Telah menjadi pembahasan umum bahwa hingga saat ini pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (“EBT”) di Indonesia masih belum maksimal dan terkendala banyak isu. Setidaknya hal inilah yang diidentifikasi oleh berbagai pakar dalam Seminar “Strategi Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik” di Institut Teknologi Bandung, 26-27 November 2018. Secara khusus, Eddie Widiono, dari Prakrasa Jaringan Cerdas Indonesia, menyatakan bahwa baru sekitar 1% pembangkit energi baru terbarukan yang terpasang dari seluruh total potensi, sebesar 866 GW. Tidak hanya itu, Eddie mengungkapkan fenomena bahwa penetrasi pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT nyatanya turun dari tahun 2009 hingga 2016. “Pada 2009, penetrasi pembangunan pembangkit EBT kita sudah mencapai 11% kWh, namun di tahun 2016 angka ini turun mencapai 7%. Hal ini dikarenakan pembangunan PLTU Batubara ternyata lebih cepat”, pungkasnya. Sekalipun begitu, Eddie menyatakan bahwa melihat tren ini, perlu dilakukan langkah strategis agar target pengembangan EBT sebesar 23% pada 2025 tercapai.
Lebih jauh, dalam Seminar yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan ini, para pembicara sepakat bahwa langkah strategis ini merupakan tanggung jawab bersama dari berbagai pihak. Isu yang menjadi fokus tidak lagi hanya bagaimana cara yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk mencapai target pengembangan EBT tersebut. Namun, terdapat isu besar lainnya yang menjadi pembahasan yakni bagaimana pembangkit berbasis EBT ini dapat dioptimalkan untuk menopang pemenuhan kebutuhan kelistrikan di seluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan pembangkit berbasis EBT memiliki peran bukan hanya dalam mendorong pengembangan energi yang rendah emisi, namun juga dapat menjadi jawaban atas permasalahan elektrifikasi di daerah terluar dan terpencil. Selain itu, secara umum pengembangan EBT ke depannya juga diprediksikan akan jauh lebih murah dibandingkan pembangkit berbasis energi fosil. Pertanyaannya kini, apakah benar EBT mampu menjadi penopang pemenuhan kebutuhan listrik di seluruh wilayah Indonesia?
Pengembangan EBT Dalam Kerangka Pemenuhan Energy Trilemma
Saat ini, pengembangan pembangkit berbasis EBT digadang untuk dikembangkan karena isu lingkungan terhadap energi fosil yang semakin menguat. Namun perlu dipahami bahwa dalam penyediaan listrik kepada masyarakat, hal yang perlu dikedepankan bukan hanya pertimbangan lingkungan saja. Sebagaimana dirilis oleh World Energy Council, dimensi yang perlu diperhatikan dalam penyediaan energi, termasuk ketenagalistrikan, kepada masyarakat adalah energy security (keamanan pasokan), energy equity (aksesibilitas dan keterjangkauan), serta environmental sustainability (pembangunan rendah emisi). Adapun ketiga indeks ini tercakup dalam Energy Trilemma Index yang kerap digunakan di berbagai negara untuk mengukur performa kebijakan energi mereka. Berangkat dari hal ini, pembangkit berbasis EBT memang diyakini menjadi jawaban untuk dimensi environmental sustainability. Namun bagaimana pembangkit EBT ini dapat dioptimalkan untuk menjamin keamanan pasokan dan aksesibilitas kepada penyediaan listrik?
Lukman Prananto, Senior Vice President Pina Center for Private Investment Bappenas, menyatakan bahwa dalam “Visi Indonesia 2050” yang dirancang oleh Bappenas, prioritas pengembangkan EBT ke depannya adalah dengan menjadikan Bio Energi, Air, dan Panas Bumi sebagai energi primer tumpuan untuk beban dasar (base load) kelistrikan Indonesia. Hal ini mengingat sifat sumber energi ini yang konsisten dan dapat menyediakan energi sepanjang hari, tanpa harus bergantung kepada sinar matahari atau keberadaan angin. Terlebih, mengutip data potensi yang dipaparkan oleh Eddie Widiono, Indonesia memiliki limpahan potensial kapasitas dari air, panas bumi, dan bio energi. Dipaparkan bahwa potensi pembangkit air kita mencapai 75 GW, panas bumi 29 GW, serta bio energi 34 GW. Untuk itu, menjadikan sumber energi ini menjadi tumpuan base load merupakan solusi yang layak.
