3 tahun terakhir ini pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dapat mempercepat krisis iklim di Indonesia. Tidak hanya itu, di masa-masa akhir pemerintahan periode 2014-2018, DPR juga mengebut 2 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengancam masa depan seluruh warga negara Indonesia. Padahal menurut IPCC dan PBB, kita hanya punya waktu 11 tahun lagi sebelum bencana iklim terbesar terjadi. Peraturan dan RUU apa sajakah yang dapat mempercepat krisis iklim Indonesia?

Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP 13/2017 – RTRWN)

Peraturan ini mengubah beberapa pasal tentang rencana tata ruang wilayah nasional yang telah diatur sebelumnya. Permasalahannya adalah aturan ini membolehkan dibangunnya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sebelumnya tidak ada dalam RTRW Provinsi/Kab/kota hanya dengan rekomendasi menteri. Padahal seharusnya ruang untuk pelaksanaan kegiatan/proyek harus ditetapkan terlebih dahulu dalam RTRW Provinsi/Kab/kota. Penetapan RTRW Provinsi/Kab/kota pun perlu ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang memastikan terintegrasinya pembangunan berkelanjutan serta pertimbangan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang partisipatif dalam suatu kebijakan/rencana/program.

Peraturan Pemerintah tentang Online Single Submission (PP 24/2018 – OSS)

Peraturan ini bertujuan mempermudah masuknya investasi ke Indonesia dengan menyederhanakan proses perizinan. Sayangnya, peraturan ini justru melemahkan safeguards atas lingkungan hidup dengan meminggirkan Analisis dampak lingkungan (Amdal). Perusahaan tidak perlu lagi memiliki Amdal terlebih dahulu untuk mendapatkan izin usaha, padahal Amdal merupakan syarat dari izin lingkungan yang berfungsi sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan LH oleh suatu aktivitas/proyek.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

Dalam konteks krisis iklim, rancangan peraturan ini melemahkan penegakan pidana lingkungan hidup. Ketentuan tindak pidana lingkungan hidup dalam rancangan ini akan sulit dibuktikan karena masih menggunakan unsur melawan hukum dan menitikberatkan pada akibat. Pelaku dapat saja berdalih tidak melakukan pencemaran/pengrusakan lingkungan hidup karena sudah punya izin, hal ini pernah terjadi sebelumnya pada kasus Newmont. Selain itu, pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang kebanyakan adalah korporasi akan sulit ditangkap jika RUU ini disahkan. Bayangkan semakin sulitnya menjerat korporasi yang lahannya terbakar, padahal kebakaran hutan dan lahan menyumbang emisi terbesar dari sektor lahan. Pasalnya definisi korporasi sangat luas dan tidak membedakan pertanggungjawaban pengurus. Terlebih lagi, pengertian yang luas ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat.

Rancangan Undang-Undang Pertanahan

Rancangan peraturan ini juga akan memperparah krisis iklim karena penggunaan tanah di luar HGU yang dilakukan oleh korporasi justru akan diputihkan. Padahal laporan IPCC 2019 menunjukan 70% emisi berasal dari pembukaan lahan. Terlebih lagi, rancangan peraturan ini menutup akses informasi publik atas pertanahan. Padahal transparansi adalah kunci untuk partisipasi dan pengawasan. Terakhir, investor akan menjadi mudah untuk mendapatkan tanah. Hal ini pun dapat melanggengkan land-grabbing.

Undang-Undang tentang Perubahan Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK)

UU KPK yang baru saja disahkan jelas mengamputasi kewenangan-kewenangan KPK, di ranah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Padahal penindakan KPK selama ini mempunyai peran penting dalam menghentikan laju kerusakan lingkungan akibat transaksi korup dalam obral izin. Dengan diamputasinya kewenangan KPK, maka pemberantasan kejahatan lingkungan dan sumber daya alam menjadi terhambat.

Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara

Rancangan peraturan ini kembali mengakomodasi kepentingan Kontrak Karya dan Perjanjian  Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang ada untuk diperpanjang 2 kali 10 tahun dan mengusahakan kembali wilayahnya dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu, rencana peraturan ini berpotensi mengabaikan pemulihan dan kriminalisasi masyarakat yang menolak tambang.(Marsya)