Akhir-akhir ini, pembahasan terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) kerap menjadi pembahasan menyusul arahan Presiden Joko Widodo untuk terus mempercepat pembangunan pembangkit tersebut. Pada dasarnya, pembangunan PLTSa ini dilakukan sebagai salah satu program untuk memenuhi strategi penerapan teknologi penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang ramah lingkungan dan tempat guna.[1]
Secara umum, tindakan ini dilakukan sebagai bentuk peningkatan kinerja untuk penanganan.[2] Dalam perkembangannya, nyatanya pembangunan PLTSa tidak hanya dilakukan untuk penanganan sampah saja, namun juga untuk memenuhi sumber kelistrikan di Indonesia, khususnya dalam hal meningkatkan peran energi terbarukan, disandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya di Indonesia seperti air, angin, hingga surya.
PLTSa Sumber Energi Terbarukan?
Di Indonesia, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) dikategorikan sebagai energi terbarukan. Secara historis, adanya definisi PLTSa sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia adalah dengan diterbitkannya Perpres No 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar yang dalam bagian menimbang peraturan tersebut menjelaskan bahwa PLTSa di Indonesia perlu dibangun dalam rangka mengubah sampah sebagai sumber energi dan meningkatkan kualitas lingkungan, serta untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan. Bahkan dalam definisi PLTSa di peraturan tersebut juga telah diterangkan dalam pasal 1 angka 3 peraturan terkait, yakni:
“Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang selanjutnya disingkat dengan PLTSa adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan berbasis sampah kota yang diubah menjadi energi listrik melalui teknologi thermal process meliputi gasifikasi, incinerator, dan pyrolysis”
Meskipun dalam Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (peraturan yang menggantikan Perpres No 18 Tahun 2016) definisi terkait PLTSa sebagai energi baru dan terbarukan tersebut sudah tidak ada, namun dalam implementasinya PLTSa tetap dikategorikan sebagai energi terbarukan, khususnya ketika merujuk pada peraturan-peraturan di lingkup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Adapun contoh peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri ESDM No. 53 Tahun 2018 terkait Pemanfaatan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang mengategorikan PLTSa sebagai sumber energi terbarukan. Saat ini PLTSa didefinisikan sebagai “Pengolah Sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan yang memenuhi baku mutu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dapat mengurangi volume sampah secara signifikan serta teruji”.[3] Sayangnya, pengertian teknologi ramah lingkungan masih ambigu.
Secara khusus, peraturan perundang-undangan Indonesia mendefinisikan sumber energi terbarukan sebagai sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.[4] Dalam implementasinya, anggapan sampah kota sebagai sumber energi terbarukan dikarenakan sampah termasuk dalam kategori bioenergi. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi dalam artikel di laman resminya lebih mengkhususkan kembali bahwa tidak semua jenis sampah termasuk dalam kategori bioenergi, namun hanyalah yang bersumber dari sampah organik.[5]
PLTSa: Antara permasalahan lingkungan dengan percepatan pembangunan energi terbarukan
Pengkategorian PLTSa sebagai sumber energi terbarukan hingga saat ini kerap diperdebatkan. Terlebih karena penggunaan teknologi bakar atau termal kerap menjadi masalah karena mengandung permasalahan dari aspek lingkungan dan ekonomi, serta berkaitan juga dengan kesehatan manusia. Pada dasarnya penggunaan insinerator membuang emisi berupa dioksin atau senyawa yang berkarakteristik persisten, bioakumulatif dan karsinogen.[6]
Selain itu, insinerator juga menghasilkan partikel halus serta logam-logam berat, termasuk merkuri, timbal, kadmium, tembaga dan seng. Kesemuanya ini dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Berbagai penyakit yang dapat timbul akibat terpapar sumber pencemar ini meliputi kanker, permasalahan reproduksi dan perkembangan, kerusakan pada sistem imun, hingga penurunan fungsi paru, kanker, serangan jantung, dan kematian dini.
Sayangnya, di sisi lain penetapan PLTSa sebagai energi terbarukan menjadikan pembangunan PLTSa menjadi diproritaskan dan diberikan berbagai kemudahan dipersamakan dengan pengembangan sumber energi terbarukan lainnya. Tentunya hal ini dilakukan untuk mengejar target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional Indonesia pada 2025. Hal ini sebagaimana tercantum dalam PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyatakan bahwa prioritas pengembangan energi nasional didasarkan pada prinsip memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian.[7]
Selain itu, kemudahan yang dapat didapatkan dalam pembangunan PLTSa sebagai sumber energi baru dan terbarukan meliputi pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan dan non-perizinan, penetapan harga beli tenaga listrik dari masing-masing jenis sumber energi baru dan terbarukan, pembentukan badan usaha tersendiri dalam rangka penyediaan tenaga listrik, hingga penyediaan subsidi.[8] Dalam tahap penyediaan tanah-pun pembangunan PLTSa juga dapat dikategorikan sebagai proyek strategis, yang ketentuan pengadaan tanahnya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan menggunakan waktu minimum.
Berkaitan dengan harga pembelian tenaga listrik, saat ini harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) untuk PLTSa ditetapkan berdasarkan kapasitas. Untuk besaran sampai dengan 20 MW, harga pembelian dihargai sebesar USD 13.35 cent/kWh yang terinterkoneksi jaringan tegangan tinggi, tegangan menegah atau tegangan rendah. Adapun untuk kapasitas yang lebih dari 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan menengah, harga pembelian dihitung dengan perhitungan: 14,54 – (0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke PLN).
Penutup
Sebagai penutup, artikel ini menggaris bawahi bahwa pembangunan PLTSa memiliki dampak kesehatan dan dampak lingkungan yang luas. Mengategorikan PLTSa sebagai salah satu sumber energi terbarukan nyatanya memiliki berbagai risiko. Di tengah usaha Pemerintah Indonesia untuk terus menggenjot pengembangan energi terbarukan, tanpa adanya definisi yang jelas terkait pengembangan PLTSa, pembangunan PLTSa dengan sampah yang bersumber dari baik sumber organik dan sumber anorganik dapat dikategorikan sebagai pembangkit listrik yang diprioritaskan dan diberikan berbagai macam insentif atau kemudahan.
Padahal pengembangan PLTSa dengan teknologi termal membutuhkan kajian dan pertimbangan secara mendalam serta menyeluruh. Jika memang ke depannya regulasi Indonesia masih menganggap PLTSa sebagai sumber energi terbarukan, perlu ada safeguard yang lebih ketat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk PLTSa sebelum pada akhirnya diberikan berbagai fasilitas dan kemudahan seperti dalam pengembangan energi terbarukan yang lain. (Grita)
—
[1] Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, lampiran II.
[2] Ibid
[3] Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, ps. 1 angka 6.
[4] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, ps. 6
[5] Ditjen EBTKE, “Indonesia sebagai lumbung bioenergi dunia” http://ebtke.esdm.go.id/post/2011/01/17/70/indonesia.sebagai.lumbung.bioenergi.dunia
[6] “Bagaimana cara kerja incinerator dan apa saja bahaya tersembunyi dari incinerator” https://www.balifokus.asia/single-post/2016/06/14/Bagaimana-cara-kerja-insinerator-dan-apa-saja-bahaya-tersembunyi-dari-insinerator
[7] Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, ps. 11 ayat (2)
[8] Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, ps. 14 ayat (2)