Hutan bukanlah sekadar pepohonan yang terkumpul pada satu tempat. Dalam sehari, satu pohon ukuran sedang mampu menghasilkan oksigen untuk dua manusia dewasa. Kayu yang dihasilkan dari pepohonan yang ada juga dapat dimanfaatkan menjadi berbagai barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari kertas, tisu, hingga berbagai perabotan rumah tangga. Namun, terdapat suatu masalah yang dilematis. Bagaimana jika ternyata kayu yang digunakan sebagai bahan baku tersebut berasal dari pembalakan liar?
Tingginya pembalakan liar yang terjadi membuat Indonesia menerapkan suatu sistem verifikasi untuk menjamin bahwa kayu yang digunakan oleh berbagai industri tersebut merupakan kayu yang legal dari hutan-hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Instrumen tersebut bernama Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Dalam implementasinya sendiri, SVLK tentu tidak luput dari banyak kekurangan, mulai dari persoalan regulasi, akses dan jaminan keamanan terhadap pemantau independen, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pendanaan.
Contoh implementasi SVLK yang paling mudah kita temui sebagai konsumen masyarakat awam adalah logo Indonesian Legal Wood yang terdapat pada produk yang dihasilkan dari pohon—misalnya tisu atau kertas HVS. Logo tersebut menandakan bahwa produk berasal dari kayu legal yang telah lolos SVLK.

Sedangkan dari sisi produsen, SVLK mengharuskan setiap produsen yang hendak menjual produk kayu atau olahan kayunya ke dalam maupun luar negeri untuk mengurus Dokumen V-Legal. Dokumen ini merupakan bukti bahwa produk yang dijual tersebut telah lolos verifikasi dan berasal dari hutan yang legal.
Sepintas, tujuan dan pelaksanaan SLVK nampak baik-baik saja. Tentu saja manusia butuh kayu, tapi siapa yang mau hutan-hutan menjadi gundul karena dikelola secara tidak berkelanjutan dan hanya mementingan keuntungan jangka pendek semata? Pengelolaan secara seimbang dan berkelanjutan dengan pengawasan dan verifikasi yang baik tentunya menjadi langkah yang baik. Sayangnya, terdapat beberapa hal yang terjadi dan berpotensi melemahkan penerapan SLVK ini.
Pada tanggal 27 Februari 2020 yang lalu, Menteri Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 15 Tahun 2020 (Permendag 15/2020) tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Permendag 15/2020 Dokumen V-Legal sebagai syarat ekspor produk kehutanan. Padahal Dokumen V-Legal adalah standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan SVLK.
Dalam siaran pers Kemenko Perekonomian No. HM.4.6/32/SET.M.EKON.2.3/03/2020 tanggal 13 Maret 2020, disebutkan bahwa alasan penghapusan Dokumen V-Legal sebagai syarat ekspor adalah sebagai stimulus non-fiskal dalam rangka penangangan COVID-19. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan. Mengapa stimulus fiskal yang diberikan justru melemahkan daya tawar produk ekspor Indonesia di pasar internasional? Data dari FLEGT Independent Market Monitor 2020 dan Disperindag Jayapura 2019 untuk ekspor furnitur Indonesia menyebutkan bahwa potensi pasar yang meminta legalitas kayu senilai 1.22 miliar USD, yang sedang berproses menuju legalitas sebesar 0.54 miliar USD, dan pasar yang tidak meminta legalitas hanya 0.85 miliar USD.
Dari sisi hukum internasional, Indonesia dan Uni Eropa juga telah menandatangani perjanjian FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement and Governance-Voluntary Partnership Agreement) yang bertujuan memastikan hanya kayu dan produk kayu legal Indonesia yang dapat diekspor ke Uni Eropa. Perjanjian tersebut mensyaratkan agar Indonesia memiliki sistem yang menjamin bahwa kayu yang diekspor telah terverifikasi legal. Pemberlakuan Permendag 15/2020 berpotensi menyebabkan Indonesia melanggar FLEGT-VPA tersebut.
Selain itu Permendag 15/2020 juga tidak selaras dengan berbagai peraturan lainnya. Misalnya UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pada bab VII Pasal 64-73 telah mengatur bahwa pemerintah bertanggung jawab mencegah dan memberantas perusakan hutan dan dapat melakukan kerja sama internasional dalam mencegah perdagangan dan/atau pencucian kayu tidak sah. Melalui Permendag 15/2020 justru membuat pemerintah tidak lagi memiliki instrumen yang kuat dalam mencegah perdagangan kayu yang tidak sah, pun berpotensi melanggar perjanjian internasional yang sudah disepakati.
Di sisi lain, KLHK juga telah menerbitkan Permen LHK No. 30 Tahun 2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestasi dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak (Permen LHK 30/2016). Aturan ini mensyaratkan Dokumen V-Legal sebagai salah satu dokumen ekspor untuk produk kayu. Dengan diterbitkannya Permendag 15/2020, seolah-olah Kemendag tidak menghiraukan usaha dan peran yang dilakukan oleh KLHK beserta stakeholders lainnya seperti masyarakat sipil dalam menjaga lingkungan sekaligus memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam kehutanan dilakukan secara berkelanjutan.
Dengan berkaca pada fenomena tersebut, nampaknya tahun ini kita akan cukup merasa miris dan ironis saat hendak memperingati hari hutan internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Maret. Bagaimana bisa kita memperingati hari hutan saat kebijakan-kebijakan yang ada justru jauh panggang dari api untuk menjaga kelestarian dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan?