Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah memiliki tujuan untuk menyasar tiga permasalahan utama yang tertera pada bagian menimbang naskah RUU, yaitu mengatasi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; tumpang tindih peraturan perundang-undangan; serta konflik dan sengketa pertanahan. Namun sangat disayangkan, substansi RUU Pertanahan pada naskah per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab tiga persoalan utama tersebut.

RUU pertanahan saat ini belum dapat menjawab permasalahan ketimpangan struktural penguasaan tanah. RUU ini mengatur mengenai pembatasan penguasaan atas tanah, namun juga membuka peluang penyimpangan terhadap pembatasan ini.[1] RUU ini sama sekali tidak mengatur mengenai perombakan penguasaan tanah dan redistribusi kelebihan penguasaan atas tanah. Malahan, RUU ini berpotensi memberikan pemutihan bagi pelanggaran penguasaan fisik atas tanah yang melebihi Hak Guna Usaha (HGU) atau penguasaan atas tanah yang belum memiliki HGU.[2]

RUU ini juga nampaknya hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring yang dahulu digunakan Belanda untuk merampas tanah dari masyarakat, dengan mengatur bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan hak atas tanahnya maka otomatis menjadi tanah negara. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi masyarakat adat yang hingga saat ini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan terhadap wilayah adatnya.

Alih-alih menjawab permasalahan ketimpangan struktural, RUU pertanahan ini justru memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pencabutan Hak Atas Tanah dalam keadaan mendesak dan atas nama kepentingan umum.[3] Sementara kriteria “keadaan mendesak” dan “kepentingan umum” ini tidak diatur secara jelas. Selain itu, keberadaan Bank Tanah yang diperkenalkan RUU ini perlu diantisipasi agar lembaga ini tidak malah menjadi alat untuk komodifikasi tanah semata yang justru akan memperburuk ketimpangan struktural penguasaan tanah.

Tumpang tindih peraturan dan permasalahan pengelolaan sektoral adalah isu klasik dalam perbaikan tata kelola agraria. Meskipun telah disebut sebagai salah satu tujuan pembentukan RUU, serta dimandatkan dalam TAP MPR No. XI Tahun 2001, tidak ada satupun pasal dalam RUU Pertanahan yang mengatur mengenai harmonisasi peraturan ini.

RUU ini mencoba untuk mengatur pengelolaan lintas sektor dengan juga memasukan pengaturan Kawasan hutan dan lahan pertanian, tetapi hanya dengan memperkuat kewenangan Kementerian ATR/BPN, tanpa mengatur peran dan tanggungjawab kementerian terkait lainnya. Permasalahan pengelolaan sektoral hendak dijawab melalui administrasi pertanahan terpadu (single land administration) melalui RUU ini, namun hendaknya single land administration ini perlu diletakkan tidak sebatas pencatatan saja, tetapi sebagai bagian dalam perbaikan tata kelola pertanahan nasional.

Dalam rangka perbaikan tata kelola pertanahan nasional, terdapat satu hal yang tidak diatur dalam RUU Pertanahan ini, yaitu mengenai jaminan keterbukaan informasi penting terkait pertanahan. Tidak adanya transparansi informasi di bidang pertanahan telah mengakibatkan banyak persoalan tumpang tindih hak atas tanah dan melemahkan kontrol publik terhadap peruntukan dan pemanfaatan tanah. Bahkan meskipun telah ada putusan Mahkamah Agung yang berkuatan hukum tetap pun, informasi penting pertanahan seperti HGU tidak juga dipublikasikan oleh Kementerian ATR/BPN.

Melihat kronisnya masalah ketertutupan informasi ini, hendaknya RUU Pertanahan memberikan pengaturan tegas dan solutif terkait jaminan keterbukaan informasi. Bukan hanya menyematkan satu pasal yang berbunyi umum bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi publik di bidang pertanahan, tetapi juga memandatkan informasi wajib apa yang harus dipublikasikan kepada masyarakat secara proaktif.

Dalam menyelesaikan konflik agraria, Pengadilan pertanahan adalah salah satu instrumen yang dibanggakan dalam RUU ini. Namun konsep pengadilan pertanahan ini tidak sesuai denga sistem peradilan Indonesia. Pengadilan pertanahan ini diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan pidana, perdata dan administrasi pertanahan.[4]

Padahal pengadilan tanah berada di bawah pengadilan umum yang tidak berwenang mengadili sengketa administrasi. Terlebih lagi pengadilan tanah ini diatur hanya berada di tingkat provinsi, yang akan mempersulit akses masyarakat di daerah pelosok dan pedalaman. Penyelesaian konflik agrarian memerlukan mekanisme dari hulu ke hilir, dari mulai inventarisasi penguasaan tanah secara de facto dan de jure, konflik tanah, penelantaran tanah, penyelesaian tumpang tindih hak atas tanah hingga mekanisme redistribusi tanah.  Penyelesaian konflik agraria yang terlalu mengedepankan pendekatan legal formal tidak akan memenuhi rasa keadilan di lapangan.

Satu hal yang sama sekali luput dalam pembahasan RUU Pertanahan ini adalah pengaturan pemanfaatan tanah dengan memperhatikan perlindungan ekosistem. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan bagian dari ekosistem yang memiliki fungsi tertentu. Pengelolaan tanah yang hanya memandang tanah sebagai sebidang lahan yang dapat menjadi komoditas akan mengakibatkan tidak selarasnya kebijakan pertanahan dengan kebijakan perlindungan lingkungan hidup.

RUU tanah belum berbicara mengenai inventarisasi tanah berdasarkan kondisi atau fungsi tanah yang akan berpengaruh pada pengelolaannya. Contohnya, tanah bergambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter yang pemanfaatannya terbatas pada fungsi lindungnya. Isu pencabutan hak atas tanah hendaknya bukan sekedar isu pelanggaran prosedural izin, tetapi juga pelanggaran pemanfaatan tanah yang tidak sesuai peruntukan dan fungsinya, seperti pembukaan lahan dengan bakar.

Melihat masih banyaknya kelemahan pada substansi RUU Pertanahan saat ini, Pemerintah dan DPR RI hendaknya tidak memaksakan pengesahan RUU ini dengan tergesa-gesa. Penundaan pengesahan harus dilakukan hingga substansi RUU Pertanahan diperbaiki bersama dengan partisipatif. Kelompok Masyarakat Sipil pun sepakat bahwa UU Pertanahan diperlukan untuk melengkapi UU Pokok Agraria yang belum dapat menjawab persoalan aktual agraria. Namun, UU Pertanahan ini tidak akan berguna jika hanya sekedar “ada” tanpa mampu menyelesaikan persoalan di lapangan.(Rika)

________

[1] Pasal 18 RUU Pertanahan, naskah Rapat Panja Pertanahan 21-22 Juni 2019

[2] Pasal 154 RUU Pertanahan, naskah Rapat Panja Pertanahan 21-22 Juni 2019

[3] Pasal 74 RUU Pertanahan, naskah Rapat Panja Pertanahan 21-22 Juni 2019

[4] Pasal 92, naskah Rapat Panja Pertanahan 21-22 Juni 2019