Pengecualian informasi yang dibuka kepada publik sebagaimana diatur UU Keterbukaan Informasi Publik sifatnya terbatas. Badan publik harus menjelaskan apa dampak negatif yang muncul jika informasi yang dikecualikan itu dibuka untuk publik.
—–
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Indonesia perlu dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sesuai prinsip Good Governance. Kalangan masyarakat sipil menilai salah satu contohnya melalui keterbukaan dokumen perizinan dan kontrak sebagaimana telah diatur dalam regulasi terkait informasi publik. Tapi praktiknya menghadapi berbagai tantangan.
Deputi Direktur Program ICEL Grita Anindarini, mencatat ada beberapa hal yang perlu terus di dorong ke depan soal keterbukaan dokumen perizinan dan kontrak di sektor sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Seperti kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) dan lainnya. Hasil riset ICEL 2017-2022 terhadap putusan sengketa informasi menunjukkan masih banyak badan publik yang menganggap dokumen perizinan dan kontrak di sektor SDA dan lingkungan hidup itu tidak masuk kategori terbuka untuk publik.
Dari seluruh hasil putusan sengketa itu, Grita menyebut sebanyak 60 persen informasi yang disengketakan harus dibuka seluruhnya. Ada juga putusan ajudikasi sengketa informasi yang menolak permohonan keterbukaan informasi. Tapi untuk dokumen terkait izin yang sifatnya tata usaha negara harus terbuka kepada publik.
“Informasi yang wajib tersedia setiap saat,” katanya dalam diskusi bertema ‘Pembelajaran dan Praktik Baik Keterbukaan Dokumen Perizinan dan Kontrak SDA Melalui Open Government Partnership’, Rabu (10/05/2023).
Grita mengingatkan Pasal 17 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mengatur pengecualian untuk membuka informasi, tapi sifatnya terbatas. Setidaknya ada 2 bentuk pengecualian informasi yakni absolut dan pengecualian dengan kualifikasi. Pengecualian absolut meliputi data dan dokumen yang berkaitan dengan data pribadi. Untuk penecualian dengan kualifikasi badan publik harus menjelaskan apa konsekuensi negatif yang timbul jika informasi yang dikecualikan itu dibuka kepada publik.
“Jadi yang dikecualikan untuk dibuka informasinya itu bukan dokumennya tapi informasi dalam dokumen itu jika memang terbukti akan meniimbulkan dampak negatif,” ujarnya.
Menurut Grita kedudukan setiap dokumen SDA dan lingkungan hidup berbeda dengan dokumen lain yang umumnya mengacu hukum perdata. Tindakan pemerintahan tunduk pada asas-asas administrasi pemerintahan seperti keterbukaan, transparansi, akuntabilitas dan lainnya.
“Kontrak karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) dan lainnya adalah perjanjian yang berdimensi hukum publik, harus dibedakan dengan kontrak atau perjanjian biasa (perdata,-red),” urainya.
Grita melihat perkembangan global saat ini tak hanya mendorong keterbukaan dan transparansi perjanjian di sektor SDA dan lingkungan hidup, tapi juga energi seperti PJBL karena terkait juga dengan HAM. Misalnya penghasil listrik yang bersumber dari tenaga air, bersinggungan dengan pemenuhan hak atas air masyarakat. Dalam berbagai perkara terkait PJBL di negara lain putusan pengadilan menyebut PJBL atau power purchase agreement harus dibuka kepada publik.
Terbukanya dokuman PJBL itu menurut Grita berdampak positif karena publik bisa memantau isi perjanjian dan implementasinya. Publik di Uganda mengidentifikasi pemerintah Uganda ternyata membayar biaya energi yang lebih tinggi daripada perjanjian yang telah disepakati sehingga itu bisa dievaluasi.
“Banyak dampak positif ketika kontrak atau perjanjian itu dibuka kepada publik sehingga masyarakat bisa aktif melakukan pengawasan,” imbuhnya.
Open Government Partnership (OGP) Global Consultant of Thematic Policy Areas, Vivien Suerte Cortez, menjelaskan transparansi terhadap perjanjian atau kontrak tak sekedar wujud dari dialog publik, tapi pemerintahan yang terbuka, transparan, partisipatif dan inklusif. Tentu saja hal itu berdampak positif terhadap pentingkatan kesejahteraan rakyat.
Salah satu basis dalam OGP menurut Vivien yakni adanya proses dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil. Untuk reformasi dan rencana aksi terkait dengan bagaimana praktik di negara masing-masing. “Rencana aksi dibuat bersama masyarakat sipil dan pokok-pokok capaian yang dinilai secara berkala dan dipublikasi,” imbuhnya.
Vivien melihat banyak negara yang memasukan soal pengungkapan data, izin, dan kontrak pengelolaan SDA dalam rencana aksi nasional. Misalnya, beberapa tahun silam Nigeria tidak memiliki syarat due diligence dalam membuat perjanjian sehingga marak terjadi korupsi. Hal itu dibenahi dalam rencana aksi nasional antara lain membuat mengatur pengungkapan pemilik manfaat atau beneficial ownership kemudian membuka informasi terkait perizinan, dan kontrak seperti di sektor industri ekstraktif.
“Komitmen ini untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepada publik,” pungkasnya.
Sumber: hukumonline.com diakses melalui https://www.hukumonline.com/berita/a/mendorong-keterbukaan-dokumen-perizinan-pengelolaan-sda-dan-lingkungan-hidup-lt645b752f81086