Hutan hujan tropis Sumatera telah lama dielu-elukan dunia sebagai surga di khatulistiwa. keanekaragaman hayati hutan hujan tropis ini bukan main, baik dari segi jumlah spesies maupun keunikan spesies. Hutan Tropis Sumatera merupakan rumah bagi kurang lebih 10,000 spesies tumbuhan, termasuk didalamnya 17 genus endemik; 200 spesies mamalia dimana 22 spesies diantaranya adalah mamalia asia yang tidak ditemukan di pulau lain di Indonesia, dan 15 spesies lainnya hanya ditemukan di wilayah Indonesia, termasuk hewan eksotis endemik Orang Utan Sumatera.

Wilayah hutan hujan tropis ini juga menyimpan bukti biogeografis evolusi pulau sumatera. Karena keunikannya ini, pada tahun 2004 United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai situs alam warisan dunia yang terdiri dari 3 (tiga) taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Namun sayangnya, hutan yang disanjung UNESCO sebagai kawasan yang memiliki “outstanding universal value” dan “exceptional biodiversity” ini terancam keberadaannya dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2011 hingga saat ini, Hutan Hujan Tropis Sumatera masuk dalam daftar merah warisan dunia dalam bahaya (world-heritage in danger list).

Kebakaran hutan dan lahan, perambahan untuk kebun dan tambang, pembalakan liar, perburuan satwa dilindungi, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan bendungan, merupakan beberapa ancaman yang dapat merusak integritas kawasan tersebut.  

Tekanan proyek-proyek pembangunan dan perburuan liar merupakan bahaya yang mengintai Taman Nasional Gunung Leuser tiap harinya. Kawasan yang merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser ini terancam oleh rencana pembangunan bendungan untuk PLTA[1]. Selain itu, perburuan liar juga memperparah kondisi TNGL.

Masih segar di ingatan kita bagaimana pembunuhan terhadap Gajah Bunta pada tahun 2018 membuat masyarakat Indonesia juga dunia internasional naik pitam. Peristiwa gajah mati diracun ataupun dijerat hampir terjadi tiap tahun di kawasan leuser[2]. Sementara itu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mengalami fragmentasi habitat akibat pembangunan infrastruktur jalan. Saat ini terdapat 3 (tiga) jalan nasional yang membelah TNBBS.[3] Pembukaan jalan ini selain menganggu habitat hewan sensitif seperti Badak Sumatera, juga mengundang permasalahan lain seperti pembalakan liar, perambahan dan perburuan satwa liar.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pun tak bernasib lebih baik. TNKS juga mengalami permasalahan serupa dengan taman nasional lainnya, yakni perambahan, alih fungsi lahan, fragmentasi habitat akibat pembangunan jalan, dan perburuan liar dengan target utama harimau Sumatera.[4] Balai TNKL pun telah lama berkonflik dengan masyarakat adat sekitar taman nasional, konflik yang semestinya dapat diselesaikan dengan solusi yang mengakomodasi kepentingan bersama.

Telah lebih dari 7 tahun Hutan Hujan Tropis Sumatera tak jua keluar dari kategori warisan dunia dalam bahaya. Hal ini membuat dunia internasional mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga kawasan konservasi tersebut. Ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum atas pertambangan dan pembalakan liar, alih fungsi lahan ilegal serta perburuan satwa liar dilindungi perlu diperkuat, tidak hanya menyasar pelaku kecil lapangan tapi juga pelaku intelektual yang biasanya bermodal dan mempunyai pengaruh besar.

Selain penegakan hukum, kebijakan preventif untuk mencegah kejahatan tersebut juga perlu dibenahi, seperti pengawasan terhadap perizinan dan pemberdayaan masyarakat dengan alternatif mata pencaharian yang tidak memberi tekanan pada  kawasan konservasi.

Pemberdayaan masyarakat juga haruslah mulai bergeser dari paradigma bahwa masyarakat adalah “objek” yang perlu ditata agar tidak mengganggu konservasi, menjadi masyarakat adalah “subjek” dari kegiatan konservasi itu sendiri. Masyarakat di sekitar kawasan konservasi hendaklah diposisikan tidak sebagai ancaman tapi rekan kerja yang harus diberdayakan untuk konservasi itu sendiri.  Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU No. 5/1990) memang belum mengakomodasi secara layak masyarakat sebagai pelaku konservasi. UU No. 5/1990 masih memandang negara sebagai aktor utama konservasi.

Pengabaian atas hak dan peran masyarakat akan terus memperpanjang konflik antara taman nasional dengan masyarakat sekitar kawasan. Sambil menunggu perbaikan di tataran perundang-undangan, konflik antara taman nasional dan masyarakat sekitar kawasan saat ini mulai coba diredam dengan program-program kerjasama seperti perhutanan sosial dan mekanisme pengelolaan kolaboratif lainnya.

Di sisi pemerintah sendiri, pilihan kebijakan yang diambil belum sepenuhnya dengan hati-hati mempertimbangkan kepentingan konservasi. Sumber energi dan akses jalan merupakan kebutuhan yang tidak terelakan bagi negara dengan pertumbuhan penduduk seperti Indonesia,namun pengambilan kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan ini harus diseimbangkan dengan perlindungan ekosistem.

Sebelum menjalankan projek yang akan berdampak pada kawasan konservasi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan pemerintah, yaitu : a) Apakah projek tersebut sesuai dengan rencana tata ruang? b) apakah tidak ada alternatif lokasi lain?; c) apakah prinsip kehati-hatian (precautionary principle) telah diterapkan dalam pengambilan keputusan?; d) apakah biaya eksternalitas lingkungan telah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan?; dan e) Jika tidak ada alternatif lain, apakah desain projek telah dirancang sebaik mungkin untuk meminimalisasi gangguang pada kawasan? Contohnya penyesuaian lebar jalan, arah jalan, skala projek dan penggunaan teknologi terbaik. Kebijakan-kebijakan yang diambil tentunya menggambarkan kemana keberpihakan pemerintah Indonesia.

Penetapan Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai Warisan Dunia UNESCO merupakan bentuk amanat masyarakat internasional kepada Indonesia. Dengan statusnya sebagai warisan dunia, Pemerintah Indonesia tidak hanya bertanggungjawab pada warga negaranya tetapi juga pada warga dunia untuk menjaga Hutan Hujan Tropis Sumatera. (Rika)

[1] http://www.mongabay.co.id/2017/11/12/dua-mega-proyek-plta-ini-dikhawatirkan-mengancam-kelestarian-leuser/

[2] https://regional.kompas.com/read/2018/06/23/16382241/polisi-terus-kejar-pembunuh-dan-pencuri-gading-gajah-bunta

[3] http://www.mongabay.co.id/2015/05/25/jalan-nasional-yang-memenggal-taman-nasional/

[4] http://tfcasumatera.org/taman-nasional-kerinci-seblat-riwayatmu-ini/