JAKARTA, KOMPAS – Meski berulang-kali masuk dalam program prioritas legislasi nasional, revisi UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tak pernah lolos diketok dalam paripurna DPR. Dengan susunan parlemen baru, sejumlah organisasi masyarakat sipil kembali menggulirkan wacana revisi ini mengingat penegakan hukum bidang tumbuhan satwa liar dan pengelolaan ekosistem memerlukan dasar hukum lebih kuat. 

Dalam pembahasan tahun lalu, pemerintah menyatakan UU No 5 tahun 1990 belum perlu direvisi. Sikap pemerintah di tingkat elit ini tak menggambarkan kebutuhan aparat penegak hukum yang berharap UU berusia hampir 30 tahun ini direvisi agar lebih aplikatif bagi penegakan hukum dan pemulihan lingkungan akibat dampak kejahatan. 

Dari informasi jejaring Interpol, kepolisian menyatakan nilai kejahatan tumbuhan dan satwa liar kini menempati urutan nomor tiga di bawah kejahatan penyelundupan senjata api dan narkotika/obat bius. Kejahatan ini pun terorganisasi mulai dari pemodal, pemburu, pengumpul, dan pedagang yang transaksinya kini umum dilakukan secara daring karena risiko dinilai kecil. 

“Harapan besar kami bahwa penegakan hukum nantinya didukung pembaruan UU 5/1990. Diharapkan ada perubahan dalam UU yaitu mulai dari ruang lingkup, waktu penyelesaian, pembuktian, dan keberadaan pelaku yang tak hanya perorangan tapi korporasi,,” kata Sudharmawatiningsih, Panitera Muda Pidana Umum Mahkamah Agung, Senin (25/11/2019) di Jakarta. 

Harapan besar kami bahwa penegakan hukum nantinya didukung pembaruan UU 5/1990. Diharapkan ada perubahan UU dari ruang lingkup, waktu penyelesaian, pembuktian, dan keberadaan pelaku. 

Dalam diskusi “Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya”, ia mengatakan dalam pemeriksaan kasus tumbuhan dan satwa liar (TSL) banyak mengalami kendala. Salah satunya, saat hakim memberikan keputusan terbentur pada penerapan UU masih konvensional. Dakwaan umumnya tunggal karena UU 5 tahun 1990 pada ketentuan pidana pasal 40, memiliki variasi dakwaan yang juga terbatas. 

“Pada persidangan melihat motif perbuatan yaitu budaya, hobi, dan ekonomi. Yang hobi dan ekonomi tidak hanya melibatkan TSL tapi juga korporasi namun terbentur UU,” kata dia. Pada pasal 40, hanya menyebutkan kata “Barangsiapa…” yang mengacu pada perorangan, bukan korporasi atau badan hukum. 

Ia pun mendorong agar dilakukan perluasan alat bukti agar tidak konvensional seperti dalam KUHAP tapi memasukkan bukti elektronik untuk bisa digunakan menjadi alat bukti sah dalam proses persidangan. Bukti elektronik ini sangat vital mengingat transaksi dan komunikasi kejahatan ini memanfaatkan teknologi. 

Dalam diskusi kemarin, Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Indonesia (FKKM) mengenalkan 6 policy brief terkait revisi UU 5 tahun 1990. Rika Fajrini dari ICEL menyebutkan beberapa diantaranya yaitu menejarat kejahatan perdatangan TSL dilindungi sebagai kejahatan terorganisasi. 

Ia menyebutkan sebagai kejahatan terorganisasi penyelidikan memerlukan strategi tertentu seperti undercover buying (pembelian terselubung). Bila aparat hukum tidak memiliki kewenangan ini, bisa dipraperadilkan. 

Namun terkait kewenangan undercover buying ini, menurut Ajun Komisaris Besar Polisi Sugeng Irianto, Kepala Unit V Subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, aparatnya memiliki kewenangan tersebut. “Kami lidik (penyelidikan) undercover buying dan control delivery (pengendalian pengiriman) bisa,” ujarnya. 

Rika Fajrini juga menyebutkan policy brief lain yang ditawarkan yaitu agar penegakan hukum mengejar pertanggungjawaban pemulihan dampak kejahatan terhadap satwa dilindungi. Dicontohkan, TSL yang menjadi bukti dalam persidangan membutuhkan perawatan dengan biaya tinggi namun tidak pernah ditanggung pelaku. Satwa biasanya dititipkan pada pusat perawatan satwa (PPS) baik milik pemerintah maupun nonpemerintah. 

Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), TFCA Sumatera, dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menerbitkan 6 policy brief terkait revisi UU 5 tahun 1990. (Foto: KOMPAS/ICHWAN SUSANTO)

 Dalam diskusi kemarin juga didorong agar penyidikan kejahatan TSL dikembangkan secara multidoor yaitu menggunakan berbagai perundangan untuk menjerat pelaku. Beberapa perundangan tersebut yaitu tindak pidana pencucian uang, kepabeanan, imigrasi, dan berbagai perundangan lain. 

Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan aparat penyidiknya meski telah memiliki brevet menyidik TPPU, namun belum bisa menjalankannya. Ini karena terkendala dalam penjelasan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Meski pada pasal 2 UU no 8/2010 memuat penyidikan tindak pidana termasuk pada kejahtan kehutanan dan lingkungan hidup, pada penjelasan pasal 74, penyidik pegawai negeri sipil KLHK tak masuk dalam daftar yang bis amenggunakan pasal tersebut. Pihak yang disebutkan dalam pasal 74 yaitu Polri, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. 

Tenaga Ahli Komisi IV DPR, Robin mengatakan pada pekan kemarin pemerintah memberikan bahan-bahan yang intinya meminta agar UU 5 tahun 1990 tak diubah. “Setelah kami diskusikan dan memberi masukan kepada anggota DPR, tetap firm ajukan (revisi) UU 5 tahun 1990 untuk prioritas karena sudah ada naskah akademis dan draft,” ujarnya.