh Menteri.
“Jadi nanti bisa memungkinkan, misal perusahaan punya izin 50 Hektar, tapi kenyataanya tanah yang dikuasainya ini 100 hektar, nah 50 hektar yang dikuasai di luar Hak Guna Usaha ini bisa dijadikan legal karena keputusannya ada pada Menteri”. lanjut Rika.
Ini membuktikan RUU Pertanahan belum menjawab keresahan atau permasalahan konflik agraria yang terjadi selama ini. Masyarakat yang sebagian besar petani belum bisa tenang dan masih terbayang-bayang perampasan tanah oleh pemerintah dengan berkedok investasi. Mereka masih berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan tentang tanah yang mengatur tanah dan tidak merugikan masyarakat kecil. (Bachrul)
—
[1] https://historia.id/politik/articles/reforma-agraria-DOnV6
[2] https://pusaka.or.id/assets/2015/04/Paper-MIFEE-untuk-Konferensi-KAA-April-2015.pdf
[3] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190218154814-4-56191/maaf-pak-jokowi-ada-1769-konflik-agraria-dan-41-orang-tewas
[4]https://nasional.kompas.com/read/2016/10/12/09164211/petani.kendeng.menang.di.ma.lawan.pt.semen.indonesia