Sekali lagi keadilan bagi hutan dan lahan yang terbakar di Provinsi Riau berhasil ditegakkan melalui putusan No. 349/Pid.B/LH/2019/PN Plw yang dibacakan pada 19 Mei 2020 lalu. Putusan ini mengadili PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS) atas kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, buku mutu air, baku mutu air laut atau baku mutu kerusakan lingkungan hidup (Pasal 99 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf a jo Pasal 118 jo Pasal 119 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan tidak diterapkannya analisis mengenai dampak lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan hidup, pemantauan lingkungan hidup dan analisis risiko lingkungan hidup (Pasal 109 jo Pasal 68 jo Pasal 113 Ayat (1) UU No 39/2014 tentang Perkebunan).
Lebih lanjut, putusan ini patut diapresiasi tidak hanya karena aparat penegak hukum tetap menegakkan hukum lingkungan di tengah pandemi COVID-19 tetapi juga implementasi pertanggungjawaban korporasi dengan pidana denda sebesar Rp 3.500.000.000,00 (tiga milyar lima ratus juta rupiah) dan menjatuhkan tindak pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana sebesar Rp 38.652.262.000,00 (tiga puluh delapan milyar enam ratus lima puluh dua juta dua ratus enam puluh dua ribu rupiah). Namun, pengawalan kasus ini harus tetap berjalan karena putusan ini belum berkekuatan hukum tetap akibat pengajuan banding yang dilakukan oleh terdakwa.
Lebih jauh lagi, keadilan lingkungan hidup tidak cukup jika berhenti pada putusan saja. Melainkan, putusan tersebut harus dilaksanakan, khususnya perbaikan lingkungan hidup menjadi kondisi semula sebelum terjadi tindak pidana. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 120 ayat (1) UU 32/2009, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) untuk melaksanakan eksekusi. Sayangnya, sejauh ini belum ada putusan pidana lingkungan hidup yang dieksekusi, yang berorientasi pada tindakan tertentu untuk perbaikan.
Masalah eksekusi putusan lingkungan hidup memang menantang tidak hanya di kasus pidana tetapi juga di kasus perdata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, hukum lingkungan hidup di Indonesia lebih maju dibanding hukum acaranya. Undang-Undang Lingkungan Hidup yang terbaru adalah UU No. 32 Tahun 2009 sedangkan Hukum Acara Pidana atau yang biasa dikenal dengan KUHAP diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 dan hukum acara perdata masih menggunakan HIR, sehingga wajar muncul kebingungan bagi para aparat penegak hukum untuk mengimplementasikannya.
Kedua, belum ada panduan untuk mengeksekusi putusan lingkungan hidup baik perkara pidana maupun perdata. Pada tahun 2002, Jaksa Agung Muda pernah menerbitkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No. B-60/E/EJP/01/2002 tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup, namun tampaknya belum ada pembaharuan yang menyesuaikan dengan UU 32/2009. Ketiga, pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana atau pemulihan dalam kasus perdata seringkali dikonversi menjadi nominal dengan angka yang fantastis daripada penyusunan rencana pemulihan yang jelas indikatornya.
Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan hidup belum dapat dikatakan selesai jika putusan belum dilaksanakan karena lingkungan hidup belum mendapatkan manfaat langsung berupa pemulihan dari apa yang ia derita. Reformasi dan perincian hukum acara dan lingkungan hidup perlu terus dilakukan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang lestari. Tidak lupa dengan partisipasi masyarakat yang terus aktif untuk senantiasa hidup berdampingan dengan alam. (marsya)