Disamping itu, mengutip riset dari Benjamin Matek dan Karl Gawell (2015) bertajuk “The Benefits of Baseload Renewables: A Misunderstood Energy Technology”, pada masa terdahulu, berbagai negara menjadikan batu bara sebagai tumpuan base load mereka. Khusus untuk di USA, pembangkit berbasis batubara ini dioperasikan bersamaan dengan pembangkit nuklir. Namun kini dapat terlihat bahwa keandalan pembangkit berbasis bioenergi, air, dan panas bumi, dapat dipersamakan dengan pembangkit batubara konvensional tersebut dan dapat diintegrasikan tanpa membutuhkan back-up. Terlebih pembangkit listrik berbasis panas bumi. Pembangkit ini dapat beroperasi sangat efisien ketika dioperasikan terus menerus tanpa gangguan. Berkaitan dengan keuntungan ketiga energi ini dipergunakan sebagai base load, riset tersebut juga mengatakan bahwa hal ini dapat menghasilkan emisi yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan EBT yang berbasis intermittent dan mengkombinasikannya dengan pembangkit berbasis gas atau stored-energy sebagai back-up.
Disamping mengutamakan ketiga sumber energi tersebut sebagai base load, George Djohan, Country Leader GE Gas Power Systems Indonesia, memaparkan isu lain dalam mengoptimalkan pembangkit EBT yang bersifat intermittent, yang umumnya adalah energi angin dan surya. Permasalahan terbesar dari kedua jenis energi ini adalah adanya ketidakcocokan antara supply dan demand. Mengingat sifat energi angin dan surya yang “sewaktu-waktu”, tentu energi ini tidak dapat digunakan untuk memenuhi demand terhadap listrik sepanjang hari. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dapat berfungsi secara optimal pada siang hari, namun tidak dapat berfungsi secara optimal pada saat peak-load atau beban puncak (sekitar pukul 18.00- 20.00), dikarenakan ketiadaan sumber energi pada saat tersebut. Melihat sifatnya yang intermittent ini tentu diperlukan elemen lain yang dapat menjadi jawaban atas gap ini. Pertanyaannya kini, elemen apa sajakah yang diperlukan untuk menopang pengembangan pembangkit EBT yang bersifat intermittent ini?
Kombinasi Energy-Mix Dalam Menjawab Tantangan Pengembangan EBT Intermittent
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa isu yang masih gencar dibahas adalah bagaimana mengatasi sifat intermittent dari EBT, khususnya angin dan surya, apabila ingin menggunakan kedua energi tersebut sebagai tumpuan kelistrikan di suatu wilayah. Menjawab hal ini, Jesus de La Fuente, Regional Salaes Manager PT. Siemens, menjelaskan bahwa hybrid solutions atau pengkombinasian penyediaan kelistrikan dari berbagai elemen adalah jawaban yang tepat. Hybrid solutions ini perlu dikedepankan mengingat masing-masing pembangkit memiliki kelemahannya masing-masing. Baginya, pembangkit berbasis EBT memang tidak menghasilkan emisi dan ekonomis, namun tidak dapat diandalkan karena sifat intermittent-nya.
