Jakarta – 24 September 2019 merupakan tanggal wacana akan disahkannya RUU Pertanahan, sejumlah akademisi dan masyarakat menyerukan untuk menolak RUU ini. Hal ini disebabkan RUU ini masih memiliki sejumlah catatan yang harus diperbaiki. RUU ini pada awalnya dibentuk untuk memperkuat substansi pengaturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria justru menimbulkan kesan tergesa-gesa dan dipaksakan.
Gencarnya penolakan terhadap RUU pertanahan dari berbagai lembaga organisasi masyarakat, akademisi dan mahasiswa disebabkan pembahasan RUU tersebut tidak melibatkan masyarakat sipil. Selain itu, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi, menyayangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan tidak dapat menjawab berbagai persoalan dan konflik Agraria. Selain persoalan konflik agraria, RUU pertanahan akan berdampak buruk bagi khalayak ramai baik terhadap masyarakat pedesaan maupun pada masyarakat perkotaan.
“RUU pertanahan awalnya diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Selain menjawab persoalan konflik Agraria, RUU ini juga diharapkan dapat mengatur pengelolaan tanah dengan mempertimbangkan sosial, budaya dan lingkungan hidup. Pemerintah beranggapan bahwa RUU ini akan melengkapi UU Pokok Agraria yang dinilai belum dapat menjawab permasalahan aktual pertanahan. Namun sayangnya, draft terakhir RUU Pertanahan per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab ekspektasi masyarakat dan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria. Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, masih terdapat banyak permasalahan substansi dalam RUU Pertanahan ini yang dapat kontra-produktif dengan semangat reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik,” ujar Roni S. Maulana Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Selain itu masyarakat yang tinggal di perkotaan juga tidak luput dari ancaman RUU ini, sebab beberapa wilayah perkotaan yang terletak pada wilayah ekonomi khusus misalnya tidak akan luput dari adanya penggusuran. Di dalam RUU pertanahan terdapat klausul yang menyatakan jika hak tanah atas suatu wilayah yang bertentangan dengan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) suatu daerah maka hak atas tanah itulah yang akan menyesuaikan dengan RTRW itu tersebut. Artinya jika di perkotaan itu RTRW-nya diubah kepada suatu kawasan industri ekonomi khusus mau tidak mau masyarakat perkotaan yang ada di sekitar kawasan industri ekonomi khusus itulah yang akan mendapatkan dampaknya. Apakah mereka nantinya akan digusur atau hak atas tanah mereka akan dikonversi apakah nantinya akan dijadikan hak guna bangunan atau hanya hak pakai, dan sebagainya,” lanjut Roni kembali.
Senada yang disampaikan oleh Roni, Made Ali Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan bahwa adanya RUU Pertanahan ini sangat berdampak buruk sekali bagi masyarakat khususnya masyarakat Riau. Sebab saat ini, permasalahan pertanahan di Provinsi Riau masih banyak terjadi tumpang tindih lahan yang permasalahannya belum selesai. Jika RUU ini disahkan maka akan banyak sekali terjadi permasalahan baru.
“Jika RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang, ada 370 perusahaan sawit di dalam 1,8 juta yang status kawasan legalnya akan menjadi cepat. Hal ini disebabkan karena izin kawasan yang diberikan hanya diberikan melalui Menteri Agraria saja. Padalah dalam kawasan yang 1,8 juta itu di dalamnya ada flora dan fauna yang dilindungi, dan masih ada hutan alam yang tersisa. Jika ini diberikan maka perusahaan akan melakukan pembakaran hutan pastinya. Jika sudah ada pembakaran hutan masyarakat akan mendapatkan dua dampaknya polusi asap di musim kemarau dan banjir di musim penghujan karena kawasan hutan tersebut pastinya akan ditebang,” tambah Made kembali.
RUU Pertanahan Rampas Hak Akses Informasi
Dikutip dari Antara, Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Gede Narayana mengatakan substansi RUU Pertanahan yang saat ini masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merampas hak akses informasi masyarakat. Selain itu, RUU ini juga bertentangan dengan pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur jaminan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh informasi[1].
