JAKARTA – Pembaruan kebijakan penegakan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat urgen dilakukan. Karena dalam prakteknya penegak hukum masih menemui kesulitan dalam menjerat kejahatan konservasi.

Demikian diungkapkan Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung Sudharmawatiningsih saat jadi pembicara dalam temu wicara bertajuk, “Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di Jakarta, Rabu (27/11).

Menurut Sudharmawatiningsih, kesulitan yang umum ditemui dalam menjerat kejahatan konservasi adalah penuntutan menggunakan dakwaan tunggal. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan UU Nomor 5 Tahun 1990 yang memasukkan berbagai tindak pidana dengan kualifikasi berbeda ke dalam satu pasal.

“Sehingga jika terdapat pelaku yang melakukan lebih dari satu tindakan, pelaku tersebut hanya tetap dapat dijerat dengan satu pasal,” ujarnya.

Sudharmawatiningsih menambahkan bahwa sering juga ditemui kasus yang motifnya melibatkan kejahatan terorganisasi namun sulit untuk didakwakan karena belum diatur. Meski pada berapa kasus dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, pada akhirnya jaringan pelaku kejahatan tetap tidak dapat dijerat semua.

Konstruksi Pemidanaan

Kesulitan dalam mengkonstruksikan pemidanaan juga dialami oleh Jaksa Penuntut Umum, Anggota Satgas Sumber Daya Alam–Luar Negeri (SDA-LN) Kejaksaan Agung Heru Prasetyo mengatakan, pihaknya kesulitan dalam mengkonstruksikan apa yang dimaksud sebagai kelalaian dalam UU Nomor 5 Tahun 1990.

“Kami juga kesulitan bagaimana mengkonstruksikan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi, karena kejahatan terorganisasi ini lebih dari sekedar penyertaan pidana, tetapi UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak memberikan definisi dan ketentuan yang jelas,” ujarnya.

Sedangkan Direktur Penegakan Hukum Pidanda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yazid Nurhuda menambahkan strategi lain yang didorong untuk menyiasati keterbatasan UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah pendekatan multi door. Misalnya penggunaan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun karena penjelasan pasal TPPU tidak memasukan Penyidik KLHK sebagai penyidik TPPU, pasal ini belum dapat diaplikasikan dan belum ada Jaksa Penuntut Umum yang menerima berkas kasus konservasi dengan pasal TPPU ini.

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/penegakan-hukum-konservasi-sangat-penting/