Untuk mengatasi hal ini, George Djohan berpendapat bahwa pembangkit berbasis gas alam (PLTG) dapat digunakan sebagai penopang sifat intermittency tersbebut. Beberapa alasan yang George ungkapkan adalah karena pembangkit ini fleksibel karena memiliki respon yang cepat dan real time, dari sisi investasi cukup terjangkau, dapat dibangun dalam waktu singkat, dan yang terpenting adalah dapat diandalkan dengan cepat ketika produksi pembangkit EBT sedang menurun. Kebutuhan adanya pembangkit yang bersifat fleksibel untuk mendampingi pembangkit EBT juga diamini oleh Syawalinto Rahmaputro dari PT. Wartsila. Baginya pembangkit yang fleksibel ini diidentifikasi dengan dapat dinyalakan di bawah lima menit, kemudian dalam kondisi drop, dapat dibenahi dalam satu menit, hingga sanggup beroperasi pada load yang rendah. Hal ini terlihat dalam pembangkit listrik berbasis gas alam tersebut.
Pada dasarnya, penggunaan pembangkit listrik berbasis gas untuk menopang saat ada peak load telah direncanakan dalam RUPTL PT. PLN (Persero) 2018-2027. Namun, melansir dari beberapa pemberitaan di media akhir-akhir ini, tren ini akan berubah. Merujuk pada rencana perubahan RUPTL PT. PLN (Persero) 2019-2028, kapasitas pembangkit listrik berbasis gas ini akan dipangkas. Hal ini dikarenakan harga gas diprediksikan akan naik dan dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap harga listrik itu sendiri. Sebagai gantinya, dalam beberapa media, Direktur Utama PT. PLN (Persero), Sofyan Basir, mengatakan bahwa pembangkit listrik yang digunakan khusus untuk memikul peak load akan lebih efektif apabila menggunakan energi terbarukan, khususnya pembangkit berbasis air dan panas bumi. Hal ini mengingat pembangkit berbasis energi terbarukan akan jauh lebih murah dibandingkan pembangkit berbasis gas.
Tambahan lainnya, Jesus mengatakan mengkombinasikan pembangkit berbasis gas alam untuk memikul peak load nyatanya belum cukup untuk mendukung keandalan pemenuhan tenaga listrik. Baginya, pembangkit berbasis gas memang dianggap dapat digunakan dengan menyesuaikan pada kebutuhan listrik serta ekonomis, namun tidak dapat menjadi back-up secara cepat. Untuk itu, perlu juga menggabungkan kedua elemen ini dengan energy storage atau menyimpan energi yang dihasilkan pada satu waktu tertentu untuk digunakan di lain waktu. Meskipun tidak dapat digunakan secara kontinu, energy storage dianggap memiliki respon yang cepat ketika ada masalah dalam sistem ketenagalistrikan. Selain itu, stored-energy ini juga dianggap rendah emisi, sehingga menjadi pilihan yang baik untuk membantu menopang sistem kelistrikan Indonesia. Melihat pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengkombinasian penggunaan pembangkit EBT, pembangkit yang fleksibel (khususnya yang berbasis gas alam), dan energy storage dianggap dapat menjawab tantangan penyediaan tenaga listrik yang andal, terjamin, dan fleksibel.
Penutup: Partisipasi Publik Masih Terbatas Dalam Mengawal Pengembangan EBT
Melihat diskusi yang tersebut di atas, sebenarnya secara umum dapat tergambar bahwa pembangkit berbasis EBT dapat dijamin keandalannya sebagai penopang kelistrikan Indonesia. Baik dengan menjadikan pembangkit EBT sebagai base-load secara keseluruhan, maupun menopangnya dengan pembangkit yang fleksibel dan energy storage untuk menopang peak-load dan saat darurat. Adanya potensi ini tentu perlu dikawal keberlangsungannya dari hulu ke hilir agar dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Mengutip paparan Hakimul Batih, Indonesian Institute for Energy Economics, siklus penuh pengembangan EBT ini ada mulai dari perencanaan, implementasi, hingga pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Mengingat penyediaan tenaga listrik merupakan usaha yang termasuk dalam cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka pengawalan dari hulu atau sisi perencanaan adalah hal yang paling penting. Sayangnya, partisipasi publik cukup dibatasi dalam tahap perencanaan ini.
