Direvisinya PP 71/2014 dengan PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, memberikan harapan yang lebih besar dalam pemulihan lahan gambut dan pengurangan kebakaran.

Sekitar 60% lahan basah yang ada di dunia adalah gambut, di Indonesia lahan gambut mencapai 12% luas daratan. 50% dari seluruh total lahan gambut yang ada di negara-negara non-annexed I (negara-negara non penyumbang gas rumah kaca akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an) berkontribusi terhadap penambahan gas rumah kaca di muka bumi.

Tahun 2009, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26-41% hingga tahun 2020. Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengelola lahan gambut secara berkelanjutan.

Prof Azwar Ma’as, Pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan pengelolaan lahan gambut perlu kehati-hatian, tidak bisa sembarangan untuk dilakukan pengelolaan, apalagi pada lahan gambut yang memiliki kubah gambut sedalam 3 meter. Pengelolaan lahan gambut harus melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap), mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan[1].

Peneliti Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan ICEL Marsya Mutmainah Handayani juga menyatakan hal yang tak jauh berbeda, selain itu lahan gambut yang kering akan mudah terbakar. Terbakarnya lahan gambut akan menyumbang perubahan iklim, saat gambut terbakar maka karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut akan terlepas ke atmosfer. Kemudian karbon-karbon tersebut terkakumulasi mengakibatkan gas efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Sejatinya lahan gambut tidak mudah terbakar karena ia merupakan lahan basah/wetland atau dengan kata lain ia mengandung air.

“Perlu dipahami bahwa lahan gambut merupakan carbon sink/penyimpan karbon. Karbon ini terbentuk dari proses pembusukan bahan-bahan organic yang mati dan tertimbun jutaan tahun yang lalu, sehingga menjadi lahan gambut. Selain itu, lahan gambut juga memiliki fungsi jasa lingkungan lain, sepeti penyimpanan air, dan habitat bagi sumber daya hayati yang beraneka ragam. Indonesia memiliki lahan gambut yang luas dan unik jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki gambut. Namun hal ini bagai pedang bermata dua, ia bisa menjadi anugerah dan malapetaka. Ia menjadi anugerah ketika ekosistemnya terlindungi dengan tetap menjadi penyimpan karbon. Ia menjadi malapetaka ketika ekosistemnya tidak terlindungi, sebagaimana kasus pada tahun 2015 yang mengakibatkan bencana asap sampai ke negara tetangga dan hilangnya habitat bagi satwa maupun hilangnya species tanaman gambut,” Ujar Marsya.

Marsya menambahkan bahwa regulasi saat ini merupakan yang terbaik yang kita miliki walaupun tentunya masih dapat ditingkatkan. Direvisinya PP No. 71/2014 dengan PP No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, memberikan harapan yang lebih besar dalam pemulihan lahan gambut dan pengurangan kebakaran. Selain karena PP ini telah memberikan definisi yang lebih spesifik mengenai gambut, ia juga mengakui pelindungan kesatuan hidrologi gambut. Kemudian juga PP ini memberikan kewenangan kepada Pemda untuk melakukan pemulihan, namun hal ini menimbulkan dualisme kewenangan dengan BRG. PP ini juga menambah larangan dan cara-cara pemulihan lahan gambut.

Untuk diketahui bahwa pada 2 Februari 2019 lalu, merupakan hari Lahan Basah Se-Dunia (World Wetland Day). Lahan Basah merupakan daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut dan perairan baik terbentuk secara alami maupun terbentuk secara buatan, baik secara tetap ataupun sementara dengan ciri-ciri air tergenang atau mengalir, tawar, payau maupun asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut.

Setiap tanggal 2 Februari pada setiap tahunnya diperingati sebagai hari lahan basah di seluruh dunia, hal ini bermula dari ditanda tanganinya Konvensi Lahan Basah, yang disebut Konvensi Ramsar, pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar. Pada tahun 1997 hari lahan basah ini diperingati untuk pertama kalinya. Pada awalnya konvensi ini berfokus pada masalah burung air termasuk burung air migran, lalu berkembang kepada konservasi ekosistem lahan basah termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Bahkan saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.  Melihat kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa lahan basah adalah penyangga kehidupan. Indonesia masuk menjadi anggota Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Keppres 48 th 1991 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Ramsar di Indonesia[2]. (Marsya, Dona)

——–

[1] https://www.mongabay.co.id/2015/01/16/mau-kelola-lahan-gambut-inilah-pesan-para-pakar-bagian-2/

[2] https://indonesia.wetlands.org/id/acara/mangroves-ecosystems-in-indonesia-a-strategic-resource-for-a-local-sustainable-economy-and-adaptation-to-climate-change/