KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (20/12/2022).

Sejumlah materi dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan masih terdapat persoalan sehingga tidak memprioritaskan energi terbarukan.

JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Indonesia menuju transisi energi dari fosil ke energi terbarukan butuh pengawalan ketat, terutama dari segi kebijakan. Apalagi, sejumlah materi di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan masih terdapat persoalan sehingga tidak memprioritaskan energi terbarukan. Hal ini justru bisa berdampak pada terhambatnya transisi energi ke depannya.

Menurut peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) justru membuka peluang untuk terus menggunakan batubara sebagai kebutuhan energi baru seperti gasifikasi batubara dan batubara tercairkan. Sumber energi baru tersebut akan berpotensi menghambat upaya penurunan gas rumah kaca (GRK).

Padahal, sejumlah negara sudah mengambil langkah dengan efisiensi energi fosil. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan energi dari batubara secara perlahan digantikan energi terbarukan.

”Namun, RUU ini tidak fokus pada energi terbarukan, tetapi justru berfokus ​​memberikan insentif untuk perusahaan batubara yang melakukan konversi atau inovasi pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai upaya menurunkan emisi,” ujarnya saat diskusi media ”Urgensi Rancangan Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Implementasi Kebijakan Transisi Energi” di Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Sementara itu, berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR), pada 2022 bauran energi terbarukan justru turun menjadi 10,4 persen dibandingkan tahun 2021, yakni sebesar 11,5 persen. Padahal, pemerintah mematok target 23 persen pada 2025.

IESR juga mencatat, selama 20 tahun, sektor energi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia, yakni sebesar 32 persen. Dari jumlah tersebut, sektor pembangkit listrik terutama PLTU merupakan kontributor terbesar dari sektor energi.

Grita menuturkan, RUU EBET bukan merupakan satu-satunya cara dalam mendorong transisi energi yang berkeadilan. Pemerintah dapat merevisi kebijakan energi nasional dengan menetapkan target energi terbarukan yang lebih kuat.

”Karena jika masih menetapkan target bauran energi dari batubara sebesar 23 persen pada 2025, Indonesia akan terus menggunakan energi fosil,” katanya.

Menurut juru kampanye Trend Asia, Novita Indri, transisi menuju energi bersih dipersulit dengan kondisi kelebihan pasokan jaringan listrik di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Penghentian dini operasi PLTU batubara harus menjadi prioritas utama pemerintah.

Sementara, pemerintah malah secara bertahap mengurangi penggunaan batubara dengan memanfaatkan teknologi co-firing. Novita mengatakan, strategi ini rawan digunakan untuk memperpanjang usia PLTU dengan embel-embel ”hijau” karena disebut sebagai metode mengurangi emisi dan menambah bauran energi terbarukan.

Trend Asia menghitung bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar co-firing biomassa 10 persen yang direncanakan pemerintah, akan dibutuhkan pengembangan hutan tanaman energi (HTE) seluas hingga 2 juta hektar atau setara 35 kali luas Provinsi Jakarta. Ini setara dengan 3.270.000 lapangan sepak bola.

Masih menunggu DIM

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Diah Nurwitasari, mengatakan, Komisi VII masih menunggu pemerintah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET untuk segera dibahas. Pada 29 November 2022, draf DIM RUU EBET yang disampaikan oleh pemerintah hanya menyebutkan terdiri dari 574 nomor dengan rincian 52 pasal diubah, 10 pasal tetap, dan 11 pasal baru, tetapi tidak ada dokumen resmi yang diserahkan.

”Kita masih belum tahu secara detail pasal-pasal yang diubah karena baru dijelaskan secara garis besar saja, seperti transisi energi dan peta jalan, sumber EBET, hingga menyetujui pembentukan majelis tenaga nuklir,” ujarnya.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan, hal yang alot dalam pembahasan DIM RUU EBET antar-kementerian ialah terkait penggunaan bersama jaringan transmisi atau power wheeling. Namun, sudah ada sejumlah opsi sehingga DIM diharapkan bisa segera dirampungkan untuk dibahas di DPR (Kompas.id, 30/11/2022).

Sumber berita: Kompas.id diakses melalui https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/12/dinilai-belum-efektif-mendukung-transisi-energi