Selain itu, Narayana juga menyinggung terkait nama pemilik hak atas tanah khususnya hak guna usaha (HGU) yang merupakan informasi publik yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. RUU tersebut juga memuat materi yang berpotensi bertentangan dengan hak asasi manusia atas akses informasi publik yang berkaitan dengan rumusan pengecualian informasi terhadap daftar nama pemilik hak atas tanah. Padahal RUU Pertanahan adalah jawaban atas amanat TAP MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan/Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Rika Fajrini dalam artikel “Substansi RUU Pertanahan Belum Menjawab Permasalahan Agraria, Pengesahan Harus Ditunda!” yang ditulisnya juga menyatakan bahwa dalam rangka perbaikan tata kelola pertanahan nasional, terdapat satu hal yang tidak diatur dalam RUU Pertanahan ini, yaitu mengenai jaminan keterbukaan informasi penting terkait pertanahan[2].
“Tidak adanya transparansi informasi di bidang pertanahan telah mengakibatkan banyak persoalan tumpang tindih hak atas tanah dan melemahkan kontrol publik terhadap peruntukan dan pemanfaatan tanah. Bahkan meskipun telah ada putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap pun, informasi penting pertanahan seperti HGU tidak juga dipublikasikan oleh Kementerian ATR/BPN.” Ujar Rika.
Melihat kronisnya masalah ketertutupan informasi ini, hendaknya RUU Pertanahan memberikan pengaturan tegas dan solutif terkait jaminan keterbukaan informasi. Bukan hanya menyematkan satu pasal yang berbunyi umum bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi publik di bidang pertanahan, tetapi juga memandatkan informasi wajib apa yang harus dipublikasikan kepada masyarakat secara proaktif.
Dalam menyelesaikan konflik agraria, Pengadilan Pertanahan adalah salah satu instrumen yang dibanggakan dalam RUU ini. Namun konsep pengadilan pertanahan ini tidak sesuai dengan sistem peradilan Indonesia. Pengadilan pertanahan ini diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan pidana, perdata dan administrasi pertanahan.
RUU Pertanahan dalam Perspektif Wakaf
Dewan Syariah Dompet Dhuafa Prof. Dr. M. Amin Suma menyatakan bahwa RUU Pertanahan ini jika ditinjau dari hukum fikih dan kesejahteraan mengalami “kemunduran”, dalam memberikan kepastian hukum atas perlindungan aset dan properti keagamaan seperti halnya wakaf jika dibandingkan regulasi yang pernah ada sebelumnya. Dikutip dari laman Kantor Berita Kemanusiaan (KBK) Amin Suma memaparkan data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), bahwa potensi wakaf dapat dilihat dari jumlah wakaf tidak bergerak berupa tanah yang terdata sekitar 4,9 miliar meter persegi, yang tersebar di 355.111 titik lokasi.
“Sementara potensi wakaf uang, mencapai Rp 180 triliun. Dalam draft RUU Pertanahan tersebut telah diatur bahwa “Perwakafan tanah dan lembaga sejenis menurut ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia dilindungi keberadaannya” namun demikian pasal yang diatur masih sangat umum dan normatif. Dalam rangka memberikan kesadaran ditengah-tengah masyarakat bahwa besarnya potensi wakaf yang ada di Indonesia, Dompet Dhuafa memiliki peran penting untuk mengembangkan potensi wakaf dalam rangka menunjang kesejahteraan masyarakat, namun juga dapat di lindungi dalam aspek hukum serta regulasi kebijakan sehingga dapat memberikan kepastian,” Ujar Amin Suma kembali[3]. (Dona)
—
[1] https://www.antaranews.com/berita/1053902/komisi-informasi-sebut-ruu-pertanahan-rampas-hak-akses-informasi
[2] https://icel.or.id/substansi-ruu-pertanahan-belum-menjawab-permasalahan-agraria-pengesahan-harus-ditunda/
[3] https://www.kbknews.id/2019/09/11/dompet-dhuafa-gelar-diskusi-ruu-pertanahan-dalam-perspektif-penguatan-wakaf/