Organisasi masyarakat sipil mengkritik kebijakan transisi energi pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian mengatakan RUU EBET memuat klasifikasi soal ‘energi baru’ yang berasal dari energi fosil. Ini misalnya teknologi gasifikasi batu bara dan batu bara cair. Selain itu, ada juga energi nuklir yang juga dikatergorikan sebagai energi baru. Beyrra mengatakan energi baru dari turunan batu bara dan nuklir bukan sumber energi yang patut didorong. Selain berisiko tinggi terhadap lingkungan, ia menyebut sumber energi tersebut juga membebani negara.

Selain mengkritik soal produk turunan batu bara, Beyrra juga menyoroti soal potensi deforestasi terkait penggunaan biomassa yang akan dipakai sebagai co-firing PLTU.  “Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” kata Beyrra, dalam keterangan resmi, Senin (6/2). Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengatakan masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.  Ia menilai pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru berdampak kepada kualitas air.  “Substansi RUU EBET belum menjawab persoalan urgensi transisi energi,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL. Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019, biaya investasi PLTN lebih mahal hingga lima kali lipat ketimbang investasi untuk energi angin dan matahari.  Tak hanya itu, RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan. Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen).  Grita menyebut riset yang ada saat ini menunjukkan baru satu persen green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia–selebihnya masih dari energi fosil.  “Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen seperti apa yang akan kita kembangkan agar tidak salah arah. Sayangnya, RUU EBET gagal untuk membahas hal ini,” tutur Grita.

Sumber berita: Katadata.co.id diakses melalui https://katadata.co.id/rezzaaji/ekonomi-hijau/63e0dfc4b291a/ormas-sipil-kritik-kebijakan-transisi-energi-dalam-ruu-ebet