Dari sisi perencanaan, hal yang dapat publik lakukan salah satunya adalah dengan mengawal penyusunan Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (“RUED-P”) yang saat ini tengah dibahas di hampir seluruh provinsi di Indonesia atau Rencana Umum Energi Daerah Kabupaten/Kota (“RUED-K”. Dalam RUED-P ini nantinya akan ditetapkan target pembangunan pembangkit tenaga listrik per provinsi hingga 2050. Penting untuk diperhatikan seberapa besar bauran pembangkit berbasis EBT yang akan dibangun di daerah tersebut. Adapun berdasarkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Umum Energi, masyarakat memiliki peran untuk memberikan gagasan, data dan/atau informasi secara tertulis dalam penyusunan RUED-P tersebut. Sayangnya, pemberian gagasan ini hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tiga puluh hari kerja sejak Kepala Satuan Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi mengumumkan rencana penyusunan RUED-P dan RUED-K melalui laman (website) Pemerintah atau media lainnya. Sekalipun begitu, dalam tahap implementasi Hikamul mengatakan bahwa terdapat uji publik dalam penyusunan RUED-P yang dapat dihadiri oleh perwakilan masyarakat daerah. Uji publik ini dilakukan setelah finalisasi dokumen RUED-P dan naskah akademik itu sendiri.
Disamping itu, perencanaan ketenagalistrikan yang juga seharusnya perlu dikawal adalah penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah Provinsi. Dalam Rencana ini, juga ditetapkan terkait dengan arah pengembangan tenaga listrik ke depannya. Perlu untuk diperhatikan sejauh apa RUKN dan RUKD memperhatikan target pengembangan pembangkit berbasis EBT dalam jangka waktu 20 tahun ke depan. Perlu juga diperhatikan bahwa berdasarkan Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, RUKN perlu merujuk pada RUEN. Maka perlu untuk dikawal bagaimana kesinambungan antara kedua dokumen perencanaan tersebut. Namun sayangnya, menurut Permen ESDM No. 24 Tahun 2015, tidak dijelaskan bagaimana keterlibatan publik dalam penyusunan perencanaan ini. Peraturan ini hanya menetapkan bahwa dalam penyusunan RUKN dan RUKD, perlu mengikutsertakan semua pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung di sektor ketenagalistrikan yang berada di wilayah administrasinya.
Lebih jauh lagi, seharusnya publik dapat diberikan ruang untuk mengawal penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), khususnya RUPTL yang disusun oleh PT. PLN (Persero). Hal ini dikarenakan dokumen ini berisikan terkait rencana pengembangan pembangkit tenaga listrik yang sudah implementatif dibandingkan kedua dokumen perencanaan sebelumnya dengan target waktu yang lebih riil. Perlu untuk dikawal disini adalah bagaimana landasan pengambilan keputusan pemilihan energi primer untuk mengembangkan pembangkit listrik di satu daerah. Adapun penyusunan RUPTL ini perlu merujuk kepada RUEN serta mengacu kepada RUKN, sehingga perlu untuk dilihat apakah dokumen ini benar-benar telah mengimplementasikan visi misi pengembangan EBT sebagaimana dimaksud dalam kedua dokumen tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini peraturan terkait dengan tata cara penyusunan RUPTL masih belum disahkan. Sekalipun begitu, merujuk kepada draf terakhir peraturan Menteri bersangkutan, penyusunan tidak dijelaskan bagaimana partisipasi masyarakat dapat diakomodir dalam penyusunan rencana ini. Dalam draf terakhir peraturan ini, memang dijelaskan bahwa RUPTL disusun dengan memperhatikan prinsip efisiensi, transparansi, dan partisipasi. Namun sayangnya, tidak dijelaskan bagaimana prinsip transparansi dan partisipasi ini diimplementasikan. Dalam praktiknya, publik hanya terbatas saat sosialisasi setelah RUPTL tersebut di revisi dan disahkan perubahannya setiap tahun. Untuk itu, kedepannya perlu didorong bagaimana partisipasi publik dalam penyusunan dokumen ini, mengingat dokumen inilah yang justru menjadi acuan yang paling implementatif dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT di Indonesia. (Grita)